48: Eternal Destructions

1.2K 264 205
                                    

CHAPTER 48
Eternal Destructions

[Playlist: Fara Effect - Brume]

***

"Tidak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Apa Anda semua berpikiran sama? Saya rasa, belum lama ini menikmati malam turunnya salju pertama, tapi sudah harus menyapa puncak musim dingin."

Ruang kamar mandi sebuah hunian ternampak temaram. Dari lima bola lampu, hanya satu yang dinyalakan. Pun senyap di dalam sana hanya dipecah oleh gemericik air dan suara penyiar wanita sebuah saluran radio yang diputar dari sebuah ponsel.

"Tidak apa-apa. Selalu ada kenangan berharga dari hari-hari yang terlewati. Simpan yang berkesan, buang yang menyakitkan. Semua orang punya kesempatan untuk bahagia, termasuk kita."

Kepulan asap tipis menguak dari genangan air tertutup busa yang mengisi bak mandi. Seorang perempuan tengah merendam tubuhnya dengan nyaman sembari memandang panorama malam pusat kota yang begitu gemerlap dari dinding kaca bertirai terbuka. Sementaranya, nalarnya berputar-putar mengingat kenangan demi kenangan selama satu tahun ke belakang.

"Simpan yang berkesan, buang yang menyakitkan." Sepasang bibir bergumam mengulang kalimat yang tadi ia dengar. Pesan penyiar yang agaknya cukup menyentuh hati para pendengar, termasuk Rosé di sana. Sebab Rosé pun sedang dalam rangka melakukan hal serupa: menyimpan kenangan yang berkesan, dan membuang segala yang menyakitkan atas kehadiran seorang pria asing yang mirip dengan mendiang sang suami.

"Pastikan penghangat di rumah Anda menyala, tetap jaga kesehatan semalas apa pun Anda, gunakan jaket atau mantel tebal saat keluar rumah atau badai akan membuat Anda demam semalaman. Saya penyiar Jennie Kim mengucapkan terima kasih karena Anda telah menjadi bagian dari pendengar setia saluran radio kami. Viva Forever dari Spice Girl adalah daftar putar terakhir. Selamat mendengarkan."

Kali ini, ruangan diisi dengan alunan irama musik dan vokal yang cukup memanjakan telinga, menyeret keinginan Rosé untuk menikmatinya hingga habis. Ia mengeluarkan diri dari bak mandi, meraih sehelai handuk, berikut menyambar ponsel yang masih menyuarakan sisa durasi lagu.

Duduk di atas kursi rendah di depan cermin kamar, beberapa produk perawatan kecantikan diaplikasikan pada wajah dan badan. Rambut setengah basah mencoba dikeringkan dengan alat di tangan. Tak sampai benar-benar kering, Rosé meletakkan hair dryer kembali ke atas nakas usai lagu yang ingin ia dengarkan hingga habis terputus di tengah-tengah. Ada notifikasi pesan masuk.

Jemari lentik Rosé terulur meraih ponsel di atas meja. Pesan dari nomor tak dikenali. Rosé terdiam cukup lama, ragu untuk membuka. Sempat ia abaikan pula dengan beralih kembali menyibukkan diri mengurusi rambut panjangnya.

"Haruskah aku potong rambut?"

Sepintas lalu, ide di kepala lirih terbisik pada lisan perempuan itu. Entah atas dorongan apa bisa muncul pemikiran demikian. Yang jelas ia hanya teringat akan seseorang yang pernah berkata potongan sebahu sangat cocok dengannya. Di saat yang sama, muncul pula ingatan tentang seseorang yang menyukai ia dengan rambut panjang. Maka, pemikiran Rosé kini terpecah menjadi dua kubu, dan ia tengah mempertimbangkan kubu mana yang mesti ia ikuti.

Di sela-sela lamunan, atensi Rosé kembali diminta pergi menuju layar ponsel yang menyala. Pemberitahuan pesan masuk dari oknum yang sama terpampang nyata melahirkan rasa penasaran di dalam diri Rosé. Rasa itu kian tak bisa ditampung manakala ia memandang deretan angka petunjuk waktu.

11.37 PM

Sebab sampai detik ini, seseorang yang dinanti belum juga kembali.

"Tidurlah lebih dulu. Aku mungkin akan pulang larut malam."

SILHOUTTE: After A Minute [END]Where stories live. Discover now