39: Built A Barrier

1.4K 289 117
                                    

CHAPTER 39
Built A Barrier

[Playlist: Loduvico Einaudi – Experience]

***

Cermin besar sebuah kamar mandi berinterior mewah luar biasa melukiskan sebuah bayang.

Netra pekat seorang pria menelisik titik demi titik apa yang terpampang di hadapan. Wajah rupawan itu tak menorehkan ekspresi berarti selain ketenangan sembari jemari menyentuh tanda kemerahan yang menjajakkan diri pada tubuh setengah telanjang miliknya.

Senyap di mulut, tetapi berisik di kepala. Tenang di muka, tetapi porak di jiwa.

Jeffrey menggenggam erat tepian wastafel tatkala akalnya melanglangbuana jauh pada kejadian semalam: ketika matanya disuguhi rupa cantik perempuan yang menyebabkan dada bergejolak setiap saat; ketika di tengah kegelapan, ia dan perempuan itu berakhir saling melucuti pakaian dan ketika ia yang kehilangan seluruh kewarasan kemudian berupaya menyalurkan hasrat terpendam—mencumbu juga menyentuh setiap titik tubuh yang kelewat indahnya; pun ketika setiap sentuhan yang ia terima dari perempuan itu terasa sangat menggetarkan.

Napas Jeffrey tercekat. Penyesalan segera menerkam habis pria itu begitu kesadarannya menjelma utuh. Andai saja, semalam ia tak meneguk wine bersloki-sloki, tentu ia tak akan berakhir melewati batas. Namun, melambungkan andai-andai sungguh bukan hal yang bisa membuat segalanya menjadi lain dari apa yang telah terjadi.

Realita berkata, Jeffrey habis meniduri Rosé. Tak akan menjadi masalah besar jikalau hal tersebut bukan sebuah larangan.

"Jangan pernah menyentuhnya! Sekalipun dia telanjang, kau tetap harus menahan dirimu, Tuan Jeffrey."

Namun, runtaian kalimat yang pernah diucapkan oleh Alice menggema di benak, berkali-kali menampar Jeffrey telak, membuat ia sadar akan realita lain yang bicara tegas bahwa dirinya baru saja melakukan sebuah kesalahan besar.

Kran air dinyalakan. Jeffrey membasuh wajah yang mulai diselimuti kekacauan, memejamkan mata kuat dan berharap dengan itu semua yang terjadi sampai hari ini tak lebih dari sekadar mimpi belaka. Sayang, ketika membuka mata, tungkak tanpa alas kaki masih tetap menapak pada dinginnya lantai kamar mandi, menandai bahwa ia tak sedang bermimpi sebagaimana dahulu kala. Kenikmatan semalam itu bukan hal fana, melainkan nyata.

Maka, sepasang tangan mulai bergerak merangsak rambut dan menariknya kasar. Jeffrey terduduk lemah, meringkuk dipeluk kecambuk perasaan berdosa.

Perempuan itu bukan istrinya, melainkan istri dari saudaranya yang ia bunuh dengan tragis. Jaehyun barangkali di atas sana tengah mengadu pada Tuhan agar segera memberikan Jeffrey hukuman terberat. Pun, jikalau nanti Alice mengetahui Jeffrey telah melanggar salah sebutir aturan yang telah ditetapkan, Jeffrey mau tak mau harus menerima konsekuensi atas tindakan bodohnya.

Dada pria itu mendadak bergemuruh gelisah. Ia menutup kedua mata yang padam. Menengadah pada langit-langit sampai gelap menyelimuti pandang sebab kedua tangan tengah berupaya menutupi sebentuk ekspresi ketakutan yang tampil di muka. Jeffrey tak hendak cicak di dinding melihat, lalu menertawai dirinya saat ini.

Roti panggang beserta segelas susu dihidangkan di atas nampan, diletakkan pada nakas di samping ranjang tempat seorang perempuan bersemayam nyaman terhisap lelap. Habis Jeffrey membasuh diri juga berbenah mengenakan pakaian formal bersiap untuk pergi ke kantor, pria itu menyempatkan membuat sarapan untuk Rosé.

Tentu, bukan hal yang benar jikalau ia terus berdiam diri terkurung dalam penyesalan. Waktu terus berputar, pun mau tak mau, Jeffrey harus beraktivitas sebagaimana biasa meski jiwanya tiada habis diserbu rasa bersalah.

SILHOUTTE: After A Minute [END]Where stories live. Discover now