19: Helleborus & Hidden Message

1.5K 315 91
                                    

CHAPTER 19
Helleborus & Hidden Message

[Playlist: Sondia - Say to My Self]

***

Dinding-dinding senyap mengukung sosok perempuan yang baru saja membuka sepasang kelopak berhias lentiknya bulu mata.

Jendela kamar yang terbuka menampilkan langit di luaran sana segera dihabisi malam. Iris perempuan itu berakhir pada tempat kosong di sebelahnya. Tak menemukan siapa-siapa. Maka, lantai marmer ruangan kemudian ia pijak, ayunan langkah mengarak badan ramping sosoknya menuruni anakan tangga satu demi satu.

Kesunyian sempurna melingkupi setiap sudut rumah. Tak seorang pun nampak oleh penglihatan, demikian pula dengan suara-suara yang tak jua tertangkap gendang telinga kecuali dengungan serangga yang entah di mana.

Dua kaki jenjang menapak pada rerumputan. Taman belakang adalah persinggahan sebelum lantai pualam menjadi titik pijak berikutnya. Di sebuah studio kecil, Rosé temukan seorang pria tengah terlelap dalam posisi duduk dengan kepala diletakan di atas tumpukan lengan.

Menyempatkan diri mengambil sehelai sehelai selimut, Rosé kemudian meletakan benda itu di atas punggung Jeffrey di sana. Meski berupaya sehati-hati mungkin, nyatanya pergerakan jemari yang teramat pelan tetap membuat Jeffrey terjaga.

Sesaat mencoba beradaptasi dengan keadaan, Jeffrey mengusap matanya seraya menegakkan badan. Selimut di punggung nyaris terjatuh jika saja Rosé tak dengan sigap menahan, meletakan tangan di sepasang bahu kokoh Jeffrey.

"Ah, maaf. Aku pasti mengganggu tidurmu."

Pendengaran Jeffrey disuguhi sekalimat yang mengudara ringan. Seusai menyadari betul bahwa ia terbawa lelap selama dua jam selang mengantar kepergian Johnny dan Alice, Jeffrey sedikit meruntuk dalam hati sebab di antara banyak tempat nyaman di rumah ini ia justru berakhir tertidur di sini, di atas kursi kayu sehingga punggungnya seperti kelas patah.

Namun, yang lebih-lebih Jeffrey khawatirkan bukan perihal punggung, melainkan sosok perempuan yang kini berdiri di sampingnya. Salah satu tangan Jeffrey lantas terulur meraih jemari lembut Rosé yang masih berupaya menahan sehelai selimut agar tetap pada fungsinya. Jeffrey mengusap seraya mendongak pula bertanya, "Kau baik-baik saja?"

Jelas, Jeffrey masih sebegitu ingat momen di mana ia melihat ketakukan tergambar begitu hebat pada diri perempuan itu. Rosé terdiam sejenak sebelum menguntai senyuman tipis lalu mengangguk.

Tak lantas menaruh rasa percaya, cepat-cepat Jeffrey bangkit dari tempat duduk, hendak menyeret Rosé masuk ke dalam rumah sebab udara kian menjadi dingin seiring hari bertambah petang.

"Ayo masuk! Di sini dingin."

Namun, Rosé tak juga mengikuti ajakan Jeffrey. Perempuan itu masih terpaku di kala Jeffrey telah mengurai satu langkah maju. Alhasil, Jeffrey kembali menoleh dan menerima sorot tanpa dosa saat Rosé berkata, "Aku mau di sini sebentar lagi. Boleh, ya?"

Sejenak terdiam menimbang jawab, Jeffrey menghembuskan napas perlahan. Ia seakan tak kuasa menolak. Maka, sehelai selimut dalam genggaman, Jeffrey pakaikan di tubuh perempuan yang masih mengenakan gaun serupa pagi tadi. Tak luput bibir Jeffrey turut merapal tanya, "Memangnya di sini mau apa?"

Pandangan Rosé berpencar, meneliti kanvas-kanvas di sekitar. "Bernostalgia," jawabnya dengan seulas senyum tipis tersemat di wajah. Jeffrey di sana menautkan alis tanpa tanggapan lebih.

Tak kehabisan akal, Rosé menyeret sebuah kursi mendekat pada Jeffrey, menyeka sedikit kotoran yang ada sebelum menepuknya pelan. "Duduklah kembali!"

SILHOUTTE: After A Minute [END]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora