Berdamai -33-

46 6 0
                                    

Hari minggu ini Sandy mengajakku pergi ke sebuah coffee shop. Cowok itu menyuruhku duduk di bangku coffee shop yang tidak jauh dari pintu keluar. Sedangkan dirinya pergi memesan minuman dan makanan.

Aku melihat ke sekeliling coffee shop yang cukup ramai. Beberapa dari mereka merupakan anak muda yang tengah asyik nongkrong bersama teman-temannya. Tidak sedikit pula sepasang kekasih yang tengah menghabiskan akhir pekannya disini.

Tidak lama Sandy kembali dan terduduk di depanku. "Sorry ya, Sya. Gue lama pesennya."

"Iya gapapa, santai aja, San."

"Tadi gue ngobrol dulu sama temen gue. Dia salah satu barista di sini." Aku hanya mengangguk-angguk merespon ucapan Sandy.

"Sya, emang bener ya? Anak-anak OSIS sampai sekarang nggak kasih tau lo siapa penyebar berita nggak bener itu," tanyanya dengan ekspresi yang terlihat serius.

Aku mengangguk. "Iya, awalnya gue penasaran kenapa mereka ngga kasih tau gue siapa pelakunya. Tapi sekarang gue udah nggak peduli, yang penting masalah gue udah selesai," jelasku.

"Gue lega banget, pas lihat postingan klarifikasi sama permohonan maaf si pemilik akun itu. Akhirnya nggak ada lagi yang ngatain lo yang nggak-nggak, Sya," ucapnya dengan senyum tulus yang tampak di bibirnya.

Akhirnya pesanan kita datang. Dua cup kopi dan dua potong roti sandwich toast. Kita berdua menikmati makanan kita masing-masing sembari mengobrol banyak hal.

Sebenarnya Sandy adalah sosok yang asyik menjadi teman ngobrol. Cowok satu ini paling tau cara merespon dan menghargai lawan bicaranya.

Sudah cukup lama kita berdua mengobrol. Mungkin ini saatnya aku membicarakan soal hubungan kita. Aku tidak mau terlalu lama menggantung perasaan Sandy.

Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Kemudian mulai berbicara, "San, gu-gue mau jawab yang waktu itu lo omongin pas selesai tanding futsal."

Sandy menatapku dengan satu alis yang terangkat. "Sebelumnya gue minta maaf banget sama lo. Gue nggak bisa terima lo, San. Gue tau lo baik banget orangnya, tapi entah kenapa gue belum bisa buka hati buat lo, San. Dan gue juga nggak mau nyakitin lo," ungkapku seraya menunduk.

Kini aku memberanikan diri menatap kedua matanya. "Lo pantas dapat yang lebih baik dari gue, San," sambungku.

Cowok itu tampak menghela nafasnya. Tangannya bergerak menggenggam tanganku yang berada di atas meja. "Gapapa, Sya. Gue tau perasaan emang nggak bisa dipaksa, tapi gue mohon sama lo, Sya. Izinin gue untuk selalu ada buat lo. Kalo emang gue nggak bisa jadi pacar lo, izinin gue buat jadi teman dekat lo yang selalu ada kapan pun disaat lo butuh gue."

Aku tersenyum dan bernafas lega. "Makasih ya, San. Lo udah mau ngertiin gue. Lo bener-bener orang yang baik."

****

Semenjak sebulan yang lalu, tepatnya saat Sandy mengajakku ke sebuah coffee shop. Bunda memberiku kejutan sebuah ponsel keluaran terbaru.

Sejak saat itu, aku memutuskan untuk membuat akun WhatsApp baru yang hanya berisi kontak keluarga dan teman-teman terdekatku.

Tapi ini semua hanya untuk sementara waktu. Nantinya aku akan memindahkan akun WhatsApp lamaku ke ponsel baruku, saat aku sudah siap.

Karna saat ini aku hanya ingin menenangkan diriku sendiri. Dan menghindari komunikasi dengan banyak orang. Aku juga sama sekali tidak membuka akun media sosialku yang lain, tujuannya agar aku tidak melihat postingan yang mungkin akan membuatku terluka.

Ini semua aku lakukan agar aku bisa berdamai dengan diriku sendiri, dan melupakan semua masalah yang telah berlalu. Dan jujur saat ini semuanya terasa jauh lebih tenang.

Rumah Singgah Where stories live. Discover now