EPILOG

1K 86 4
                                    

Hai.. Epilog teman2..
Sekali lagi, makasih yang sudah baca cerita ini. Terima kasih atas vote dan komentarnya. Maaf jika tidak dibalas satu-satu.

Makasih sudah menemani perjalanan Rania dan Yudha sampai sekarang. Aah. Cinta kalian banyak-banyak ❤️

___________________________________________

Suara pintu cafe berbunyi menyambut kedatangan Rania. Gadis berambut biru itu celingukan di dalam ruangan bernuansa coklat itu. Matanya menangkap sosok Yudha yang duduk di meja dekat jendela sambil memainkan ponsel. Perlahan, Rania berjalan menghampirinya.

"Sorry, lama ya?" tanya Rania sambil duduk di depan laki-laki itu. Rania baru saja pulang berlatih paduan suara. Tadi ia diantar Putri ke cafe.

Yudha menatap gadis di depannya, lalu tersenyum. "Nggak kok, nggak lama."

"Ini buat aku?" tanya gadis itu lagi sambil menatap segelas ice cappuccino di atas mejanya.

Sudah satu minggu, Rania berusaha membiasakan diri dengan panggilan 'aku-kamu' dengan Yudha. Jawaban 'iya' dari Rania membuat mereka resmi berpacaran sejak kejadian di rumah Yudha minggu lalu.

Yudha mengangguk. "Iya, buat kamu."

Rania segera mengambil sedotan yang belum terbuka dari bungkusnya, dan menyeruput minuman dingin itu. Ia memang sudah haus sejak tadi. Berlatih paduan suara memang membuat tenggorokannya kering.

"Makasih."

"Kita belajar apa dulu nih?" Yudha bertanya sambil mengeluarkan laptop dari dalam tasnya.

"Kimia aja nggak sih? Kayaknya susah, lagi pula itu ujian hari pertama," jawab Rania.

"Oke." Tangan Yudha bergerak di kursor laptop mencari materi Kimia untuk ujian minggu depan.

Minggu depan mereka memang harus menghadapi ujian akhir semester. Sehingga usai mereka resmi berpacaran, mereka belum sempat berkencan. Alih-alih berkencan, mereka memilih belajar bersama di cafe seperti sore itu.

"Pokoknya aku harus buktiin ke Mama kamu," ucap Yudha sambil fokus pada laptopnya.

Kening Rania berkerut. "Maksudnya?"

"Iya, Mama kamu sudah milih buat nggak jodohin kamu sama Andre. Dan aku mau nilai aku bagus, supaya Mama kamu nggak nyesal biarin kamu pilih aku."

Rania tertawa mendengar itu, Yudha masih kerap kali insecure dan membandingkan diri dengan Andre.

"Yud, kamu nggak perlu khawatir. Kamu sama Mas Andre beda dengan porsi masing-masing. Berhenti banding-bandingin diri kamu sama dia."

Yudha menghela napas panjang. "Iya, aku berhenti. Tapi aku tetep aja takut kalau suatu saat nanti Mama kamu yang menyesal karena nggak jadi jodohin kamu."

"Aku yang bakal belain kamu. Karena kamu pilihan aku." Gadis berambut biru itu tersenyum menghadapi pemikiran kekasihnya itu. Ia berusaha menenangkan Yudha.

"Yuk, belajar aja. Mulai dari mana?" tanya Rania sambil melihat laptop Yudha yang sudah berpindah di ujung meja, agar keduanya dapat melihat bersama-sama.

•••

Sudah dua jam lebih mereka berkutat dengan kimia. Yudha senang bisa belajar langsung dari Rania, setidaknya kini ia jauh lebih mengerti. Laki-laki itu sangat percaya diri untuk mata kuliah itu sekarang, ia yakin bisa mengerjakan dengan mudah.

Sekarang Yudha sedang menunggu Rania sholat maghrib di mushola, ia sudah sholat lebih dulu tadi. Mereka memang bergantian untuk sholat, untuk menjaga barang-barang di meja. Sambil menunggu, laki-laki itu melihat ke arah jalan yang lampu-lampunya mulai menyala. Ia harus mengantar Rania pulang sebentar lagi.

Yudha bersyukur bisa mendapatkan Rania sebagai pacarnya. Melihat satu semester ke belakang, hidupnya seperti roller coaster. Laki-laki itu sempat menyesal karena tidak menyukai Rania sejak awal, dan justru hatinya sempat singgah untuk Wina.

"Yud, aku udah selesai sholat," kata Rania yang sedikit membuat Yudha terkejut.

Yudha melihat wajah Rania yang ramah. "Kena air wudhu tambah cantik," komentar laki-laki itu.

Rania belum terbiasa dengan pujian-pujian yang kerap kali Yudha berikan. Sehingga pipinya cepat sekali merona jika mendengar kalimat-kalimat pujian itu.

"Yuk, mau belajar lagi atau istirahat aja?" tanya Rania untuk mengalihkan topik. Ia tidak mau Yudha menyadari pipinya yang sudah bersemu.

"Mau anterin kamu pulang aja."

"Udah nggak mau belajar?"

"Nanti kamu kemaleman pulangnya. Kasian juga mama kamu sendirian di rumah. Nanti kita lanjut belajar online aja."

Rania mengangguk dan ikut membereskan barang-barangnya yang berserakan di atas meja.

Setelah beres, keduanya berjalan keluar cafe. Rania memang tidak membawa mobil hari ini. Bukan Rania yang meminta, tetapi Yudha yang berinisiatif menjemput gadis itu pagi tadi.

"Lain kali nggak perlu anter jemput. Biar aku bawa mobil aja."

"Tapi aku mau," bantah Yudha sambil memasangkan helm di kepala Rania.

"Jangan manjain aku. Aku bisa kok sendiri. Aku nggak mau jadi cewek manja dan kebiasaan dianter-jemput sama kamu. Nanti aku jadi apa-apa kebiasaan bergantung sama kamu."

"Iya iya. Tapi sesekali boleh kan?"

Rania mengangguk. "Boleh."

Yudha sudah naik ke atas motornya. Rania menyusul, namun sebelum itu ia melihat sosok Wina di minimarket seberang jalan.

"Yud, itu Wina kan?" tanya Rania.

Yudha menoleh ke arah yang ditunjuk Rania. Ia menajamkan pandangannya kemudian mengangguk. "Iya, itu dia."

Mereka melihat Wina bersama sosok laki-laki di sebelahnya. Kemudian Wina dan laki-laki itu keluar dari minimarket sambil bergandengan tangan.

"Itu cowoknya dia," komentar Rania. Ia masih sedikit merasa bersalah karena menuduh Yudha waktu itu.

Saat di kampus, kebenaran itu terungkap. Ternyata Wina kembali bersama mantan SMA-nya dan waktu itu ia sedang berjalan-jalan ke Bandung bersama pacarnya yang sekarang.

"Udah biarin aja lah. Nggak penting. Ayo pulang sebelum kemaleman."

Rania mengangguk dan akhirnya duduk diboncengan Yudha.

"Maaf ya waktu itu nuduh kamu," ucap Rania sebelum Yudha memutar gasnya.

"Nggak papa. Lagian kalau kamu nggak ke rumah waktu itu, mungkin kita belum pacaran."

Rania tersenyum dan mengangguk setuju.

"Ran, boleh minta tolong nggak?"

"Iya, apa?"

Yudha tertawa. "Coba tanya minta tolong apa dulu. Baru jawab iya kalau memang bisa bantu, dan jawab nggak kalau memang nggak bisa bantu. Jangan semuanya iya, baru tanya minta tolong apa. Kebiasaan, nanti bisa dimanfaatin orang."

"Kebiasaan. Maaf yaa. Tadi mau minta tolong apa?"

"Peluk."

Rania memukul punggung laki-laki di depannya itu.

"Kok malah pukul?"

"Ya habisnya, tiba-tiba."

"Nggak tiba-tiba kok. Kan udah pakai prolog tadi. Minta tolong buat peluk."

Rania merasa jantungnya berdebar tidak karuan. Perutnya juga terasa tergelitik. Meskipun begitu, ia tetap memeluk Yudha dari belakang.

Yudha tersenyum, kemudian menutup kaca helmnya dan memutar gas. Ia membelah jalanan Jakarta petang itu bersama dengan gadis favoritnya.

PRO RE NATA ( END ✔️ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang