Chapter 33 Ikhtiarin Kamu

169 39 68
                                    

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah akhirnya bisa nepatin JANJI buat up malam ini. Semoga kalian terhibur sama ceritanya.

HAPPY READING!!!
.
.
.
.

Rani datang bersama Barry ke rumah sakit, bergantian dengan Aliya dan adik bungsunya, Ning Zahra yang sudah seharian menemani. Sesampainya di sana, Aliya terlihat sudah bersiap untuk pulang. Katanya ada pengajian kitab bersama mbak-mbak santriwati sore itu.

"Aku pamit dulu, Mas Umar. Sampean baik-baik ya. Semoga cepat sembuh. Syafakallah, Mas."

Aliya sekali lagi memanjatkan doa kesembuhan untuk Umar dan ikut diamini oleh semua yang ada di ruangan.

"Makasih, suwun, Ning Aliya, Ning Zahra." ujar Umar.

Rani mengantar kedua ningnya itu keluar. Ketiganya lalu menuju parkiran, mendekat ke arah mobil Aliya yang terparkir di sana.

"Jaga Mas Umar, Dik."

"Pasti Ning... " sahut Rani.

"Alhamdulillah. Kita pasti bersyukur punya sahabat seperti Mas Umar ya, Dik" Aliya menatap Rani, tersenyum.

"Iya Ning, Rani tahu maksud Ning Aliya." ucap Rani sendu.

"Apa yang terjadi pada Mas Umar adalah musibah, Dik. Dan syukurlah keadaan Mas Umar cepat membaik. Aku juga bangga sama semangat Dik Rani yang udah banyak bantu para korban pelecehan itu." seru Aliya mencoba menghiburnya.

Rani menggeleng. Dia merasa semangatnya yang tak terkontrol itu telah berubah menjadi keegoisan yang hampir melukai orang-orang di sekitarnya. Seperti yang sudah dia lakukan kepada Najwa dan mungkin juga kepada Umar.

"Ah enggak juga Ning, suwun Ning."

"Ya udah aku pamit ya, Dik. Wassalamu'alaikum." Pamit Aliya.

"Waalaikumsalam. Hati-hati, Ning Aliya, Ning Zahra."

Rani menatap mobil Aliya yang semakin menjauh dan segera kembali ke ruangan Umar.

Sore itu Umar terlihat jauh lebih segar dan mulai lancar berbicara karena bibirnya sudah tidak jontor lagi. Sedangkan di dalam ruangan itu, Barry dan Umar sedang membicarakan kembali kejadian pengeroyokan. Dalam berita terbaru, polisi menyatakan Rendy-lah dalang di balik semuanya.

Terungkap! Dalang Pengeroyokan Jurnalis di Jogja

"Mas Umar... "

Barry tahu, Rani dan Umar butuh waktu untuk bicara. Dia lalu beranjak menuju sofa dan mulai memainkan ponselnya.

"Bismillah, mau omelin Mas Umar dulu... " lirih Rani antara kesal, malu dan bersalah.

"Hahah masih tega marahin aku, Ran?" keluh Umar sembari menunjuk pergelangan tangannya yang diperban.

"Habisnya Mas Umar gitu... Mas Umar bisa aja nolak kalo emang enggak boleh ditayangin beritanya?!" sesalnya semakin menjadi-jadi

"Mas... "

"Maaf aku gak bermaksud menyembunyikannya. Aku cuma terlalu ikut bersemangat karena melihat semangat dan keberanianmu yang luar biasa untuk mengungkap kasus itu." ujar Umar penuh arti.

"Aku juga ingin mendukung apa yang udah kamu dan teman-temanmu perjuangin untuk bantu para korban. Ini juga ikhtiarku buat ikut melawan segala bentuk kemungkaran. Dan kemarin, tentu saja aku tidak bisa tinggal diam saat orang lain berniat jahat dan melukaimu." sambungnya.

"Mas Umar... "

Rani mendongak, tatapan keduanya pun bersirobok. Kupu-kupu dalam dada Rani dan Umar seperti ikut ngedance alias menari-nari. Sedangkan Barry yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka itu masih mengawasi.

"Ekhem... haus nih." seloroh Barry, pura-pura mengambil minum, membuyarkan tatapan mereka. Sedangkan Rani dan Umar langsung mengalihkan pandangan mereka, merasa malu sendiri.

"Udah ya Ran, khatam." tukas Umar.

"Ya udah gantian Mas Barry, si komplotan." manyun Rani beralih menatap tajam Barry.

"Jatah skincaremu udah habis kan? Mas tebus pake itu." bujuk Barry.

"Dosa Mas, pake suap-suap segala." protesnya.

"Ditebus bukan suap wle." dalih Barry.

Umar hanya tersenyum melihat tingkah mereka. Menurutnya bonyok-bonyok di wajahnya tidak sebanding dengan kesempatan yang diberikan Allah selama ini untuk mengenal gadis di depannya itu. Sedangkan melihat senyum Umar, Rani merasa jantungnya jedag-jedug lagi. Rasa kagum, hormat, bangga, sendu dan haru bergemuruh dalam dadanya.

"Rani kupasin buah ya, Mas." seloroh Rani salah tingkah, mengambil sebiji apel dari nakas.

"Hmm mau shalat dulu ya, udah maghrib." sahut Umar.

"Ehh iyaiya udah maghrib."

Rani gelagapan, mencoba menyembunyikan saltingnya sembari menatap jam di dinding.

"Iya Ran, ayo shalat dulu."

"Sabi nihhh diimamin." gumam Rani salah tingkah.

"Hm gimana, Ran?"

Umar sedang bersiap bersuci lalu shalat munfarid karena tangan dan kakinya masih sakit. Munfarid= shalat sendirian/tanpa imam.

"Eh maksudnya... woi Mas Barry buruan imamin." seru Rani menyembunyikan rasa malunya.

***
Gimana gengss?

Benih-benih cinta Rani dan Umar semakin bersemi aja nih akhi, ukhti😍 Kali ini mari doakan pdkt Umar lancar jaya seperti merek keripik tempe satu ini.

Benih-benih cinta Rani dan Umar semakin bersemi aja nih akhi, ukhti😍 Kali ini mari doakan pdkt Umar lancar jaya seperti merek keripik tempe satu ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Penasaran sama kisah mereka selanjutnya?

Spam NEXT di sini!!

Muslimah Random (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang