19

20K 2.1K 100
                                    

Nurani muncul di ambang pintu ruang bidan sembari membawa tas keresek di tangannya. Netra cewek itu terbelalak ketika melihat kondisi adiknya. Rangga menelan ludah. Mampus!

"Cinta! Kenapa kamu menangis?" ucap Nurani panik sembari menghampiri adiknya.

"Ini dia, nih, Ran, yang bikin dia nangis," tunjuk Dini langsung.

Rangga melotot. Dasar Dini! Kompor banget! Belain dikit, kek! Nggak ada rasa setia kawannya sama sekali.

Keringat dingin mengucur deras di dahi Rangga ketika Rani tiba-tiba menatapnya dengan tajam. Nurani hampir mendekati Rangga untuk menamparnya tetapi lengan bajunya ditarik oleh Cinta.

"A-aku yang salah, Kak," kata cewek itu. Rangga mengelus dadanya. Untung saja Cinta sadar diri.

"Salah apa?"

"Aku mengganti infus pasien dengan D5 sembarangan

tanpa melihat statusnya. Aku nggak tahu kalau pasien itu mau diambil sampel darahnya untuk pemeriksaan gula darah puasa. Pasien itu sudah puasa sembilan jam. Sekarang harus menunggu delapan jam lagi baru sampelnya bisa diambil," jelas Cinta.

Rani melongo. Dia tidak menyangka Cinta akan melakukan kesalahan seperti itu. Kesalahannya memang tidak fatal tapi cukup parah. Nurani memegang pelipisnya dengan resah lalu menoleh pada Rangga.

"Ini pasien yang mau kamu konsultasikan sama aku?"

Rangga mengangguk sebagai jawaban.

"Apa kira-kira bayinya bisa lahir normal?"

"Tidak, tafsiran berat badan janin dari hasil USG adalah tiga koma delapan kilogram. Dokter Gama tidak mau ambil risiko. Operasi seharusnya dijadwalkan sore ini, tapi karena ada kejadian ini mungkin harus ditunda," terang Rangga.

"Anu, maaf, sebenarnya ini salah saya." Alfa menginterupsi. "Seharusnya saya yang memberitahukan pada mahasiswa tentang terapi infus. Saya akan menyampaikan ini pada Dokter Gama, saya yakin beliau akan mengerti."

"Baiklah, terima kasih banyak, Bu Alfa," angguk Rangga akhirnya. Bisa apa dia kalau Cinta sudah dibela sama bidan senior begini.

Rangga tak pernah membayangkan Dokter Gama bisa marah, sih. Dokter itu selalu tersenyum ramah. Apalagi kalau yang memberi penjelasan istrinya sendiri. Coba saja kalau dokter yang lain. Mereka bisa mengamuk karena kejadian seperti ini merusak jadwal mereka.

Rangga menatap Cinta yang masih terisak. Nurani menyodorkan tisu dan mengelus kepalanya. Sepertinya hubungan kedua saudara itu cukup baik. Wajah mereka ternyata sangat mirip. Yang berbeda mungkin hanya mata Cinta yang terlihat lebih lebar karena ada lipatannya sedangkan Rani lebih mirip dengan Profesor Sarwono yang sipit.

Ketika Rani tiba-tiba menoleh dan pandangan mereka bertumbukkan. Rangga membuang muka dengan gelisah. Rani seperti mau menerkamnya. Cewek itu bahkan mengangkat jari tengah ke udara. Rani benar-benar tidak menyangka Rangga menyakiti adiknya seperti ini.

"Rangga! Biarpun adikku salah, kamu tidak boleh memarahinya sampai begini! Apa yang kamu katakan sampai adikku begini? Ayahku saja tidak pernah membuat dia menangis. Awas ya kalau kamu sampai bikin dia nangis lagi!"

Bukannya sewaktu di balkon kemarin dia yang menantang Rangga untuk mem-bully adiknya? Kok sekarang dia mengancam begitu. Dasar plin-plan! Rangga diam-diam mendengkus , tetapi tidak mengatakan apa pun untuk membela diri.

"Assalamualaikum," ucap Bu Diah sembari memasuki pintu ruangan. Bidan senior yang dinas sore itu baru datang. Wanita itu tampak tercengung melihat Cinta yang terisak-isak. Langsung saja ibu empat anak itu melayangkan tatapan tajam pada Rangga. Rangga menelan ludah. Kenapa sih Cinta ini punya banyak front pembela? Padahal kan dia memang salah. Kenapa malah Rangga yang dipojokkan?

"Dokter, apa Anda melupakan kesepakatan kita kemarin?" tanyanya dengan senyuman lebar namun mengerikan. Rangga jadi merinding.

"Tidak ... itu ... anu...." Rangga tidak dapat membela diri. Dia hanya terbata-bata.

"Begini, Bu ...."

Bidan Alfa memberikan penjelasan detail tentang kasus yang terjadi kepada Bu Diah. Wanita tua itu mengangguk-angguk.

"Begitu ya ... ya sudah bagaimana lagi, sudah telanjur begini, tapi pasiennya tidak apa-apa, kan?"

"Tanda-tanda vitalnya normal. Beliau juga sudah makan dan puasa lagi," jelas Alfa.

Bu Diah menoleh pada Cinta yang masih tersedu-sedu. "Ini sedikit fatal, Cinta, tapi syukurlah pasiennya tidak apa-apa. Untuk semuanya, setelah ini tolong setiap tindakan yang akan kalian lakukan selalu perhatikan rekam medis pasien dan tolong bertanya pada bidan senior, jika kalian tidak mengerti," ucap Bu Diah.

"Ma-maafkan saya, Bu," lirih Cinta dengan terbata.

Bu Diah menepuk punggungnya. "Tidak apa, Cinta. Semua orang pernah melakukan kesalahan. Dari kesalahan itulah kita bisa belajar hal yang benar. Untuk ke depannya kamu harus lebih berhati-hati ya."

Cinta mengangguk-angguk. Rangga memperhatikan Bu Diah. Kepala ruangan itu memang selalu sabar tidak seperti image bidan tua yang biasanya galak.

***

Standar Prosedur Operasional

KPC (Kondisi Potensial Cedera) kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.

***

Up! Jangan lupa vote dan komen ya Guys...

Kok susah ya nyampe 1 jt view hahaha

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kok susah ya nyampe 1 jt view hahaha. Ayo dong promosiin cerita ini ke temen2 kalian semua biar sampai 1jt view. Pasti aku upload sampai tamat kok.

Love And Heart [Republish]Where stories live. Discover now