Chapter 31 : Indecisive

57 8 0
                                        

Mereka bertiga berjalan keluar dari cafe itu dan Anta tidak lupa juga untuk berpamitan pada Dion serta Adrian. "Aku pamit ya, kak, Adrian" Ujarnya sambil menundukkan kepalanya sekali.

"Iya ha — "

"Hati-hati ya kak!," seru Adrian yang tiba-tiba memotong perkataan Dion. Dion sekilas meliriknya kemudian menggeleng kepalanya pelan. Anta pun berjalan duluan menuju tempat sepedanya di parkirkan. Saat dia udah sampai di depan sepedanya, dia menoleh ke belakang — melihat Dion dan Adrian berjalan berdampingan. Hal itu mengingatkan dirinya bersama kakaknya dulu, saat dia masih duduk di bangku SMP dan sering diantar jemput oleh kakaknya. Namun saat ini, tentunya mereka jarang berjalan bersama karena kesibukan masing-masing.

Mengingat hal itu, membuatnya langsung tersenyum tipis. Dia pun segera mengambil sepedanya kemudian mengayuh pelan sepedanya itu menuju ke arah rumahnya. Saat dia hampir sampai ke rumahnya, dia melihat seorang pria paruh baya dengan wajahnya dihiasi oleh kumis yang tipis — berada di depan rumahnya bersama dengan ibunya. Mereka berdua saling berbincang dan sesekali juga mereka tertawa. Ibunya tampak terlihat bahagia dan menatap dalam pria itu, entah kenapa itu sedikit mengingatkannya dengan Stefan — orang yang dibencinya dulu, juga penyebab keluarganya hancur.

Rasa sesak itu muncul kembali dan dia memegang dadanya. Dia mengatur napasnya agar kembali tenang. Dia menghirup udara sebanyak-banyaknya kemudian dia hembuskan — dia melakukannya berkali-kali. "Aku harus kelihatan tenang di depan ibu," gumamnya dan memberanikan dirinya berjalan sambil menuntun sepedanya ke arah mereka berdua.

"Sena? Kamu baru pulang sekolah?," tanya ibunya yang sedikit bingung.

"I-iya bu...tadi Sena diajak ngobrol dulu sama kakak kelas"

"Kakak kelas? Oh ya ibu ingat, bukannya kamu ada pembinaan ya di sekolah?"

"Iya, tadi nggak jadi pembinaannya bu dan kebetulan ada kakak kelas yang ngajakin Sena ngobrol bentar".

Ibunya mengangguk pelan.

"Pembinaan apa?," tanya pria yang berada di hadapan mereka.

"Oh...dia mewakili sekolahnya untuk ikut olimpiade," jawab ibunya tersenyum pada pria itu sedangkan Anta hanya menatap datar padanya.

"Wahh hebat dong! Belajar yang rajin ya, tapi ingat untuk jaga stamina tubuhmu. Kalau capek, istirahat saja," ujar pria itu tersenyum pada Anta.

Anta langsung memalingkan wajahnya. "I-ibu, aku masuk duluan ke dalam rumah ya," ujarnya dan ibunya pun mengangguk pelan.

Dia berjalan pelan sambil menuntun sepedanya masuk ke dalam rumah — melewati gerbang yang terbuka lebar itu tanpa pamitan sama pria itu. Setelah masuk ke dalam pekarangan rumahnya, dia dengan segera memakirkan sepedanya. Sekilas dia merenungkan perkataan dari pria itu dan merasa kalau pria itu sepertinya orang baik. Dia pun langsung menggelengkan kepalanya cepat. "Apa sih yang aku pikirkan?! Kenapa aku bisa nge-judge orang yang baru saja aku temui?!"

Dia pun memilih untuk segera masuk ke dalam rumah dan saat dia mau membuka pintu, terlihat Rara yang muncul dari kamarnya — berlari ke arahnya. "Kakak! Akhirnya pulang juga," seru Rara senang sambil memeluknya.

Anta tersenyum kemudian mengelus kepalanya. "Iya..."

Rara mendongak. "Oh ya kak, hari ini kakak nggak sibuk kan?," tanya Rara manja.

"Ehmm..."

"Pasti sibuk lagi ya...," tebak Rara dan dia masang wajah cemberut.

"Hehe iya...," sahut Anta tersenyum canggung pada Rara dan sekarang dirinya dibuat bingung, bagaimana caranya dia agar bisa menghibur Rara. Sekilas ada ide dipikirannya dan dia pun tersenyum pada Rara. "Bagaimana kalau Sabtu nanti, kita pergi ke cafe? Di sana ada wahana permainan juga," ujarnya.

𝑼𝒏𝒇𝒐𝒓𝒆𝒔𝒆𝒆𝒏 𝑻𝒊𝒆𝒔 [COMPLETED]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora