Masih Sakit? -29-

41 5 0
                                    

Kini aku sendirian di kamar. Dengan posisi tubuh tengkurap di atas kasur, Sembari membaca beberapa novel yang aku beli bersama Lisa sepulang sekolah, sore tadi.

Awalnya aku membeli novel bergenre fiksi remaja, yang berisi tentang percintaan remaja. Agar aku hanyut dalam ceritanya dan melupakan sejenak tentang Rafael. Tapi sialnya saat membaca adegan romantis dan interaksi gemas si tokoh utama, aku malah membayangkan dua tokoh utama itu adalah aku dan Rafael.

Aku merutuki diriku sendiri yang terus saja terbayang Rafael. Bukannya fokus dengan novel yang aku baca, malah terus menerus membayangkan Rafael.

Sepertinya seluruh otakku hanya dipenuhi dengan Rafael, Rafael, dan Rafael. Jika bisa merestrat otak, maka sekarang juga aku akan merestrat otakku yang dipenuhi oleh Rafael ini.

"Sayang, ini HP kamu kayanya udah bisa deh. Coba kamu nyalain." Bunda tiba-tiba datang membawakan ponselku.

Tadi sepulang sekolah, sebelum ke toko buku aku mengajak Lisa pergi ke konter HP untuk membenarkan ponselku yang mati terkena air hujan. Tetapi saat ponselku dicek, penjaga konternya mengatakan ponselku baik-baik saja. Hanya perlu dikeringkan dengan cara merendamnya di dalam beras.

"Iya Bund, sini biar Ersya coba!" Aku bangkit dari posisi tidurku untuk mengambil ponselku dari Bunda, dan coba menyalahkannya.

Aku bernafas lega, ponselku masih bisa menyala. Dengan gitu aku tidak perlu merepotkan Bunda untuk membelikan aku ponsel baru.

"Bisa nyala, Bund."

"Iya syukur deh. Untuk sementara waktu kamu pakai itu dulu, nanti Bunda cariin ponsel model terbaru buat kamu."

"Ngga, usah Bund. Buat apa ponsel baru? ini kan masih bisa di pakai."

"Ya gapapa, itu kan udah lama. Oh, ya. Kamu belum makan dari tadi. Kita makan bareng yuk!"

"Nanti deh, Bund. Ersya belum laper."

Bunda beralih duduk di sampingku seraya memegang pundakku. "Kamu lagi ada masalah?" tanya Bunda dengan suara lembut khasnnya.

"Enggak kok Bund." Aku berpura-pura mengotak-atik ponselku. Tidak berani menatap mata Bunda. Karna jika aku menatapnya, Bunda akan tau kalo aku sedang berbohong.

"Coba sini hadap Bunda." Bunda memegang kedua bahuku dan memutar tubuhku menghadap ke arahnya. "Kamu kalo ada apa-apa cerita sama Bunda. Jangan disimpan sendiri."

"Ersya gapapa kok, Bunda." Aku meraih kedua tangan Bunda dan menggenggamnya seraya tersenyum, untuk meyakinkan Bunda bahwa aku baik-baik saja. Meskipun kenyataannya sebaliknya.

Bunda membawa tubuhku ke dalam dekapannya, sembari terus mengelus rambut panjangku. "Kamu itu anak Bunda satu-satunya. Bunda nggak mau kamu selalu merasa sendiri dan merasa nggak punya teman cerita. Kamu bisa jadiin Bunda sebagai tempat kamu berkeluh kesah. Karna Bunda ini satu-satunya orang tua kamu."

"Hanya karna ayah kamu sudah nggak ada, dan Bunda sibuk kerja. Bunda nggak mau kamu jadi merasa nggak punya siapa-siapa. Bunda bakal selalu luangin waktu Bunda, buat kamu." Sambungnya yang membuat aku tanpa sadar meneteskan air mataku.

Aku bersyukur sekali punya Bunda yang sehebat ini. Membesarkan aku sendirian tanpa seorang lelaki di hidupnya. Selalu berusaha membuat aku bahagia tanpa kekurangan sedikit pun.

Jika aku merasa tidak beruntung karna percintaanku tidak semulus percintaan orang lain. Setidaknya aku masih beruntung punya Bunda yang sayang sama aku, dan punya teman-teman yang selalu ada buat aku.

Bunda menyudahi pelukan kita berdua. Raut mukanya tampak kaget melihat pipiku yang sudah basah. "Kamu kok nangis? Anak Bunda jangan nangis." Bunda mengelap pipiku yang basah dengan jarinya.

Rumah Singgah Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum