Terungkap -51-

29 4 0
                                    

Lisa bangkit dari tempat duduknya, kedua matanya menatap tajam ke arahku seolah aku adalah musuh yang harus dimusnahkan. Tak lama Lisa tersenyum miring, tangannya bersedekap di depan dada.

"Udah siap sadar sama apa yang lo lakuin ke gue selama ini?"

Dahiku mengernyit tak paham dengan apa maksudnya. Apa mungkin tanpa sadar selama ini aku memang sering menyakiti Lisa.

Lisa berjalan memutari tubuhku. "Ersya yang polos nan baik hati, yang bisa ngerasain sakit hati di dunia ini bukan cuma lo doang. Tapi lo, selalu bertingkah seolah-olah lo yang paling tersakiti di dunia ini." Lisa kembali berhenti di hadapanku. "Kenapa? Biar orang-orang prihatin sama lo, biar dapat pembelaan. Tanpa lo sadar apa yang udah lo lakuin."

"Bisa langsung to the point aja, nggak? Jangan kebanyakan bertele-tele," sahut Fita yang berdiri tak jauh dariku.

"Lo diem yah, Ta. Lo nggak usah ikut campur." Lisa menunjuk Fita memberi peringatan agar gadis itu diam.

"Dan lo Ersya, kenapa lo selalu rebut apapun yang gue pengen? Lo selalu ambil sesuatu yang seharusnya jadi milik gue!!" Tatapan tajam Lisa menghilang tergantikan dengan tatapan sendu, air matanya mulai mengalir.

"Gue rebut apa dari lo, Lis?"

"Ini, inilah diri lo, Sya. Diri lo yang nggak pernah sadar sama apa yang lo lakuin. Lo tuh egois, Sya. Lo selalu minta dimengerti tapi lo nggak pernah berusaha mengerti orang di sekitar lo," marahnya dengan nafas menggebu-gebu.

"Lo tau gue ikut OSIS karna gue pengen jadi anggota inti OSIS sebagai sekertaris, tapi lo merebut jabatan itu dari gue. Dengan gampangnya lo bisa jadi sekertaris OSIS, sedangkan gue yang mati-matian berusaha dapetin jabatan itu cuma jadi anggota OSIS biasa," sambungnya semakin dipenuhi amarah.

"Tapi gue di pilih, Lis. Bukan mau gue sendiri, dari awal gue juga udah bilang sama lo kalo gue nggak tertarik masuk anggota OSIS bahkan jadi sekertaris OSIS sekalipun, gue masuk OSIS karna terpaksa gue berutang budi sama kak Vino," bantahku.

"Lo nggak tertarik tapi lo sama sekali nggak protes kan, Sya. Dan bukan cuma itu, lo juga udah rebut orang yang gue suka!!" Keadaan Lisa benar-benar tampak kacau air matanya terus mengalir deras membasahi kedua pipinya.

"Maksud lo Bagas? Waktu itu udah gue jelasin, Lis. Dan dulu lo nggak mempermasalahkan hal itu, kenapa sekarang jadi gini?"

"Lo percaya kalo gue suka sama Bagas? Bagas cuma pelarian gue, orang yang sebenarnya gue suka bukan Bagas. Tapi Rafael, Sya. Rafael, cowok yang selama ini lo ceritakan ke gue tentang bagaimana romantisnya kalian berdua. Lo pikir gue nggak sakit hati denger cerita-cerita lo, hah? Gue nahan sakit, Sya."

Di detik ini juga aku tak sanggup lagi menahan air mataku, tubuhku melemas, dadaku sesak seperti ada sesuatu yang menghantamnya. Sungguh sebuah plot twist yang tak pernah terbayangkan. "Kenapa lo nggak bilang dari awal, Lis? Kenapa baru sekarang?"

"Bilang dari awal? Kalo gue bilang dari awal, apa kalian bakal dukung gue merebut Rafael dari pacarnya, Hah? Enggak kan?" Lisa maju lebih dekat mengikis jarak diantara kita. "Jauh sebelum lo tau Rafael punya pacar, gue udah lebih dulu tau. Mangkanya gue coba lupain dia dan beralih ke Bagas. Tapi apa? Bagas mala suka sama lo, Sya."

"Dan disaat gue coba buat lupain Rafael lo mala dekat sama dia. Setelah Rafael putus pun cewek yang dia tuju adalah lo, padahal waktu itu gue coba jadi orang yang selalu ada disaat dia baru putus dari pacarnya. Tapi kenapa mala lo yang dia mau, kenapa bukan gue?"

"Dan lo ingat, saat latihan voli kaki lo terkilir. Lo bisa bayangin gimana sakitnya gue di saat lihat orang yang dekat dengan gue dan orang yang gue suka, mereka sama-sama berjongkok di dekat lo mengulurkan tangan mereka dengan tatapan khawatir. Seharusnya gue yang ada diposisi itu."

Rumah Singgah Where stories live. Discover now