Chapter 30 Misi Rahasia

180 46 79
                                    

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

HAPPY WEEKEND

HAPPY READING

.

.

.

"Dipecat?"

Barry terkejut mendengar perkataan Umar di seberang sana.

"Jangan-jangan loe ngejar berita itu karena Rani yang maksa?" selidik Barry, teringat Rani yang mengawal kasus pelecehan di kampus dan mengatakan sedang meminta bantuan Umar.

"Ngejar berita emang kerjaan gue, Bar." ujar Umar di seberang sana. 

"Gue juga tau, Mar."

"Nahh."

"Gue denger kalo pelakunya anak orang berpengaruh. Jangan-jangan... " ujar Barry teringat berita yang dilihatnya pagi itu.

"Udah... mungkin emang belum rezeki gue." sahut Umar santai.

"Tapi tetep aja, loe jadi orang enggak usah gak enakan sama Rani." ucap Barry merasa tidak enak. Dia tahu betul bagaimana kelakuan adiknya itu. Meski ia juga tahu, Rani berjuang di jalan yang benar. 

"Adek loe itu malah bantuin gue, Bar." seru Umar.

"Loe tahu gimana Rani kalo udah bertekad gak bisa dihentikan. Kalo tuh anak udah keterlaluan, gak usah diladenin, Mar." ujar Barry.

"Gue minta tolong gak usah bilang sama Rani, Bar. Dia cuma ngelakuin apa yang harus dilakuin, gue malah salut sama dia." timpal Umar terdengar penuh kebucinan.

Umar punya alasan tersendiri, bukan lain karena ia tidak ingin membuat Rani khawatir soal pemecatannya yang mungkin akan berdampak pada berita pelecehan tersebut. Selama ini berita buatannya memang sangat membantu para korban. Tulisan Umar yang berani ketika mengabarkan fakta kejahatan Rendy dan fakta serta dukungan untuk para korban telah menjadi sebuah penerang kasus tersebut. Bagi Umar, pemecatan itu sekalipun tidak akan menjadi penghalang untuknya membantu Rani menyuarakan keadilan para korban. Buktinya sekarang laki-laki itu masih terus membuat berita kasus pelecehan dan dirilis melalui media lain.  

"Siapa dulu si Rani, adek gue ..." sahut Barry dengan bangganya.

Umar tersenyum di seberang sana karena mengingat kelakuan adik-kakak yang saling menjahil dan iseng tapi di sisi lain saling mendukung dan mengasihi satu sama lain.

"Kenapa adek gue nyusahin loe mulu." decak Barry, heran.

"Mending... daripada loe yang nyusahin." cibir Umar.

"Kampret loe... sekarang loe di mana?" kepo Barry. Dia yang sedang beranjak pulang dari kantor itu sedari tadi memang berniat untuk bertemu Umar.

"Di kontrakan."

"Ngapain?"

"Mabar sama bocil tetangga."

"Ya udah gue nyusul, tapi ambil makan dulu di rumah. Rani lagi masak rawon banyak." serunya dengan semangat.

"Jangan lupa kerupuk udang, Bar." seru Umar tak kalah semangat mendengar kata rawon.

"Siapp bos."

***

Setelah beberapa hari pikiran dan badannya penat, Rani mencoba bersantai ketika weekend datang. Pagi menjelang siang itu, dia terlihat berjalan menuju ruang tengah lalu menyalakan tv. Rani mengambil posisi wenak dengan mengamit setoples makaroni pedas kesukaannya. Namun baru 30 menit berlalu, dia sudah merasa bosan.

"Hmm Mas Umar lagi ngapain ya? Mending gue ajak healing-healing." gumamnya sembari membuka ponsel.

Entah kenapa nama Umar-lah yang langsung terlintas di pikirannya. Pasalnya selama ini Umar jarang menolak permintaannya dari hal-hal sepele sampai hal-hal penting sekalipun. Pokoknya selalu Umar jabanin tuh anak. Entah apa Umar yang terlalu baik padanya atau memang Rani-lah yang tak tahu malu.

"Mau nyuruh Umar ngapain lagi?" seloroh Barry yang tiba-tiba sudah duduk di samping adiknya itu.

"Apaan sih, Mas." kaget Rani menyadari keberadaan abangnya.

"Tadi Mas denger, Umar... "

"Rani cuma mau ngajakin Mas Umar jalan-jalan." desis Rani

"Biar Umar istirahat, dia juga butuh rebahan weekend begini."

"Daripada rebahan mending cari udara segar, tadabbur alam. Mari healing-healing berpahala bersama Rani." seru Rani memainkan tangannya seolah sedang berkendara. Brum, brum, brum.

"Jangan kamu samain cara orang ngabisin weekend. Gak semua pilih tadabbur alam kayak kamu itu."

Barry menghela nafas. Umar baru saja mengalami musibah yang secara tak langsung dikarenakan tulah adiknya itu. Ya tulah Rani yang keras kepala merecoki Umar soal berita pelecehan Najwa. Tentu, sekarang Barry hanya sedang berikhtiar menjauhkan Umar dari tulah-tulah Rani selanjutnya. 

"Lagian kalo Mas Umar enggak bisa, Rani juga enggak bakal maksa kok." dengus Rani merasa Barry terlalu mencampuri.

"Kamu mau ajak Umar kemana?" kepo Barry.

"Kenapa dari tadi yang sewot Mas Barry sih." protes Rani.

"Umar itu sahabat berharga, Mas. Mas cuma mau lindungin Umar biar nggak kena tulah-tulahmu itu seperti kemarin."

Sejak kemarin Barry merasa tidak enak dengan Umar. Baru beberapa bulan sahabatnya itu mengadu nasib ke kotanya namun kini harus dipecat dari kantor. Sembari menunggu panggilan kerja, Umar pun sedang serabutan. Biaya makan sehari-hari, membayar kontrakan, rokok, kopi dan kadang Umar masih mau saja memenuhi rengekan Rani. Ah malang sekali nasibmu itu, Mar.

"Maksud Mas Barry? Tulah yang kemarin mana lagi sih?"

"Itu... waktu... " Barry bingung mengatakannya. Memang semua itu bukan kesalahan adiknya, tapi ia hanya ingin Rani lebih kalem ketika menghadapi sesuatu. Namun di sisi lain, Umar juga sudah memintanya untuk menyembunyikan soal pemecatan itu. 

"Tuh Mas Barry emang suka nuduh-nuduh adek sendiri." kesal Rani.

"Ini juga akhir bulan, Umar mungkin belum gajian." Barry menghela nafas, hampir saja dia keceplosan. 

Mendengar itu Rani buru-buru protes karena dia merasa tak sesering itu minta ditraktir. Namun Barry menyodorkan fakta lain jika rengekan Rani-lah yang sering bikin orang di sekitarnya tidk berdaya. Rani tak menyangkal, dia langsung kicep. 

"Ya udah, sekarang biar Rani yang traktir Mas Umar."

"Emang kamu punya uang?" selidik Barry.

"Hehe minta Mas Barry dulu dong." nyengir Rani, tangannya pun sudah menadah di depan Barry.

 Barry menghela nafas, menggeleng-geleng pasrah. "Ya udah ayo."

"Eh ayo-ayo kemana, Mas?" Alis Rani saling bertaut.

"Tadabbur alamnya sama Mas, biar Umar istirahat... "

"Beneran Mas?"

"Hmm."

"Kenapa Mas Barry akhir-akhir ini jadi baik banget sih? Rani jadi takut." Rani memicing curiga.

"Nanti orang-orang ngira Masmu ini gak sayang sama adek sendiri." sahut Barry dengan muka sok coolnya itu.

"Ohhh mau pencitraan? Pantes sih, wong realitanya emang kayak Fir'aun." sindir Rani.

"Fir'aun?"

"Iya. Kejammmm."

Sebelum Barry menoyor kepalanya, Rani memilih memasang kuda-kuda dan lari sekencang mungkin menuju kamar. Kaburrrrrr.

***

Gimana??

Kalian tim anak rumahan atau anak kelayapan yang bokongnya gatel mulu padahal baru duduk sebentar di rumah kayak Rani itu?

Next?

Sampai jumpa di chapter selanjutnya yaaaaa



Muslimah Random (TERBIT)Where stories live. Discover now