°5°

367 67 0
                                    

.
.
.
.
.

Dua bulan sudah Midoriya berada di istana. Dia semakin terbiasa dengan lingkungan kediaman timur, semakin akrab dengan Sumire, kepala pelayannya, dan juga para pelayan lain, semakin nyaman dengan kamar besarnya, dan lain sebagainya. Bisa dibilang dia mulai betah.

Namun dengan semua kenyamanan dan kemewahan yang ada, Midoriya masih ingat soal alasan kedatangannya kemari. Yah, dia bukan datang langsung, sedikit ditipu dan terjebak. Tujuan awalnya adalah menipu bangsawan namun statusnya berubah menjadi menipu calon kaisar.

Midoriya masih sadar jelas pada konsekuensi yang suatu saat akan menimpanya. Dia bisa saja merasa mendapat keuntungan karena rakyat biasa sepertinya tinggal di istana, tapi suatu saat dia akan tewas. Juga, keberadaannya di istana sangat salah.

Midoriya mencoba terus menanamkan pikiran jika dia tak layak mendapatkan itu semua, mencoha untuk tak terlena dengan situasi dan mengingat segala hal. Mengingat, jika dia harus berusaha bertahan hidup selama mungkin.

Hari ini dia baru selesai mandi dan berpakaian. Dengan tubuh segar dan hangat, Midoriya memasuki kamarnya. Saat dia berjalan mendekati meja untuk mengambil sisir kecil, pandangannya jatuh ke vas berhiaskan tangkai bunga cantik.

Semenjak putra mahkota mulai mengirimkan hadiah–dengan paksaan Koshi–dua bulan lalu, terkadang ada kiriman hadiah bunga dari kediaman utama hingga saat ini. Sekarang masih musim semi, istana memiliki banyak bunga cantik dan hadiahnya berupa macam-macam bunga segar dan indah.

Midoriya menghela napas pelan. Dia masih sama sekali tak tersentuh oleh semua hadiah bunga itu. Satu, karena dia tahu itu bukan niat asli putra mahkota. Dua, karena kecemasan soal keselamatan nyawanya sendiri.

"Koshi-san benar-benar berusaha. " gumamnya pelan sebelum kembali meminta maaf dalam hati karena sama seperti putra mahkota, Midoriya juga tak bisa dengan mudah menjadi dekat.

Jemarinya bergerak menyentuh salah satu kelopak bunga. Yah, meski tak tersentuh, tapi Midoriya masih suka bunga. Maka dari itu semua hadiah selalu dia pajang sampai layu dengan sendirinya. Setidaknya dia menikmati keindahannya, meski sama sekali tak pernah memikirkan soal putra mahkota saat melihatnya.

Di lain sisi, Koshi sadar jika niat untuk perlahan mendekatkan putra mahkota dengan calon permaisuri tidak berjalan lancar. Pria paruh baya itu tahu betul jika tak ada perasaan yang tumbuh diantara keduanya.

Untuk Bakugou, memang terlihat jelas jika dia tak peduli. Sedangkan Midoriya masih sering tersenyum dan berkata dia menyukai hadiah-hadiah itu. Namun Koshi tahu jika Midoriya hanya berpura-pura senang, gadis itu tak sungguh-sungguh tersentuh.

Penasehat istana itu menghela napas panjang. "Aku ingin mereka cepat-cepat menikah, tapi kalau begini hasilnya tidak akan baik. "

Meski Bakugou sendiri yang enggan memilih calon istrinya sendiri, tapi menikahkan pasangan tanpa adanya rasa akan membuatnya merasa bersalah.

"Tidak ada cara lain lagi. " Koshi menutup buku yang tengah dibacanya. "Pernikahan akan ditunda, lebih baik mereka bertunangan saja dulu. "

.
.
.
.
.

"Pertunangan? "

Midoriya mengerjap dari balik kain penutup wajahnya. Dia dan tamunya, Koshi, tengah berdiri menikmati pemandangan kolam ikan besar yang indah dengan teratai mekar menghiasi.

"Benar, Nona. " Koshi tersenyum. "Saya memutuskan untuk kalian tidak langsung menikah, melainkan menjalin pertunangan lebih dulu. "

"Uhm, bukannya saya keberatan, tapi kenapa Koshi-san berubah pikiran?"

Fake Bride - BNHA Fanfict (Completed)Where stories live. Discover now