Bab 59 - Pindahan

1K 129 10
                                    

Menjadi orang tua Para Dewa-Dewi tidaklah mudah, apalagi jika sebagai manusia biasa.

Satu bulan pertama, Ammar dan Marwa nampak seperti bayi biasa. Mereka menangis jika lapar atau jika ingin buang air besar. Beberapa kata seperti, "Da da," akan terdengar di antara tawa ketika Kaveh menghibur mereka.

Begitu memasuki bulan kedua, Kaveh mulai kerepotan. Ammar yang periang segera saja memporak-porandakan rumah dengan kekuatannya. Ia terlalu bahagia hidup diasuh dua profesor terbaik di Akademiya sampai-sampai mengubah rumah orang tuanya menjadi hutan belantara yang dipenuhi bunga. Bahkan Nabu Malikata tidak seliar itu ketika menumbuhkan bunga padisarah.

Setiap hari, Dori dan Jinni lain bekerja keras merapikan rumah selagi Kaveh merawat bayi-bayinya. Rumah kecil mereka berakhir diramaikan oleh gerutuan para makhluk merah muda itu yang kelelahan mencabuti tumbuhan di celah ubin dan langit-langit rumah.

Hal yang serupa terjadi pada Marwa. Bayi itu mungkin lebih pendiam daripada saudaranya mengingat sifatnya mirip Alhaitham. Hanya saja, kecepatan pertumbuhannya luar biasa. Di usia tiga bulan, ia sudah bisa duduk, berdiri, bahkan berlari. Di usia empat bulan, ia sudah bisa membaca buku dan berbicara. Idealismenya mengerikan. Sudah tak terhitung berapa banyak hinaan ya g dilontarkan Marwa pada saudara kembarnya yang hanya bisa merengek dan tertawa seperti orang bodoh menurut standarnya.

Di bulan keenam, Kaveh dan Alhaitham menyerah. Mereka butuh tempat yang lebih luas dan aman untuk mendidik anak-anak mereka. Begitu Khaj-Nisut, istana di Eye of The Sands, layak huni, mereka pindah ke sana sebagai pemilik asli pusat peradaban kuno tersebut.

Sembari digenggam tangannya oleh Alhaitham, Marwa menatap kursi singgasana di aula Khaj-Nisut dengan mata berbinar. Anak itu selama ini sangat sulit dipuaskan, tapi entah mengapa, ia begitu tertarik dengan kursi kekuasaan di hadapannya.

Alhaitham mengerti apa yang dipikirkan putrinya. Ia kemudian bertanya, "Kenapa? Ingin duduk di sana?"

Marwa menggeleng. Ia berkata, "Tidak sampai aku sehebat Ayah."

Anak itu tahu ayahnya adalah Raja Deshret. Ia terlalu banyak membaca buku dongeng tentang kedua orangtuanya dan ketika Paman Cyno berkunjung, pria itu menjelaskan banyak hal akan masa lalu pada Marwa yang banyak tanya.

Setelah Marwa mengatakan itu, Alhaitham berlutut di hadapan putrinya. Profesor Haravatat itu menyibakkan poni anaknya yang menutupi mata rubi Marwa dengan lembut sebelum berkata, "Daripada hebat seperti Ayah, bagaimana kalau hebat sesuai kemampuan Marwa sendiri? Ayah dan Papa ada untuk membimbingmu, bukan untuk menjadi patokan kesuksesanmu."

Marwa mengerti. Ia perlahan mengangguk meski merasa dikalahkan oleh kebijaksanaan ayahnya. "Baik, Ayah," ujarnya pada akhirnya. Sembari menunjuk kursi singgasana, ia melanjutkan, "Walau begitu, aku akan tetap menginginkan posisi itu."

Kaveh yang berdiri di belakang suami dan putrinya sembari menggendong Ammar yang sedang tidur hanya bisa menghela napas. Dalam hati, ia berdoa pada Rukkadevata, "Tolong jaga putriku. Sepertinya dia benar-benar akan menggantikan Ahmar di masa depan. Ambisinya mengerikan."

Melalui telepati, Nahida menjawab, "Ingatlah, Kaveh. Dia bukan hanya anak Ahmar atau Alhaitham saja. Dia juga anakmu. Mereka mungkin ambisius dan kaku, tapi kau tidak. Hanya kau yang bisa menggali potensi Marwa untuk menjadi Dewi yang hangat."

Lagi-lagi, Kaveh menghela napas. Nahida ada benarnya. Meskipun berkomunikasi dengan Marwa cukup sulit, ia harus terus berusaha membimbing anaknya itu agar tidak sampai kelewatan batas.

Kemudian, Kaveh melangkah ke depan. Ia berkata pada putrinya, "Marwa, kita sudah berkeliling istana. Bagaimana kalau sekarang kita berkeliling kota?"

Marwa memutar tubuhnya dan mendongakkan kepala untuk menatap papanya. Ia bertanya dengan penasaran, "Apa ada perpustakaan di kota?"

Your Professor is Mine [Haikaveh]Where stories live. Discover now