Tolak? -31-

44 6 0
                                    

Orang-orang tampak bergerombol membentuk sebuah lingkaran di halaman sekolah SMA Garuda. Mereka menatapku yang berdiri tegak di tengah-tengah lingkaran gerombolan mereka. Mereka bersorak-sorak seolah sedang menonton pertunjukan.

"Terima! Terima! Teriam!" sorak mereka semua.

Aku menutup mataku sejenak kala mendengar sorakan semua orang yang ada di sana. Kemudian kembali membuka mataku, menatap Sandy. Cowok itu tengah berjongkok di depanku seraya membawa buket mawar berukuran besar berwarna pink.

Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya, berusaha mengucapkan kalimat yang sudah ku susun rapi didalam otakku. "San, gu-gue mau minta maaf. Gue nggak bisa jawab saat ini juga, gue butuh waktu buat mikir dulu."

Terdengar helaan kecewa dari orang-orang yang menyaksikan kita berdua. Begitupun dengan raut wajah Sandy yang mendadak berubah menjadi datar.

"Gue bener-bener minta maaf san, gue cabut dulu." Aku melengos pergi menerobos gerombolan orang-orang yang menghalangi jalanku.

Aku mendengar suara Lisa, Fita, dan Desi yang terus memanggilku dari belakang, namun aku tak menghiraukan panggilan mereka. Aku terus berjalan lebih cepat hingga seseorang menahan tanganku.

"Kenap--" ucapku berhenti kala melihat wajah orang yang saat ini menahan tanganku.

Cowok berbadan tegap dengan rambut belah tengah ala cowok Korea itu, kini memegang pergelangan tanganku erat dengan tatapan dingin. Untuk pertama kalinya aku melihatnya dengan tatapan seperti ini.

"Udah cukup Sya," Ujar Rafael yang entah apa maksudnya.

Aku menarik tanganku yang masih digenggamnya. "Maksudnya?"

"Stop berharap sama gue, Sya. Lo harus bisa lupain gue, dan lo juga harus bisa nerima orang lain selain gue." Nada bicara Rafael terdengar sangat keras hingga membuat semua orang menatap kearah kita. Aku tidak tau, apakah itu sebuah nasehat atau sebuah bentakan dan tuduhan.

"Jadi gue bener-bener minta tolong ya! jangan ganggu gue sama pacar gue. Gue harap lo bahagia, seperti gue yang bahagia sama pacar gue." lanjutnya.

Aku tersenyum kecut, mataku mulai memanas mendengar ucapannya. "Semenyedikan itukah aku dimata kamu? Aku belum bisa nerima Sandy karna emang aku belum siap. Bukan karna kamu. Dan tenang aja, semenjak malam itu aku udah berusaha berhenti berharap sama kamu. Dan aku juga nggak bakal rebut kebahagiaan cewek lain, kalo kamu takut aku bakal hancurin kebahagiaan pacar kamu, sedikitpun aku nggak pernah punya niatan bakal ganggu kalian berdua." tegasku kemudian berjalan pergi meninggalkan Rafael yang masih diam terpaku ditempatnya.

"Des, anterin gue pulang." Pintaku pada Desi yang sedari tadi menyaksikan obrolanku dengan Rafael.

****

"Udah Sya, jangan nangis terus." Lisa yang duduk di sebelahku terus mengelus lenganku, berusaha membuatku tenang.

Sepanjang perjalanan pulang aku terus menangis sesenggukan. Entah kenapa? kalimat yang diucapkan Rafael terdengar begitu menyakitkan. Di tambah tatapan iba dari orang-orang yang menyaksikan percakapan kita berdua, membuatku merasa malu. Orang-orang pasti menganggap aku mengemis cinta pada Rafael, padahal itu sama sekali tidak benar.

Aku memang menyukainya, tapi bukan berarti aku mengemis cinta padanya, saat tau dia lebih memilih yang lain.

Padahal selama ini aku diam tidak pernah mengusik Rafael dan kekasihnya. Bahkan tidak pernah terlintas sedikitpun di pikiranku untuk merebut Rafael dari kekasihnya. Tapi kenapa? Rafael tega berbicara seperti itu didepan banyak orang. Seakan selama ini aku terus mengusik hidupnya. Apakah dia tidak berpikir? Bahwa itu akan membuatku malu dan orang-orang juga akan berpikir negatif tentangku.

Rumah Singgah Where stories live. Discover now