Chapter 34 Merindu Lagi?

164 36 27
                                    

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Hai hai jumpa lagi sama Muslimah Random🥰
Gimana kabar kalian?
Author lagi sibuk banget di rl
So, langsung aja yaaaa
Happy weekend
Happy reading🔥
.
.
.
.
.

S

eminggu kemudian, Barry dan Rani menjemput Umar keluar rumah sakit. Keadaan Umar semakin membaik hanya tangannya yang terlihat masih terbalut perban. Setelah mengemas barang-barang, mereka segera meluncur ke rumah Barry.

“Assalamu’alaikum.”

“Waalaikumsalam.”

“Ehhh Nak Umar. Ayo masuk.” sambut Pak Munandar ramah.

Mereka pun duduk di ruang tamu.

“Nak Umar, benar sudah sembuh?” seloroh Bu Shinta sembari menunjuk pergelangan tangan Umar yang diperban.

“Alhamdulillah Tante. Cuma perlu istirahat sedikit lagi.” timpal Umar dengan sopan.

“Alhamdulillah Ya Allah… “

“Pelakunya bagaimana Nak Umar?” sahut Pak Munandar.

“Sudah ketemu, Om.” Mendengar itu, Pak Munandar pun manggut-manggut.

“Syukurlah, Nak Umar. Setiap orang mesti menerima ganjaran sesuai dengan apa yang diperbuatnya.” sahut Bu Shinta.

Bu Shinta sungguh berterimakasih pada Umar karena sudah menyelamatkan putrinya. Namun Bu Shinta juga sempat mendengar soal pemecatan sahabat putranya itu yang bisa dikatakan ada sedikit bumbu tulah dari si bungsu. 

“Tante minta maaf Nak Umar atas nama putri Tante. Dari dulu kelakuannya suka sembrono dan keras kepala ya. Kadang pengen tante hiih.” ujar Bu Shinta merasa tak enak. 

“Mahhhh.” protes Rani merasa malu.

“Ini semua pasti merepotkan Nak Umar.” cemas Bu Shinta sembari menatap tajam putrinya.

“Bukan merepotkan Tante… ini memang udah tugas Umar.” Umar hanya tersenyum santun tak ingin ada perdebatan di antara anak-ibu itu.

“Laki-laki sejati itu berani mengambil resiko dari setiap perbuatannya, apalagi untuk melindungi perempuan. Itu adalah tugas yang mulia yang Allah berikan kepada kaum kita, iya to, Nak Umar?” timpal Pak Munandar bangga.

“Njjeh Om, betul.”

Sedangkan Rani hanya mesam-mesem mendengarnya.

Wis, ayo makan siang dulu.” ajak Bu Shinta.

“Ayo Mas Umar. Rani udah masak banyak lho.” ajak Rani.

“Mari Nak Umar.” ajak Pak Munandar mulai beranjak.

Njjeh, Om.”

“Ada ayam goreng request-an Barry gak nih?” seru Barry.

“Enggak ada, ayamnya lagi diet.” sahut Rani membuat Barry hampir menoyor kepalanya.

***

Setelah makan siang dan shalat dhuhur berjamaah, ketiganya nangkring di ruang tengah. Barry dan Rani terlihat heboh main PS sedangkan Umar menikmati camilan sembari mengawasi permainan kakak-adik itu.

Yessss Rani menang!!” pekik Rani kegirangan.

“Ah curang… ” protes Barry.

“Eh monmaap Mas Barry silahkan tanya malaikat kanan kiri Rani nih, beliau-beliau tuh saksinya.” kilah Rani, memegang kedua pundaknya.

“Dan sekarang beliau-beliau lagi catet kesombonganmu itu.” sarkas Barry

“Penting ada yang disombongin wle.” seru Rani.

“Mana boleh.”

“Ahhh enggak asik main sama Mas Barry. Enggak terima kalo kalah.” keluhnya sembari menaruh stik PS di atas meja.

“Ayo gue siap main lagi.” tantang Barry.

“Ogahhh.”

Rani malah mengalihkan pandangannya pada Umar yang duduk di samping abangnya itu.

“Mas Umar bener tangannya udah sembuh? Masih sakit tuh kayaknya.” cemas Rani, menunjuk tangan Umar yang diperban. 

“Masih slemet-slemet dikit, Ran.”

“Tangannya siniin Mas, ntar Rani bimsalabim biar cepet sembuh.” celutuk Rani. Kini tangannya pun mulai bergerak layaknya tongkat peri ajaib yang siap mengabulkan dan memperbaiki sesuatu. Wow ajaib banget ges.

“Hati-hati syirik.” seloroh Barry melihat tingkah Rani yang prik.

“Hehe, badanku yang pegel gara-gara banyak rebahan di rumah sakit.” timpal Umar.

“Eh mau dipijitin, Mas? Biar dipijitin Mas Barry.” tawar Rani sembari menabok Barry.

“Hm nyuruh-nyuruh.” protes Barry.

“Kalo gitu enggak apa-apa nih, Rani yang mijitin?” desis Rani dengan senyum genitnya.

“Heh bukan mahram.”

Barry segera membungkam mulut Rani, menghalau senyum genit adik perempuannya itu.

“Hmmpppp, Mas Barry ihh.”

“Ngapain senyam-senyum, Mar? Haram loe bayangin adek gue.” sembur Barry melihat Umar yang sedari tadi mesam-mesem tak jelas.

“Malah lagi bayangin kalo loe yang mijitin, Bar.” nyengir Umar.

“Hahaha, sukurinnn.” seloroh Rani.

“Hasyyyy… ternyata titisan kaum Nabi Luth loe.”

Umar terkekeh. Rani pun ngakak.

Lope-lope di mata Umar dan Rani pun semakin banyak. Rani tak mengelak jika sisa-sisa perasaannya pada Umar tumbuh lagi apalagi melihat pengorbanan Umar untuknya. Begitu juga Umar yang semakin bertekad untuk menjaga tawa Rani yang menggelegar itu. Namun sebuah telfon masuk ke ponsel Umar, mengabarkan duka bahwa sang ibunda di kampung halaman telah berpulang kepadaNya.

Rupanya dua sejoli itu harus segera menyiapkan hati untuk merindu lagi gengs.

***
Gimana?

Haduh selalu ada saja rintangan yang datang menerjang kisah cinta Rani dan Umar😭 Padahal cinta sedang bersemi dan bermekaran diantara dua sejoli itu🙂

Penasaran dengan kisah mereka selanjutnya?

NEXT???

SAMPE JUMPA BESOK

Muslimah Random (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang