Chapter 38 Ta'aruf dan Rindu

256 26 27
                                    

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

HAPPY READING!!!
.
.
.
.

Setelah kasus pelecehan itu, Najwa mencoba bangkit perlahan. Sudah lama Najwa resign dari pekerjaan paruh waktu di restoran. Kini dia menemukan minat terpendamnya soal permake-up. Rani ikut lega melihat Najwa mulai beraktifitas seperti biasa.

"Wahh skill loe makin keren gini." puji Rani melihat riasan Najwa di wajahnya.

"Iya dong, Najwa." sahut Najwa senang.

"Gue suka alisnya nih, ajarin bikinnya dongggggg." pinta Rani. Najwa langsung membocorkan tutorial bikin alis yang kece abis.

"Ahhh makanya keliatan cakep begini." puji Rani

"Ya loe kan tadi requestnya bikin natural look."

"Okeyy bagooossssss."

Setiap Najwa ingin berkreasi dengan make-upnya itu, Rani selalu maju paling depan jadi orang yang supportnya.

"Eh tumben Mas Barry dari tadi enggak keliatan." seloroh Najwa tiba-tiba.

"Ngapain loe nyariin abang gue?" tatapannya memicing curiga.

"Mau gue ajakin taaruf." celutuk Najwa.

"APAHHHH?"

"Yahh enggak boleh?" gumam Najwa nelangsa.

"Najwa tengkyuu ternyata ada yang mau juga sama abang gue!" Rani malah menyalami Najwa dan tak berhenti mengatakan terima kasih.

"Lahhhh?"

Tok tok tok.

Terdengar suara Barry memanggil. Rani membuka pintu dan abangnya itu berdiri di depan kamarnya sembari menenteng bungkusan.

"Tau aja kalo lagi digibahin." ujarnya menyambut Barry.

"Hm gibahin apa? Nih." Barry menyerahkan bungkusan.

"Perasaan Rani enggak nitip." Heran Rani menerima bungkusan itu.

"Ya udah balikin."

"Ehhh makasihhh, Mas." Rani mencengkeram erat bungkusan itu sebelum Barry mengambilnya kembali.

"Tadi Mas salah pesen jadi buat kamu aja." Sensinya pun kumat. Padahal Barry memang sengaja mentraktir Rani.

"Oooo..."

"Jangan lupa bagi sama Najwa." Barry melirik Najwa yang berada di dalam kamar adiknya itu.

"Makasih Mas Barry." sahut Najwa cepat, ada traktiran.

"Lagi diet dia." seloroh Rani.

"Semua orang kamu katain diet. Gimana kalo mereka kelaperan terus innalillahi wa innailaihi rojiun." rutuk Barry.

"Becanda kali. Makasih lho, Mas."

Barry ingin beranjak tapi Rani malah mencegahnya.

"Apa lagi?"

"Mas, gimana Najwa?" Rani mengangkat-angkat alisnya sebelah, menatap Barry dan Najwa bergantian.

"Rannnn." delik Najwa, gusar.

"Gi-gimana apanya?" Barry pura-pura tak tahu maksud adiknya itu.

"Katanya mau taaruf sama Mas Barry." celutuk Rani.

"Rannnnnn."

"Hmm bo-boleh." ucap Barry malu-malu.

Barry mati kutu. Untung, sebuah telfon menyelamatkannya. Barry pun ngacir pergi dari kamar Rani untuk menjawab panggilan tersebut. Sepeninggal Barry, Najwa mencak-mencak. Padahal dia tak bermaksud serius dengan perkatannya soal taaruf itu.

"Tuh kan liat abang gue kalo sama cewek menciut. Makanya Ning Aliya keburu... " seloroh Rani di tengah tabokan dan sepak gemas Najwa.

"Loe jangan jahat-jahat sama abang sendiri." sahut Najwa.

"Nah makanya, gue kasih restu biar abang gue loe taarufin." goda Rani.

"Yahh masak cewek yang ngajak taaruf dulu. Malu dong." protes Najwa dengan kejailan sahabatnya itu.

"Sekelas Siti Khadijah aja mau ngajak taaruf Nabi Muhammad dulu. Apa lagi kita generasi micin yang banyak enggak punya malunya... " Rani terkekeh pelan.

"Jadi?"

"Ya gas ajaaa, Maemunah."

"Maemunah-Maemunah... "

"Enggak punya malu dalam kebaikan itu malah bagus." ujar Rani.

"Setuju sih. Muslimah juga perlu agresif kayak loe." sahut Najwa.

Mendengar itu, raut wajah Rani berubah sendu. Ah dia jadi teringat dengan Umar yang jauh di sana. Btw ada yang penasaran kenapa Umar enggak balik ke Jogja lagi? Yes, setelah sang ibunda wafat, kesehatan sang ayah menurun. Umar pun harus menjaga ayahnya.

"Tapi kayaknya gue enggak bisa agresif lagi, Wa." gumamnya nelangsa, menatap jendela kamarnya dengan tatapan kosong. Akhir-akhir ini dia memang berubah menjadi sedikit melankolis.

"Kenapa lagi? Ning kalian itu kan udah otw ke pelaminan... "

"Hmm gue takut ngerepotin Mas Umar lagi." Rani mendesah panjang mengingat tulah-tulah dari perbuatannya yang menimpa Umar.

"Loe enggak tahu kalo selama ini dia bener-bener tulus sama loe?"

"Gue sadar bangettttt."

"Terus?"

"Wa, enggak ada salahnya kan kalo gue berharap Mas Umar balik kesini lagi?" harap Rani sembari menatap burung gereja yang buang hajat di jendela kamarnya.

Sedangkan di bagian lain rumah itu.

Barry masih asyik berbincang dengan seseorang di telepon. Rupanya telepon masuk tadi berasal dari panggilan Umar.

"Gimana keadaan ayah loe?"

"Alhamdulillah beliau makin sehat." ujar Umar di seberang sana. Barry pun ikut bersyukur.

"Gimana, Rani?" sambung Umar.

"Makin gak jelas dan gangguin gue mulu." sahut Barry, mengingat tingkah adiknya akhir-akhir ini yang berhasil membuatnya pusing tujuh keliling.

"Mungkin dia lagi stress, Bar."

Di ujung sana Umar tersenyum. Dia teringat, setiap menelpon Rani, cewek itu selalu mengeluhkan soal sang kakak.

"Ya udah, gue tutup. Salam buat Rani..."

"Salam-salam... buruan kesini, tanggung jawab nih adek gue." desak Barry.

"Ya Allah emang Rani gue apain, anjir." protes Umar di seberang sana.

"Gue ngomong gini sebagai abangnya Rani, yang sopan loe." Ancam Barry, diam-diam nyengir puas.

"Hassss... Kampret loe."

***

Gimana buat chapter ini?

Detik
Detik
Menuju ending

Nantikan ending Muslimah Random
Hari sabtu nantiiiii😍

Se youuuuuu

Muslimah Random (TERBIT)Where stories live. Discover now