26: I Wanna Tell You How I Feel

1.7K 317 114
                                    

CHAPTER 26
I Wanna Tell You How I Feel

[Playlist: Shoon - Lavender]

***

"Aku sedang berbelanja dengan Bibi Mola."

Dahi tak tertutup sehelai rambut pun di sana memunculkan kerutan seiring dengan sepasang alis yang bertaut begitu suara dari seberang menuai ujung pernyataan. Ponsel dalam genggaman menampilkan wajah berseri perempuan bersama wanita setengah baya yang sedang berada di tengah-tengah khalayak pusat perbelanjaan.

"Bagaimana kalian pergi ke sana?"

"Naik sepeda."

Kerutan kian nampak kentara. Garis mata tajam seorang pria rupawan melukiskan raut tak suka. "Supermarketnya cukup jauh dari rumah. Pasti melelahkan mengayuh sepeda ke sana."

Perempuan di balik layar ponsel menggeleng segera. "Eum, tidak begitu. Justru perjalanan kami terasa menyenangkan."

Gusar menerkam pria itu tanpa alasan, menyebabkan dadanya berpacu sedikit awutan. Bukan hanya perkara 'melelahkan' yang menjadi latar belakang munculnya kekhawatiran dalam jiwa, melainkan ada hal-hal lain yang terlalu sukar dijabarkan. Yang jelas, ini perkara hidup dan mati. Siapapun akan sama halnya cemas, jika berada di posisi Jeffrey saat ini.

Diberi tugas menjaga perempuan yang sekarang sedang berkeliaran di luar sana tanpa pengawasan matanya, nalar Jeffrey berputar mengirim sinyal asumsi jikalau hal-hal tak diinginkan mungkin saja akan segera terjadi. Namun, tatkala melihat perempuan yang tengah ia tatap secara maya nampak begitu bahagia, mau tidak mau Jeffrey dituntut untuk bersikap tenang sekacau apa pun ia sekarang.

"Lain kali, beritahu aku sebelum kamu pergi ke manapun."

Alhasil, Jeffrey sekadar memberi peringatan. Berharap perempuan yang Jeffrey pegang perkara hidup dan matinya itu segera paham.

Sesungguhnya, Jeffrey bukanlah manusia tunggal yang menghuni elevator berdinding transparan bak wahana permainan—semakin tinggi posisi mereka, semakin nampak mengecil objek-objek di bawah sana. Di bagian kiri belakang Jeffrey, berdiri pria jangkung berteman tab yang sesekali ia amati. Meski demikian, percayalah Kim Mingyu tak sedang menjatuhkan atensi secara utuh menelaah salindia presentasi yang terpampang. Percakapan manis yang terindra oleh sepasang telinga membuat perhatian Mingyu terbagi dua.

Ekor mata Mingyu terkadang menembus punggung tegap Jeffrey, menelisik di antara celah kecil di balik bahu Jeffrey sehingga ia bisa menangkap sebagian tampilan layar ponsel. Rupa familiar di sana menyuguhi Mingyu sekelumit rasa, tetapi ia tak hendak menjadi naif. Pria itu menegaskan pada diri sendiri bahwa Jeffrey hanya sebatas memainkan peran sebagai seorang suami bayangan meski kecemasan Jeffrey terdengar nyata.

Pintu elevator terbuka, koridor membentang lurus nan panjang. Aula besar melambai di penghujung. Alih-alih segera memasuki, ayunan kaki berbalut pantofel hitam mengkilap Jeffrey terhenti di tengah perjalanan. Mingyu menyorot heran, tak tahu-menahu apa yang menyebabkan Jeffrey bergeming di saat pintu aula telah dibuka lebar dan orang-orang yang berkumpul di dalam sana telah bersiap menyambut kedatangannya. Sampai suatu ketika Mingyu turut menatap layar ponsel milik Jeffrey, saat itu pula ia segera paham.

Seorang pria bertopi nampak berada di balik punggung Rosé dengan gerak-gerik yang mencurigakan. Jika diingat-ingat, sedari awal panggilan video berlangsung, sosok itu selalu tertangkap kamera.

"Asisten Kim." Usai menutup sambungan, Jeffrey segera menoleh pada Mingyu.

Dan, seakan tahu bahwa Mingyu sedari tadi turut memperhatikan, tanpa basa-basi Jeffrey memberikan perintah, "Pergi temui Rosé sekarang!"

SILHOUTTE: After A Minute [END]Where stories live. Discover now