DUA PULUH TUJUH

22.5K 1.5K 397
                                    

Tuhan menciptakanmu hampir sempurna. Dan kamu harus bangga.

Ranatasya Matahari

Happy reading🤍

Di malam hari, sebuah tamparan yang begitu keras mendarat di pipi mulus Matahari. Nilai yang ia sembunyikan dengan sengaja tak memberitahu pada orang tuanya ternyata ketahuan oleh mereka. Entah bagaimana mereka tahu karna seingatnya buku itu ada di dalam tas. Tapi sekarang bukunya sudah dipegang oleh Ayahnya sendiri. Dengan melempar kasar hingga terkena wajah gadis itu.

"KENAPA MALAH MENURUN LAGI?!" bentak Haris pada gadis itu yang sudah menunduk takut.

"Ini baru tugas kamu. Gimana nanti kalau ulangan?! Kamu bisa gak sih kayak Abang kamu?"

"LIAT AYAH!"

Kepala gadis itu langsung menenggak yang sedari tadi hanya menunduk takut pada Ayahnya.

"Kamu itu anak Ayah. Jangan bikin malu Ayah di depan Abang sama Mama kamu! Abang kamu berhasil bikin Ayah bangga. Sangat. Sangat bangga. Tapi kamu?" Haris mendorong Matahari begitu kencang hingga terbentur kursi tempat ia belajar. "Kamu selalu bikin Ayah malu!"

"SEKALI AJA GAK BIKIN AYAH MALU, BISA GAK SIH KAMU?!"

Walau begitu perih di hatinya karna semenjak Ayahnya menikah lagi ia selalu disalahkan. Hal sekecil apapun. Ia selalu salah di mata mereka. Kecuali Abangnya sendiri.

Tersadar seluruh tubuhnya sudah sakit karna terbentur kursi yang begitu keras tadi. Bahkan pipinya berkali-kali merasakan denyut yang tak karuan. Ayahnya menamparnya dengan begitu kuat sampai tak sadar kalau yang pria itu tampar anak kandungnya sendiri. Anak yang dulunya selalu ia manja. Anak yang dulunya selalu ia sayang begitu tulus. Namun sekarang kata sayang itu bahkan sudah tak Matahari dengar lagi.

Matahari mencoba untuk bangun. Kali ini ia akan coba untuk mengutarakan isi hati pada Ayahnya.

"Abang berhasil bikin Ayah bangga karna ada dukungan dari Ayah. Sedangkan Matahari?"

"Kata bangga aja Matahari udah gak pernah denger. Apalagi dapet dukungan dari Ayah."

Haris terdiam. Namun mata gadis itu mulai berkaca-kaca yang sebentar lagi air matanya akan menurun membasahi kedua pipinya.

"Matahari juga sering dapet kejuaraan. Bukan Abang doang kok. Matahari gak tiap hari bikin Ayah malu. Abang juga pernah gagal tapi Ayah gak ada sedikitpun marahin Abang apalagi dihukum."

"Tapi kalo Matahari, kenapa Ayah gitu?" Napasnya mulai sesak ketika dirinya mengutarakan isi hatinya. "Kenapa cuman Matahari yang Ayah marahin? Kenapa cuman Matahari yang selalu Ayah hukum?"

"Gausah ngeluh Matahari. Karna Ayah lakuin semuanya ini demi kamu!"

"Demi kebaikan kamu! Seharusnya kamu bersyukur Ayah masih peduli sama kamu kalo kamu salah!"

"Tapi nyatanya Matahari selalu salah di mata Ayah. Hal sekecil apapun. Bahkan tentang nilai pun Matahari tetep salah. Peduli Ayah itu cuman buat Abang bukan buat Matahari!"

Satu tamparan kembali mendarat di sebelah pipinya lagi. Haris tersulut emosi karna sekarang anak gadisnya sudah berani menjawab. Sudah berani membentaknya. Pikirannya sudah berantakan ditambah Matahari yang menambah beban pikirannya.

Matahari meringis. Kedua pipinya sudah berdenyut hebat merasakan tamparan yang begitu keras dari Ayahnya.

"Berani kamu sekarang bentak Ayah, Matahari? Sejak kapan?!"

Gantian Matahari yang terdiam. Walau sebenarnya bukan bermaksud gadis itu membentak Ayahnya. Ia hanya mengutarakan isi hatinya yang selama ini ia merasakan sakit dari kedua orang tuanya. Tapi Aksa? Cowok itu jarang. Bahkan tidak pernah.

DIA MATAHARI [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now