17: Say Merry Christmas to The Devil

1.5K 316 41
                                    

CHAPTER 17
Say Merry Christmas to The Devil

[Playlist: Sondia - Nightmare]

***

Kesunyian dalam ruangan bernuansa terang di mana sepasang cucu Adam tengah terduduk manis di atas ranjang itu terbelah oleh suara-suara rendah yang lolos dari bibir seorang pria.

'Bagian Nol' dari buku fiksi sejarah karangan Antoni Doer bertajuk All The Light We Cannot See habis Jeffrey bacakan. Mengakhiri sesi mendongeng untuk sosok perempuan yang bersandar nyaman di bahunya, Jeffrey menutup buku dalam genggaman lantas meletakan benda itu di atas nakas.

Dari mulai sub bagian 'Selebaran' hingga 'Bom Jauh', Rosé belum cukup mampu menerka ke mana kiranya cerita dalam novel itu akan bermuara. Ia hanya paham, Marrie Laure si remaja perempuan buta dan Werner Pfennig si remaja laki-laki jenius adalah tokoh utamanya. Lebih dari itu, tidak tertampung utuh dalam otak Rosé yang hanya satu jumlahnya dan tak cukup besar pula. Yang jelas, cerita itu mengambil setting era Perang Dunia II, konflik antara Jerman dan Perancis.

Kendati begitu, Rosé tetap menguntai senyum manis untuk pria yang berjasa membuat malam ini lain dari malam-malam biasanya. Saat berusia lima adalah kali terakhir Rosé didongengkan oleh sang ibu sebelum sebuah kecelakaan menewaskan kedua orang tuanya sekaligus.

"Terima kasih, Jaehyun."

Jaehyun.

Kini telinga Jeffrey mulai terbiasa dengan panggilan itu. Akal Jeffrey menerima, meski tidak demikian dengan sudut hati pria itu. Sebuah senyuman Jeffrey berikan kala netranya menubruk sepasang iris jernih milik Rosé di sana.

"Ayo tidur!" Ia berucap. Anggukan pelan Rosé berikan sebagai tanggapan.

Lantas, Jeffrey memadamkan lampu ruangan hingga keremangan hadir tak lama kemudian bersama sunyi yang bertandang. Dua bohlam lampu tidur di sisi kanan dan kiri ranjang kini menjadi sumber penerangan berteman dengan cahaya rembulan yang sedikit menorbos jendela tertutup tirai jingga.

Dua insani tergulung di balik sehelai selimut yang sama, menyalurkan kehangatan untuk satu sama lain dengan cara saling mendekap kemudian terlelap. Kelewat hangat dan nyaman bagi Jeffrey yang terbiasa berjibaku dengan dinginnya udara malam Italia demi melancarkan aksi—membobol berangkas atau menghabisi nyawa manusia barangkali, kadang ramai-ramai bersama rekan satu kelompok gangster-nya, kadang juga sendiri.

Bumi berotasi menyingkirkan petang. Timur menjadi titik mula kemunculan mentari yang menyajikan seberkas sinar di kala pagi datang. Sosok perempuan bersurai kecoklatan sebahu menjadi orang pertama yang terjaga. Ia mengambil jeda demi mengamati damainya wajah pria yang masih tenggelam dalam rangkaian mimpi. Satu telunjuk perempuan itu mengaluri setiap bagian wajah rupawan lelaki yang terpampang di depan matanya, bergerak pelan sekali dari satu titik ke titik lain.

Seolah tiada bosan, wajah itu selalu menjadi yang paling Rosé sukai di antara banyak hal yang semesta hadirkan dalam hidupnya. Maka, seulas senyum tipis tak elak dari menjajaki bibir Rosé di sana. Sampai saat ini, Rosé masih kerap merasakan darahnya berdesir hebat kala ia dan laki-laki pemilik lengkungan termanis di dunia berada pada jarak yang kelewat singkat. Bahkan, hanya memikirkannya di kepala saja sudah membuat dada perempuan itu menghangat.

Menilik jam dinding yang menunjuk nyaris pukul tujuh, Rosé keluar dari gulungan selimut untuk kemudian menapakan kaki telanjangnya pada lantai marmer ruangan. Ia mengunjungi kamar mandi, menyalakan kran dan membasuh badan di bawah guyuran air hangat yang mengalir dari lubang-lubang kecil logam pancuran di atasnya.

SILHOUTTE: After A Minute [END]Where stories live. Discover now