Terkejut -49-

25 5 0
                                    

Pandanganku menatap kosong ke arah depan, badanku tertegun ditempat, dadaku terasa sesak dan amat sangat perih. Kedua telapak tanganku menggenggam lebih erat kantong plastik yang ku bawah menyalurkan seluruh rasa kecewaku.

Aku tersenyum hambar, rasanya baru kemarin aku berada di posisi gadis itu. Senyum bahagia selalu ku tampakkan kala tangan kekar itu menggenggam jari jemariku, obrolan dan lelucon darinya juga tak henti membuat tawa hadir di wajahku, sama persis dengan apa yang gadis itu rasakan saat ini.

Bodoh, aku memang bodoh. Selama ini mengira Rafael kembali padaku karna menyadari perasaannya untukku. Ternyata salah, aku tetaplah rumah singgah baginya, tempat dimana dia selalu diterima dan diobati lukanya lalu rumah itu bisa ditinggalkan seenaknya.

Dari sini aku sadar, orang yang terlihat mencintaimu belum tentu benar-benar mencintaimu, bisa saja saat dia kesepian membutuhkan seseorang berada di sampingnya, kebetulan saat itu ada kamu.

Orang yang terlihat peduli dan perhatian denganmu bukan berarti dia menyukaimu. Tapi mungkin, sikap dia memang seperti itu dengan banyak orang, dan kamu hanya salah satu dari banyak orang itu.

Harusnya aku sadar dari dulu, Rafael tak kunjung memberi kejelasan hubungan kita karna memang bukan aku yang ada dihatinya. Bukannya mala menyangkal dan masih berpikir positif.

Pandanganku masih mengarah pada dua insan itu. Rafael menggandeng gadis itu berjalan ke arahku, mungkin lebih tepatnya berjalan menuju eskalator yang berada di belakangku. Mataku memanas genangan air mata siap menetes keluar, jantungku berdegup lebih kencang ketika langkah keduanya semakin mendekat.

Di detik itu mataku menggelap, telapak tangan seseorang menutupi kedua mataku. Aku merasakan tubuhku diputar menghadap ke samping, lalu sebuah tangan merangkul pinggangku membawaku pergi dari sana.

Mataku kembali dibuka, aku mengerjap berkali-kali lalu terlihatlah wajah tak asing berada tepat di depanku.

Cowok berbadan tinggi yang kini berada di depanku adalah kak Vino, di sampingnya berdiri seorang Bima sembari bersedekap tangan.

"Kalian," ucapku terkejut.

"Lo ngapain di sini sendirian?" tanya kak Vino dengan raut datar. "Udah kaya anak ilang aja, sendirian, mata berkaca-kaca, lihatin apa tadi?"

Aku menyeka air mata yang keluar dari sudut mataku. Tak lupa aku menetralkan nafas agar suaraku tidak tersendat-sendat seperti orang yang mau menangis. Malu jika terlihat ingin menangis di depan kak Vino.

"Gue di sini sama Lisa. Tadi mata gue kelilipan."

Mencoba bicara baik-baik dengan manusia kulkas seperti kak vino memang agak susah. Lihatlah dia sekarang, sudah ku tanggapi dengan baik tetapi wajahnya tetap datar dan sinis. Tapi tak apa, aku tidak mau menghancurkan mood-ku lebih parah lagi cuma karena kak Vino, sudah cukup karena bertemu Rafael saja.

"Terus kemana tuh orang?" sahut Bima.

"Lisa, dia gue suruh tunggu di lantai tiga. Tadi gue pergi buat beli ini dulu." Aku menunjukkan kantong plastik berisi dada ayam titipan Bunda. "Gue mau balik ke Lisa, makasih ya."

Kak vino memegang lenganku kala diriku hendak pergi, dahinya tampak berkerut. "Makasih buat?"

"Makasih, kalian berdua udah bawah gue pergi dari tempat tadi." Aku tersenyum lalu melengos pergi.

Andai mereka tidak membawaku pergi dari sana, aku tidak tau apa yang terjadi jika mataku dan Rafael saling bertatap, Rafael pasti akan melihat mataku berkaca-kaca. Kali ini aku tak akan menunjukkan rasa sedihku di depan banyak orang terutama Rafael. Aku tak ingin cowok itu besar kepala, hanya karna dirinya tinggal aku tampak hancur.

Rumah Singgah Where stories live. Discover now