Cokelat -23-

55 8 3
                                    

Balkon, tempat di mana saat ini aku sedang menikmati langit malam, dengan embusan angin yang menerpa wajahku. Tempat di mana aku mencari ketenangan di temani bulan dan bintang di atas sana.

Saat ini aku sangat resah, menunggu seseorang yang tak kunjung memberi kabar. Sejak dua hari yang lalu, tepatnya pada saat Rafael melihat aku berdua dengan Sandy, sejak saat itu dia tidak lagi mengirim pesan padaku.

Entah apa yang cowok itu pikiran tentang aku dan Sandy, sampai-sampai dia tidak lagi menghubungi aku. Jujur itu sangat menggangu pikiranku, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Apa aku harus menjelaskannya, bahwa aku tidak ada hubungan apa-apa dengan sandy.

"Apa gue chat aja ya? Ah, enggak ah. Gengsi, masa gue harus chat dia duluan" kalimat yang dua hari terakhir ini sering aku ucapkan.

Apakah dia tidak merasakan, bahwa saat ini aku terus memikirkannya, merindukan notif pesan darinya dan hal-hal random yang sering kita bahas.

Tok! Tok! Tok!

Terdengar suara seseorang mengetok pintu kamarku. Aku segera berjalan ke arah pintu dan membukanya. Ternyata Bunda yang tengah berdiri di depan pintu kamarku.

"Kenapa bun?"

"Oh ini, tadi Tante Kartika minta tolong. Katanya beliin 4 botol kopi yang ukurannya 1 liter, di coffee shop depan sana. Katanya kalo beli besok nggak keburu, soalnya pagi-pagi banget harus dibawah ke kantor om Lukman"

Coffee shop yang bunda maksud adalah coffee shop milik mamanya Rafael. Jika aku ke sana, berkemungkinan aku akan bertemu dengan Rafael.

"Iya bun, mau. Beli kopi apa aja?"

"Caramel Macchiato dua, sama espresso gula aren dua. Ini, uangnya"

"Okay bunda, Ersya ganti baju dulu"

*****

Tibalah aku didepan coffee shop mamanya Rafael. Entah kenapa jantungku berdegup lebih kencang, bahkan tanganku sampai berkeringat.

"Ersya, lo kenapa sih. Biasa aja nggak usah deg-degan gini" gumamku pada diri sendiri.

Aku mencoba mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Kemudian aku segera membuka pintu coffee shop dan masuk ke dalam. Aku melihat sekeliling sepertinya tidak ada tanda-tanda keberadaan Rafael disini, bahkan aku tidak melihat motor miliknya di depan coffee shop.

Aku berjalan menghampiri kasir untuk memesan "selamat malam kak. Kakaknya mau pesan apa?" Sapa pegawai penjaga kasir.

"Saya pesan caramel macchiato dua botol yang ukuran satu liter, sama espresso gula aren dua botol, yang ukuran satu liter juga"

"Sudah itu saja kak? Totalnya 350ribu"

"Di tunggu ya kak" ucap pegawai kasir setelah aku membayarnya.

Aku duduk di bangku coffee shop paling pojok yang tidak jauh dari kasir. Karna aku sendirian, aku memilih duduk di bangku yang hanya memiliki dua kursi berhadapan. Suasana coffee shop cukup tenang, ditambah suara lagu Sementara Karnamu dari Mario G. Klau yang membuat aku hanyut dalam liriknya. Lirik yang sedikit related dengan apa yang aku rasakan dua hari terakhir ini.

Aku hanya diam menatap kosong ke arah depan, berharap orang yang aku cari tiba-tiba ada disini dan menyapa aku.

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, untuk memastikan bahwa cowok berbadan tegap yang turun dari tangga lantai dua itu adalah Rafael. Pandangan mata cowok itu hanya lurus ke depan, tepatnya mengarah ke arahku yang duduk di bangku depan tangga.

Aku berpura-pura seolah sedang sibuk dengan ponselku. Padahal aku hanya mengetik hal-hal random di ponsel. Percayalah jantungku sedang berdisko saat ini.

Rumah Singgah Where stories live. Discover now