Patah -27-

40 6 0
                                    

Udara yang sejuk setelah hujan, ditambah minuman coklat hangat, dan ditemani oleh seseorang yang spesial. Sungguh perpaduan yang komplit di malam hari ini.

"Sya. Aku mau ngomong sesuatu, boleh?" tanya Rafael dengan suara lembut, matanya menatap aku dengan intens.

Dahiku sedikit berkerut,"Boleh, ngomong aja." Gelagat Rafael tampak tidak seperti biasanya. Dan itu membuat aku semakin penasaran dengan apa yang ingin Rafael ucapkan.

Bukannya berbicara, Rafael malah memalingkan wajahnya. Raut mukanya terlihat seperti orang resah.

"Raf. Ngomong aja, gapapa kok."

Kini Rafael kembali menatapku. Dia tampak menghela nafas, "Aku mau ngomong soal pertanyaan kamu tempo hari, Sya."

Mendengar itu, aku menelan ludahku dengan susah payah. Tanganku bergerak menggenggam bagian bawah jaketku. Aku tau maksud dari perkataan Rafael, yaitu tentang pertanyaan aku yang menanyakan hubungan kita berdua.

"M-maaf Sya. Kalo selama ini, kamu ngerasa aku menggantung perasaan kamu," ucapnya dengan lirih dan sedikit terbata-bata.

"Aku sama sekali nggak ada niatan buat mainin kamu, Sya. Aku nyaman temenan sama kamu. Dan selama ini aku cuma anggap kamu temen deket aku, nggak lebih dari itu. Maaf kalo selama ini kesannya aku ngasih harapan ke kamu, Sya."

Aku menunduk tidak berani menatap mata Rafael. Bagian dalam dadaku terasa mencelos. Seperti ada rasa nyeri yang tidak bisa aku jelaskan.

"Bener kata temen kamu, Sya. Lebih baik kamu sama Sandy yang jelas-jelas suka sama kamu. Aku gapapa kok, kalo kamu sama Sandy. Lagian aku udah ada orang yang aku suka. Aku harap, mulai sekarang kamu berhenti berharap sama aku lagi," ucapnya di akhiri dengan senyum tipis yang entah apa arti dari senyum itu.

Rupanya Rafael mendengar perbincangan aku dan Fita tempo hari. Pada saat Rafael menjemputku jalan, pada saat itu juga aku dan Fita sedang membahas soal aku, Rafael dan sandy. Pada saat itu Fita memberi aku saran untuk lebih memilih Sandy.

"Sehabis ini, kalo kamu mau benci sama aku silahkan. Aku sadar sama kesalahan aku. Dan aku nggak masalah kalo setelah ini kamu blokir semua sosmed aku, atau kamu hapus nomor WhatsApp aku."

Setelah mendengar semua ucapan Rafael, dadaku terasa begitu sesak. Apalagi pada saat Rafael menyuruh aku untuk bersama Sandy. Bagaimana bisa aku bersama Sandy, jika jelas-jelas orang yang aku suka adalah dirinya bukan Sandy. Lantas mengapa dia tidak memilih aku yang jelas-jelas menyukainya, jika menurutnya aku harus bersama Sandy hanya karna Sandy menyukaiku.

"Oh, ya. Aku pernah bilang sama kamu, kalo aku mau kasih sesuatu ke kamu. Maaf, aku udah coba cari barang itu kemana-mana, tapi semuanya udah sold out," Sambungannya.

Aku mencoba tersenyum meskipun rasanya sangat pahit, "Gapapa kok. Lagian, kan. Aku nggak pernah minta barang itu."

"Dan aku nggak bakal benci sama kamu, Raf. Kalaupun kamu nggak suka sama aku, bukan berarti aku bakal benci sama kamu. Aku tau kok perasaan emang nggak bisa dipaksa. Dan makasih selama ini kamu udah baik sama aku." Aku tersenyum tipis setelah mengucapkan kalimat itu.

Aku pun segera beranjak dari dudukku, "aku pulang ya. Makasih udah ditraktir."

Dengan cepat Rafael berdiri dan menahan tanganku, "aku anterin kamu pulang."

"Nggak usah, aku bisa pulang sendiri kok," aku melepas cekalan tangan Rafael.

"Kamu ke sininya sama aku, jadi pulangnya harus sama aku."

Rumah Singgah Where stories live. Discover now