51

6.5K 972 46
                                    

Cinta memandangi kakaknya yang kurus kering seperti mayat hidup. Seminggu telah berlalu setelah peristiwa ledakan di markas tim medis Erza. Jenazah Erza telah ditemukan tiga hari yang lalu di antara reruntuhan bangunan. Entah bagaimana kondisinya utuh tanpa luka kecuali pada bagian kepalanya yang berakibat fatal. Kini pihak keluarga telah mengurus pemulangan jenazah Erza. Prosesnya ternyata cukup panjang, bahkan katanya bisa mencapai enam bulan lamanya.

"Kak, ayo makan." Cinta menyodorkan piring berisi nasi goreng.

Rani tersenyum lemah dia mengambil sesendok karena menghormati adiknya dan mengunyahnya tanpa minat.

"Kak, Kakak nggak bisa kayak begini terus. Ikhlaskan dia, Kak," ucap Cinta.

Ikhlas. Rani baru tahu bahwa satu kata itu ternyata begitu berat. Bagaimana mungkin dia bisa mengikhlaskan Erza? Rani bahkan tidak pernah membayangkan hal itu.

Bel berbunyi. Cinta bangkit dan membuka pintu. Ternyata Rangga yang berdiri di sana. Makhluk ini semakin sering berkunjung setelah kepergian Erza.

"Bagaimana Rani? Apa dia mau makan?" tanya Rangga.

Cinta menggeleng. "Hanya sedikit."

Rangga menghela napas. "Aku ada kabar yang penting." Rangga nyelonong masuk begitu saja tanpa meminta izin. Dia berdiri di dekat Rani yang melamun dan menepuk punggungnya.

"Rani, Ibu Erza menghubungiku tadi pagi. Katanya dia sudah coba meneleponmu tapi nggak diangkat."

Rani terbelalak. Dia memandang Rangga dengan antusias. "Ibunya Erza? Beliau bilang apa?" tanyanya.

"Ada surat yang ditemukan di dalam rompi Erza. Surat itu dialamatkan padamu. Proses pemulangan jenazah Erza masih butuh waktu, tapi surat itu bisa dikirim lebih dulu dan sekarang sudah diterima oleh Ibu Erza. Beliau tanya apa kamu mau membacanya?"

Rani buru-buru bangkit dan mengambil kunci mobil tapi Rangga menahannya. "Biar aku saja yang menyetir. Kondisimu tidak baik," ucapnya.

Rani mengangguk lemah. Memang saat ini dia tidak punya tenaga untuk melakukan apa-apa.

"Aku ikut," sahut Cinta segera.

***

Rumah Erza begitu tenang. Orang tua Erza beras dari keluarga sederhana yang taat beragama. Ayahnya adalah seorang dosen di Universitas Islam sedang ibunya seorang ibu rumah tangga. Wanita dengan rambut yang sudah beruban itu menyambut Rani yang datang bersama Cinta san Rangga.

"Kamu datang juga, Nak Nurani," sapa wanita itu dengan senyuman. Dia tampak tegar meski anak semata wayangnya telah tiada.

"Mari duduk." Ibu Erza mempersilakan Rani, Rangga dan Cinta masuk ke ruang tamu.

"Tunggu sebentar ya, Nak." Ibu Erza masuk dalam rumah.

Cinta memandangi foto-foto Erza yang berjajar di ruang tamu. Ada fotonya dari ketika umur tiga tahun sampai pada foto ketika pengambilan sumpah dokter. Dada Cinta serasa sesak.

Ibunda Erza kembali dengan membawa selembar surat dengan nama dan alamat apartemen Nurani. Rani terdiam memandangi surat itu beberapa lama setelah menerimanya dari Ibu Erza. Warna amplop dari surat itu sudah cukup usang dan lecek pada ujung-ujungnya.

"Sepertinya Erza sudah lama menyimpan surat itu tetapi tidak mengirimkannya," ucap Ibunda Erza dengan senyum getir.

"Nak Rani, apa yang terjadi pada Erza sekarang adalah hal yang sudah lama dia cita-citakan. Dia ingin meninggal dalam keadaan syahid. Dia sudah bahagia di sana. Maka kamu juga harus bahagia, Nak," senyum Ibu Erza sembari menggenggam tangan Nurani.

Air mata Rani jatuh tanpa bisa di tahan, tetapi gadis itu mengangguk. "Boleh saya baca surat ini, Tante?" tanyanya.

"Bacalah, Nak. Surat itu memang dia tinggalkan untuk kamu."

Rani menghela napas panjang. Perlahan dia membuka amplop dan membaca barisan kata yang dituliskan Erza dengan menggunakan pena warna hitam.

Untuk Nurani.

Rani, aku minta maaf karena tidak bisa menepati janji.

Sebenarnya aku berkali-kali berpikir untuk pulang.

Aku ingin kita duduk bersama di pelaminan.

Tapi, aku melihat saudara-saudaraku di sini, aku tak bisa berpangku tangan.

Mereka membutuhkan aku, Rani.

Aku harap kamu mengerti.

Jangan menunggu aku.

Kamu pantas bersama dengan laki-laki yang lebih baik.

Dan aku harap kamu bahagia.

Dari yang mengagumimu, Erza.

Nurani menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya mengalir membasahi pipinya. Wanita itu menangis sejadi-jadinya.

***

Terima kasih untuk love dan komennya.

Guys apakah kalian tahu siapa cewek ini? Namanya Razan Al Najjar, perawat berusia 21 tahun yang ditembak mati oleh tentara Israel tahun 2018 lalu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Guys apakah kalian tahu siapa cewek ini? Namanya Razan Al Najjar, perawat berusia 21 tahun yang ditembak mati oleh tentara Israel tahun 2018 lalu. Kasus seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi sekali dua kali. Ada banyak relawan di jalur Gaza yang meninggal, tapi entah kenapa Israel tidak pernah mendapatkan hukuman Padahal membunuh tenaga kesehatan adalah suatu kejahatan perang. Erza adalah tokoh yang aku ciptakan sebagai simbolis dari teman-teman sejawatku yang berani dan hebat untuk menjadi relawan di sana. Semoga amal ibadah mereka diterima di sisi Allah SWT.

Adakah yang nungguin aku update? Alhamdulillah aku sudah selesai akreditasi yak

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Adakah yang nungguin aku update? Alhamdulillah aku sudah selesai akreditasi yak. Mulai hari ini mau coba nulis lagi.

Love And Heart [Republish]Where stories live. Discover now