22: Falling Flower

1.4K 309 91
                                    

CHAPTER 22
Falling Flower

[Playlist: Yang Da Il – Falling Flower]

***

Bagi Jeffrey, cinta adalah perihal fana.

Hanya manusia picisan yang mengatasnamakan hasrat dengan cinta. Sebab pada dasarnya mereka akan selalu menginginkan sesuatu dari pasangan mereka, dan bukan hal tunggal bernama cinta semata. Harta untuk kedamaian jasmaniah, atau barangkali raga untuk dijamah. Sesudah mencapai itu, segala kasih sayang yang nampak di mula akan sirna pada akhirnya.

Cinta hanya bertahan sementara, maka jangan terlalu tenggelam ke dalam kubangannya, sebab di dasar sana tiada apa pun yang mengendap selain luka. Demikian, prinsip yang diemban teguh oleh seorang Jeffrey Anderson. Tak sedetik pun ia bermimpi mencintai atau bahkan dicintai seseorang.

Namun, akhir-akhir ini agaknya Jeffrey menjadi manusia yang diombang-aming oleh sesuatu yang ia sebut fana. Prinsipnya tak lagi kokoh; beberapa kali tergoyahkan. Jeffrey baru tahu, ternyata rasa itu sebegini kurangajar menghajar jiwanya habis-habisan, menyebabkan dirinya kerap bersikap tak rasional—seperti menginginkan cinta perempuan itu.

Setiap kali ditatap penuh cinta, setiap kali diperlakukan penuh kasih, Jeffrey menjelma manusia maha serakah. Kendati Jeffrey sangat paham bahwa semua itu bukan semata-mata tercurah untuknya. Tahu betul, jikalau cinta seorang Roséanne Park adalah milik Jung Jaehyun, mendiang sang suami. Namun, sekali lagi, Jeffrey tegaskan, logikanya mulai terasa malfungsi, hati adalah sesuatu yang kerap mengambil alih instruksi setiap kali bersama dengan perempuan itu.

Kini, Jeffrey hanya bisa menertawai diri sendiri tatkala menyadari ia sempat melambungkan harap kelewat tinggi. Harapan jikalau suatu saat nanti, Ia bisa dicintai oleh Rosé sebagai seorang Jeffrey, dan bukan sebagai seseorang yang telah mati. Juga harapan, agar ia bisa mencintai perempuan itu atas namanya sendiri, dan bukan mewakili Jung Jaehyun.

"Kau tidak menyukainya, bukan?"

Pergerakan jemari Jeffrey dalam mengancing kemeja yang melekat pas pada tubuhnya terhenti sesaat begitu satu pertanyaan yang tempo hari Mingyu ajukan kembali mengaung di telinga.

Jeffrey bukan aktor kawakan, tetapi entah dari mana ia menuai kemampuan bersandiwara sedemikian hebat. Padahal saat itu ia sendiri ragu. Dan, sampai saat ini pun masih begitu. Iba yang Jeffrey klaim sebagai ujung dari segala tingkah laku terhadap Rosé, Jeffrey mulai meragukan hal itu.

Benarkah, rasanya hanya akan sampai di situ, atau justru melampau perkiraan awal—suka atau bahkan cinta?

Entahlah. Jeffrey tak tahu.

Yang jelas Jeffrey kini tengah mencoba abai selagi menegakkan kembali prinsip. Jika memang benar cinta, Jeffrey yakin itu hanya akan bertahan sesaat dan sementara. Ia tak hendak tenggelam jauh dalam kubangan rasa, atau dirinya akan menemui palung terdalam bertajuk luka.

Setelan jas berwarna abu-abu diraih, Jeffrey mengenakan itu sembari mematut diri di hadapan sebuah cermin besar. Asal saja ia memilih arloji lalu melingkarkannya di pergelangan, mengenakan sepatu pantofel hitam lalu menyemprotkan parfum dari botol yang masih terisi penuh. Konon katanya terbuat dari lavender dan iris, dengan sedikit tambahan aroma coklat.

Sebelum hengkang dari ruangan bernuansa gading, Jeffrey sempat menengok ranjang yang kosong. Rosé bangun lebih awal ketimbang dirinya pagi ini. Jeffrey temukan perempuan itu menghuni dapur dengan celemek tersemat manis di badannya yang ramping.

Seulas senyum menoreh tipis dari Rosé di ujung sana tatkala mata bulatnya menemui manik Jeffrey. Pria yang baru saja meniti anak tangga terakhir kemudian membalas, melangkah lebar menuju mini bar tempat dua piring berisi waffle telah teronggok manis beserta dua cangkir kopi. Jeffrey mendudukkan diri di atas sebuah kursi tinggi, menerima suguhan yang Rosé berikan.

SILHOUTTE: After A Minute [END]Where stories live. Discover now