Tempat Yang Sama -30-

42 5 0
                                    

Aku berjalan sendirian menikmati suasana taman yang indah, dipenuhi berbagai macam bunga yang terlihat cantik dengan warna yang beragam.

Aku melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul setengah tiga sore. Di jam segini suasana taman belum terlalu ramai. Biasanya orang-orang akan datang ke sini mulai pukul empat sore hingga malam hari. Berbeda dengan akhir pekan yang mulai dari pagi sudah ramai dikunjungi.

Aku terus berjalan menyusuri area taman. Sampai akhirnya langkahku terhenti kala melihat sepasang remaja laki-laki dan perempuan yang tengah asyik bercanda. Dari tawanya mereka berdua tampak begitu bahagia.

Saat melihatnya ada rasa sakit yang tidak bisa aku jelaskan. Yang pasti rasanya sakit, sakit, sangat sakit sekali. Hingga aku merasakan mataku memanas.

Laki-laki itu adalah Rafael dan perempuan itu mungkin perempuan yang pernah diceritakan Indy. Mereka berdua duduk di bangku taman yang waktu itu pernah aku tempati bersama Rafael. Dari sekian banyaknya bangku taman, mengapa harus bangku itu yang mereka tempati? Apakah Rafael tidak ingat? Bahwa kita berdua juga pernah duduk disana, bercanda dan tertawa seperti itu juga.

Aku tidak bisa lagi membendung kedua mataku yang mulai berkaca-kaca. Aku berniat untuk berbalik dan menjauh dari sana. Namun aku mengurungkan niatku saat melihat Indy yang tiba-tiba datang menghampiri mereka berdua.

Sekarang mereka berdua tampak berfoto bergaya mesra, dengan Indy yang menjadi fotografer mereka. Sudah cukup, aku sudah tidak sanggup lagi menyaksikan semua ini. Aku menyeka air mataku seraya berlari pergi menjauh dari sana.

Aku berhenti di salah satu bangku taman yang jauh dari jangkauan mereka. Aku terduduk di bangku itu sendirian menutup wajahku dengan kedua tanganku. Aku merasa suaraku bergetar dan air mataku mengalir deras di pipiku.

Aku pikir aku sudah bisa merelakannya. Namun saat aku melihatnya bersama orang lain, mengapa rasanya sesakit ini. Mereka berdua tampak begitu bahagia sedangkan aku disini hancur, terluka sendirian.

Bahuku bergetar, air mataku terus mengalir tanpa henti. Aku tidak bisa menghentikan tangisanku. Dadaku terasa begitu sesak, hatiku benar-benar hancur melihat laki-laki yang aku suka bersama dengan perempuan lain.

Dulu saat dia terluka aku yang merawat lukanya, mengobatinya, dan berusaha selalu ada untuknya. Tapi mengapa disaat luka itu sembuh dia memilih pergi bersama yang lain. Setidak berharga itu kah diriku.

Bayangan saat aku bermain layang-layang bersama Rafael di taman ini, kembali terlintas di benakku. Kala itu Rafael baru saja putus dengan pacarnya. Dan dari situ kita semakin dekat. Sampai pada akhirnya sekarang kedekatan itu berakhir menjadi goresan luka bagiku.

Jika memang dari awal tidak ada harapan untuk kita bersama. Mengapa aku yang menjadi tujuan saat dia terluka. Apa mungkin selama ini baginya aku hanyalah rumah singgah sementara, yang kemudian ditinggalkan begitu saja.

Aku mengusap air mataku kala merasakan ponselku yang terus bergetar di atas pangkuanku, ternyata ada beberapa panggilan tak terjawab dari Bunda. Aku melihat jam dilayar ponselku yang menunjukkan pukul empat sore. Aku yakin Bunda pasti khawatir karena sampai sekarang aku belum juga pulang.

Tidak terasa hampir dua jam aku menangis disini. Dari suasana taman yang masih tampak sepi hingga kini mulai ramai.

Aku melihat orang-orang yang berlalu-lalang di depanku tampak menatapku aneh. Mungkin karna aku yang masih mengenakan seragam sekolah atau karna mataku yang terlihat sembab.

Aku segera beranjak dari tempat dudukku dan berjalan ke luar taman dengan mata yang masih berkaca-kaca. Setelah sampai di depan gerbang taman, aku menyetop taksi yang kebetulan lewat didepan sana. Aku terus melambai ke arah taksi itu, hingga sang sopir taksi memberhentikan mobilnya tepat di depanku.

Rumah Singgah Where stories live. Discover now