Sakit -46-

26 6 0
                                    

Sudah hampir satu jam hujan turun begitu derasnya, disertai angin kencang yang membuat pepohonan di sekitar halte bus bergoyang-goyang tidak karuan mengikuti arah angin. Jalanan pun tampak sepi, hanya sesekali ada satu, dua kendaraan yang melintas.

Aku memeluk tubuhku kala merasakan hembusan angin kencang menerpa kulitku yang basah terkena air hujan, hingga menciptakan rasa dingin di sekujur tubuhku. Sedetik kemudian seseorang datang menyelimuti setengah badanku menggunakan jaket.

Aku mendongak memastikan siapa orang itu. Awalnya aku beranggapan seseorang itu adalah Rafael, ternyata aku salah. Orang itu adalah kak Vino. Cowok itu melepas jas hujan yang ia kenakan, kemudian duduk di sampingku.

"Makasih," ucapku lirih. Aku semakin mengeratkan jaketnya untuk mengusir rasa dingin.

"Dingin ya?" tanyanya.

Apa kali ini aku mimpi? Setahuku kak Vino selalu berbicara ketus saat bersamaku. Tapi kali ini nada bicarakan terdengar sangat lembut, seperti bukan kak Vino.

Tak ada respon dariku, kak Vino mengambil kedua tangku dan digenggamnya. Adakalanya kak Vino menggosok-gosok kedua telapak tanganku lalu meniupnya untuk memberi rasa hangat.

Satu jam pun berlalu, hujan deras berganti menjadi rintik-rintik gerimis. Langit sore kian menggelap berubah menjadi langit malam, namun karna tertutup oleh mendung bintang sama sekali tak menampakkan diri.

"Gue anter pulang, yuk." Kak Vino berdiri dari duduknya.

Aku hanya diam tak mengiyakan tawarannya. Pikiranku mengarah pada Rafael, dia benar-benar tidak datang menjemputku. Tapi aku memakluminya sebab hujan turun sederas itu. Bagaimanpun juga aku tidak mau Rafael sakit akibat menjemputku saat hujan.

Kak Vino berdecak lantaran aku tak menanggapi ucapannya. "Lo masih mikirin tuh cowok, ha? Cowok yang biarin lo kedinginan sendirian di sini. Gue pikir otak lo pinter, ternyata dangkal juga." Timbul senyum remeh di bibirnya.

Lagi-lagi ucapan cowok itu memancing emosiku. Dengan cepat aku berdiri dan menghadapnya. "Bisa nggak sih, nggak mancing emosi gue sehari aja, Kak. Lagian mau gue mikirin dia atau nggak, itu bukan urusan lo."

Kak Vino menghela nafas gusar sembari mengelap wajahnya sendiri. "Ok, sorry gue udah ikut campur urusan lo. Tapi sekarang juga mending lo ikut gue pulang, lo nggak takut orang tua lo khawatir?" Suaranya kembali lembut seperti tadi.

****

Tiba didepan gerbang rumahku, aku turun dari motor metic besar milik kak Vino. "Makasih udah anterin gue. Jaket lo basah jadi gue cuci dulu baru gue balikin."

"Iya sama-sama."

Aku akan masuk ke dalam rumah disaat kak Vino sudah pergi, namun dia tak kunjung pergi. "Kok masih di sini, Kak? Nungguin apa lagi?"

"Mau ketemu bokap lo dulu, mau minta maaf udah telat anterin anaknya pulang."

Dahiku berkerut. "Ha, bokap gue? Bokap gue udah meninggal Kak."

Raut wajah kak Vino tampak kaget. "Serius? Sorry-sorry, Sya. Gue nggak maksud bikin lo sedih."

"Gue gapapa, kok. Bokap gue udah meninggal sejak gue masih kelas empat SD."

"Oh... udah lama juga ya. Sekali lagi sorry, gue bener-bener nggak tau. Yaudah kalo gitu gue cabut ya." Kak Vino kembali menyalakan mesin motornya, lalu pergi dari pekarangan rumahku.

Aku masih berdiri di depan rumah menatapnya sampai menghilang dari pandanganku. Suatu hal yang baru aku sadari, dibalik sikap ketusnya ternyata masih ada sisi baiknya.

Rumah Singgah Where stories live. Discover now