Hujan -26-

32 5 0
                                    

Sore ini sehabis hujan, aku terduduk pada ayunan rotan yang terletak di balkon kamarku. Awan hitam masih tampak menyelimuti langit sore ini. Udaranya juga begitu sejuk dan menenangkan, tetapi tidak cukup membuat hati aku merasa tenang.

Sedari tadi aku memainkan bekas tetesan air hujan yang menetes di pagar balkon, sembari terus memandangi satu nama yang ada di kontak WhatsApp aku. Nama orang yang selalu membuat aku menunggu, tanpa adanya kepastian. Dan selalu membuat aku bingung dengan keadaan.

"Apa gue chat aja kali ya? Tapi bakal dibalas nggak ya? Takutnya nanti malah ganggu dia," gumamku pada diri sendiri.

"Apa bikin story WhatsApp aja, ya? Siapa tau di-reply sama dia. Tapi percuma udah dari kemarin nyoba, tapi cuma dilihat aja sama dia," lanjutku seraya menghela nafas lela sembari bersandar pada sandaran ayunan.

Sudah beberapa hari terakhir ini tidak ada kabar dari Rafael. Terakhir kali kita saling berkabar, sepulang dari pantai tempo hari. Biasanya saat aku membuat story di WhatsApp, nggak lama kemudian Rafael pasti me-reply story WhatsApp aku. Tapi tidak dengan beberapa hari terakhir ini, dia tampak seakan tidak peduli dengan aku.

Biasanya juga dia selalu mencari aku saat kita tidak saling berkabar. Dan dia juga selalu menanyakan aku pada Lisa. Tapi apa ini? Lisa bilang Rafael sama sekali tidak menayangkan kabarku.

Indy dan Reina juga sama sekali tidak memberi informasi tentang Rafael. Biasanya mereka berdua selalu memberi tau aku tentang Rafael tanpa aku minta.

Mungkin semua ini karna pertanyaan aku tempo hari. Mangkanya Rafael sengaja menjauhi aku, karna dia menganggap aku terlalu memaksa meminta kepastian tentang hubungan aku dan dia. Padahal bukan maksud aku seperti itu. Aku hanya takut salah memposisikan diri, sebagai apa aku di hidupnya.

"Ersya sayang, bunda dari tadi ketok-ketok pintu kamar kamu loh. Masa kamu nggak denger?" ucap Bunda yang kini berdiri di ambang pintu balkon.

"Maaf bund, Ersya nggak denger." Bunda berjalan mendekat ke arahku dengan membawa sebuah piring.

"Hai sya." Lisa tiba-tiba muncul dari belakang Bunda dengan menampakkan senyum sumringah, dan gigi gingsul yang menjadi ciri khasnya.

"Loh. Lisa!" Ucapku yang terkejut dengan kedatangan Lisa.

"Bunda habis bikin brownis panggang, coba kamu cicipin enak nggak? Tadi Bunda dibantuin sama Lisa" Bunda memberi aku satu buah piring yang berisi beberapa potong brownis.

Aku menerima sepiring brownis itu dan kemudian mencomot sepotong brownis, "Enak bun. Manisnya pas, nggak terlalu kemanisan."

"Bagus deh, kalo gitu. Yaudah Bunda mau lanjut beberes dulu di dapur. Brownisnya bagi dua ya, jangan rebutan." Bunda segera pergi namun aku menahan tangannya.

Bunda menoleh ke belakang menatapku dengan dahi yang berkerut, seolah sedang bertanya.

"Ersya bantuin ya, bun."

Bunda tersenyum tipis, "nggak usah, kamu istirahat aja sama Lisa. Muka kamu kelihatan lesu gitu, pasti kamu kecapekan banyak kegiatan di sekolah."

Mendengar ucapan Bunda, aku segera melepaskan cekalanku pada tangan Bunda. Dan Bunda pun segera pergi meninggalkan aku yang masih terduduk di ayunan balkon dengan Lisa yang berdiri didekat pagar balkon. Aku menatap langit yang masih tertutupi awan hitam, sepertinya hujan akan kembali turun.

"Sore-sore gini habis dari mana, lo?" tanyaku sembari menatap Lisa yang juga menatapku.

"Tadi gue mau beli bakso depan mini market sana tapi habis, jadinya gue kesini aja. Terus kebetulan lihat Bunda bikin brownis, yaudah gue bantuin" jelasnya yang bersandar pada pagar balkon.

Rumah Singgah Where stories live. Discover now