Chapter 6 HERO

493 165 157
                                    

Rani merasa hari ini berjalan lebih panjang. Namun hal itu menurutnya tak sebanding dengan hari-hari yang dilewati Ibu Hasmi selama ini. Hari yang selalu diwarnai cacian, pukulan, dan tendangan suaminya itu pasti terasa sangat melelahkan dan menyakitkan. Mungkin memang Umar dan dirinya yang menyelamatkan Ibu Hasmi. Namun pahlawan Ibu Hasmi yang sebenarnya adalah Yusuf, putranya. Karena keberanian untuk mengungkap kekerasan sang ayah itulah yang sejatinya menghentikan penderitaan mereka.

Umar segera mengantar Rani pulang. Namun sebelum pulang, Rani sempat mendapat perawatan di rumah sakit, karena kaki yang dia gunakan untuk menendang ayah Yusuf sore itu terkilir.

Kini keduanya terlihat duduk di lobi rumah sakit, menunggu pesanan taxi online datang.

"Gimana kaki kamu, Ran? Udah mendingan?" seloroh Umar, cemas.

"Udah kok, Mas."

"Tendangan mautmu itu tambah keren, Ran." ujar Umar terkagum-kagum.

"Hehe keren apanya, Mas? Karena Rani lama enggak latihan, jadinya malah begini." ringis Rani sembari menatap kakinya yang terpasang gips.

"Bagiku sangat keren... "

"Nah Mas Umar jadi kudet, gara-gara pindah ke Semarang jadi enggak pernah lihat Rani ciat-ciatin orang." manyun Rani.

"Maaf Ran... "

"Kok maaf, Mas?" Rani jadi terheran-heran.

"Selama ini aku terlalu sibuk... sudah 6 bulan terakhir itu juga aku gak main ke Jogja. Katanya kita teman tapi aku sendiri jarang perhatiin kamu setelah pindah itu." jelas Umar. Kayaknya Mas Umar ini tipe-tipe workholic ya gengs.

Umar adalah cinta monyet Rani saat masih bocil kelas 3 SMP dulu. Saat SMA, dia pun pernah memberi Umar gelang couple persahabatan. Karena punya kakak yang kelakukannya tak ada baik-baiknya (baca: kelakuannya mirip sama Rani), membuatnya mencari figur kakak idaman. Dan nominasinya itu jatuh pada Umar, teman kuliah kakaknya yang dikenalnya shalih, dewasa, care dan abangable sekali. Jika diingat lagi, dulu Rani sempat mogok makan saat Umar pergi.

"Pokoknya yang penting Mas Umar sekarang ada di sini!!!"

"Kalo gitu mulai sekarang Mas Umar harus full time jadi komplotan Rani kalo di depan Mas Barry." ujarnya hampir tak bisa menahan perasaannya yang berflower-flower.

"Haha insyaallah, Ran."

Beberapa saat kemudian, pesanan taksi online mereka datang. Kurang lebih 15 menit, mas driver pun berhasil mengantar mereka di kediaman Pak Munandar. Di sana sudah ada Bu Shinta dan Barry yang menunggu kedatangan mereka. Di ruang tamu itu, Umar segera menjelaskan apa yang terjadi.

"Udah Mar, biar Rani nanti yang jelasin semuanya. Kamu pulang aja." saran Barry paham dengan apa yang terjadi.

"Gimana kamu ini Barry, malah nyuruh Nak Umar pulang... " tegur Bu Shinta.

"Nak Umar... malam ini mending istirahat saja disini." sambung Bu Shinta, menawarkan sahabat putranya itu untuk menginap.

"Eh iya Mar, daripada capek-capek pulang ke kontrakan." sahut Barry.

"Suwun Tante, Bar, besok-besok saja. Umar ada kerjaan yang belum rampung jadi harus balik ke kantor." tolak Umar sopan.

Mendengar itu, Bu Shinta dan Barry pun manggut-manggut.

"Terimakasih lho Nak Umar. Rani anaknya dari dulu suka ngerepotin ya?" ujar Bu Shinta.

"Tidak repot Tante. Dan Rani benar-benar sudah menyelamatkan situasi tadi." sahut Umar sopan, menunjuk kaki Rani yang digips.

Sedangkan si empu kakinya itu sedari tadi mesam-mesem tak jelas.

"Tuh Mah, Mas Barry, nanti kalo Rani cerita dengerin baik-baik. Kasian Rani tau, mana ini gamis favorit Rani hiks." Rani manyun, meratapi gamisnya yang sobek.

"Pokoknya Mamah harus janji ganti gamisnya." sambungnya.

Bu Shinta tak menghiraukan celotehan putrinya itu dan memilih ngacir ke dapur. Sekembalinya itu, Bu Shinta memberikan seplastik keripik peyek kacang hijau. Umar terlihat malu-malu menerimanya dan tak lupa mengucapkan terimakasih.

Setelah kepergian Umar, Rani langsung kena sidang oleh Bu Shinta dan Barry.

"Rani emang pencilakan, Mah." ujar Barry.

"Hm jangan ngadi-ngadi ya Mas, diinget lagi deh cerita Mas Umar tadi gimana." protes Rani.

"Untung kata dokter gak terlalu parah cideramu, Nduk." sahut Bu Shinta antara cemas dan lega, berkali-kali memeriksa kaki Rani yang terpasang gips.

"Sekali-kali Mah, udah lama Rani enggak nendangin orang. Wah kalo Mamah lihat Rani tadi hmmm pasti Mamah bakal bilang Rani keren deh."

"Ngeri iya Mamah, Ran. Kamu ini." cemas Bu Shinta.

"Beneran deh, Mah. Tadi mirip di drama korea, waktu si Park Shin Hye nendang lawannya sampe keok pake salto-salto juga. Eh meskipun tadi Rani enggak pake salto, tapi Rani enggak kalah keren dari Park Shin Hye kok, Mah." cerocos Rani kembali menceritakan aksinya tadi dengan heboh.

Bu Shinta geleng-geleng kepala mendengar penjelasan putrinya itu.

"Pak asin-asin apalah tadi itu, tapi ini kamu Nduk, anak perempuan Mamah. Ya meskipun katanya kamu itu sudah menyelamatkan mereka." ujar Bu Shinta khawatir sekaligus bangga.

"Nahh kan, Mah."

"Udah bener si Umar itu. Jurus terakhir ya kabur bukan nantangin." seloroh Barry.

"Bener apa yang diomongin Masmu itu. Tidak semua harus dihadapi kalo emang bahaya." ujar Bu Shinta mengingatkan.

"Wong udah gak pernah latihan sok nunjukin jurus." sindir Barry.

Rani masih diam, mendengarkan Bu Shinta dan Barry yang kompak mengomel.

"Nak Umar pasti repot tadi ngurus kamu, Nduk."

"Jelas Mah, kerjaannya Umar juga belum selesai." sahut Barry sedari tadi bersemangat mengompori kecemasan mamah mereka.

"Ya Allah Gusti, Nduk-Nduk. Kamu ini."

"Pokoknya masalah apapun harus dihadapi. Kalo gini Rani bisa libur ngampus beberapa hari yeayyyy." seloroh Rani kegirangan. Seolah menganggap kakinya yang terkilir itu bak berkah yang harus dibikinin tumpeng.

"Tuh Mah. Rani emang harus dirukyah." sarkas Barry.

"Udah Barry. Mamah minta tolong ambilin minum lagi buat adekmu." pinta Bu Shinta.

"Iya Mah."

"Mas Barry... "

"Apa?

"Kali ini request yang manis, dingin, creamy, yang wangi, yang ada kenyal-kenyalnya." pinta Rani yang membuat mata Barry melotot. Barry tahu kalo adiknya itu sedang minta dibawakan boba kesukaannya.

"Udah gak usah minta yang aneh-aneh, minum dulu yang ada." sahut Bu Shinta.

"Iyaa Mah."

***

Muslimah Random (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang