°2°

413 70 0
                                    

.
.
.
.
.

Seorang gadis dengan rambut hijau panjangnya yang terikat tengah duduk di atas batu besar, mencuci pakaiannya di tepi sungai selebar tiga meter yang menjadi salah satu sumber mata air di desanya.

Dia memeras pakaian terakhir dan menempatkan buntalan kain itu ke dalam keranjang bersama pakaian lainnya yang sudah bersih. Berkacak pinggang, dia tersenyum puas dan menghela napas lega. Tugas mencuci selesai, dia mengangkat keranjangnya dan bersiap pulang.

"Oh, Mido-chan. " sapa seorang wanita paruh baya saat mereka berpapasan di jalan. "Kau sudah mau pulang? "

"Selamat siang, Sui-san. Ya, masih ada pekerjaan lain, aku tidak bersantai-santai, haha. "

Sui tersenyum melihat betapa rajin dan pekerja kerasnya gadis itu. "Apa kau akan pergi ke tempat mereka juga hari ini? "

Midoriya mengangguk. "Apa kau ingin menitip salam? "

"Ya, dan juga bawalah ini untukmu dan mereka. " Sui merogoh keranjang belanjanya dan mengeluarkan dua buah roti besar.

Midoriya menerimanya dengan kikuk. "Apa kau tidak memberikannya pada keluargamu? "

"Masih ada beberapa, kau bisa bawa itu. Mereka juga akan menyukainya."

"Ah, terima kasih banyak. Sui-san. Kalau begitu aku permisi. "

Berpisah dengan salah satu tetangganya yang baik, Midoriya membawa tambahan barang bawaan ke rumahnya dengan riang.

Sepuluh menit kemudian Midoriya sampai di rumahnya. Rumah kecil yang cukup jauh dari rumah lain di desa itu, tapi lingkungan di sekitarnya cukup nyaman.

Dekat dengan hutan, dia bisa mendapatkan banyak kayu bakar kapan saja. Lahan kosong yang tak dimiliki warga bisa dia gunakan untuk bertanam seadanya, menghemat pengeluaran makan. Di dalam hutan juga terdapat mata air kecil yang memudahkannya untuk tak perlu pergi jauh ke sungai untuk beberapa urusan kecil.

Yang jelas, dia menyukai rumah kecilnya itu. Damai dan nyaman untuk dia tinggali. Meski dia masih lebih suka ketika dia masih tinggal bersama dengan ibunya, Inko.

Inko membesarkan Midoriya seorang diri setelah suaminya tak kunjung pulang saat dalam perjalanan jauh ke luar kota. Setelah menerima keadaan mengenai suaminya yang tak akan kembali, Inko mengurus Midoriya menjadi gadis mandiri.

Namun karena mengidap penyakit yang semakin lama semakin bertambah parah dan keluarga kecilnya yang tak mampu membeli obat yang begitu mahal, Inko pun meninggal saat Midoriya menginjak usia enam belas tahun.

Dengan segala kemandirian yang ibunya ajarkan, Midoriya bisa bertahan sendirian setelah masa berkabung. Awalnya tak mudah, tapi dia semakin terbiasa hingga sekarang.

Kini Midoriya bertahan dengan bekerja membantu apapun yang warga desa minta. Mencuci baju, mengurus ladang, hewan ternak, menjahit, menjaga anak-anak, dan lain sebagainya. Berbagai keahlian yang ibunya ajarkan dia pakai untuk bekerja. Kadang dia juga menjual hasil tanamnya saat tengah banyak panen.

Dengan kehidupan yang penuh kerja keras dan keramahan para tetangganya, Midoriya senang-senang saja menjalaninya.

Selesai menjemur pakaian, Midoriya beristirahat sejenak sebelum akan pergi lagi ke suatu tempat. Hari ini, sehari setiap seminggu, dia selalu mendapat sebuah pekerjaan yang sama.

Usai beristirahat, Midoriya bersiap dengan membawa beberapa makanan kecil dan dua potong roti besar yang Sui berikan tadi. Dia melangkah pergi dari rumahnya.

.
.
.

Seorang anak kecil yang tengah bermain dengan kumpulan mainan kayu di atas tanah, mendengar langkah seseorang mendekati pagar. Senyum cerah terkembang begitu dia menoleh dan melihat siapa yang datang.

Fake Bride - BNHA Fanfict (Completed)Where stories live. Discover now