2. THE BEGINNING (2)

6.3K 373 39
                                    

Arum tergopoh-gopoh masuk ke kamarnya dan suaminya. Tadinya, istri Karta itu ingin meminta anak-anak yang ada diluar untuk segera masuk karena hari semakin larut. Tetapi, ketika sampai di teras, Arum tidak menemukan anak-anaknya.

Arum langsung membangunkan suaminya yang sedang tertidur lelap. Setelah mencari anak-anaknya di segala penjuru rumah, tetapi hasilnya nihil, perempuan itu tidak dapat menemukan anak-anaknya dimanapun. Sehingga Arum memutuskan untuk memberitahu suaminya.

Perasaan, aku hanya melamun selama beberapa menit. Kenapa suamiku sudah tertidur lelap? batin Arum.

"Mas Karta! Bangun!" teriak Arum.

Karta bergerak tidak nyaman. Tangannya menepis tangan Arum yang mencoba membangkitkannya dari tidur.

"Kenapa! Aku sedang tidur Arum! Kau tidak melihatnya? Dunia akan berguncang jika aku marah!" teriak Karta.

"Ya aku melihat kamu tertidur pulas. Aku tidak ingin menganggu sebenarnya, tetapi keadaan ini lebih mendesak daripada dunia yang berguncang karena kau marah mas!" ungkap Arum.

"Memangnya kenapa? Apa yang membuatmu membangunkanku? Sebaiknya kau memberikan jawaban yang masuk akal, atau aku benar-benar akan marah!"

Karta berkata demikian sebab Arum pernah membangunkannya dari tidur hanya untuk menemani di kamar mandi. Jika alasan Arum tidak masuk akal, Karta yang pikirannya sedang kalut bertambah emosi sekarang. Bisa saja ia kabur dari rumah dan tidak pernah kembali.

"Aji, Daru, Teja dan Arini menghilang!"

***

Petir menyambar di langit malam yang berkabut, datang tidak diundang. Keempat anak Karta terlonjak mendengar suara keras yang menggelegar di seluruh hutan. Arini semakin mengeratkan pelukannya terhadap Daru, si bungsu menenggelamkan wajahnya di punggung Daru.

Petir menyambar sebanyak 3 kali, kabut di sekitar mereka memudar. Kini, sebuah rumah kayu terlihat dengan jelas. Aji dan Teja sempat berpandangan, "kita masuk?" tanya Aji.

"Tentu, kita sudah berjalan jauh. Kau tak mau usaha kita sia-sia bukan?" jawab Teja tanpa adanya rasa hormat kepada sang kakak.

Dengan langkah pelan, keempat bersaudara itu melangkah mendekati rumah kayu. Aji yang berada paling depan mengetuk pintu sembari mengucapkan 'halo', tetapi tidak ada jawaban dari dalam rumah.

Arini yang berada di dibelakang Daru mulai bergumam, perempuan itu ketakutan. Teja yang melihatnya memutar bola matanya, ia muak dengan ketakutan Arini. Anak ketiga dari Karta dan Arum itu mendekati si bungsu dan menampar pelan pipi si bungsu.

"Tak perlulah kau menunjukkan ketakutanmu itu. Kau bisa pulang sendiri jika takut, untuk apa kau ikut serta mencari rumah ini? Kau hanya menyusahkan!" ujar Teja pelan. Jarinya tak henti-henti menunjuk wajah sang adik.

Arini berhenti bergumam.  Ia melepaskan pelukannya terhadap Daru dan menatap tanah. Perempuan itu menjauh dua langkah dari kakak-kakaknya. Tanpa disadari ketiga saudaranya, sorot mata Arini berubah menjadi kosong.

"Tidakkah kau terlalu kasar pada adikmu sendiri?" tanya Daru.

"Dia pantas mendengarkan perkataanku itu," jawab Teja.

"Jadi? Kita masuk saja?"

"Buka saja pintunya Kak Aji. Siapa tahu dukun itu tidak bisa mendengar suara kau."

Aji mengangguk mendengar jawaban Daru. Tangan kanan laki-laki itu mendorong pintu kayu yang nampak lebih tua dibanding dinding rumah tersebut. Ketiganya masuk kedalam tanpa menunggu Arini yang masih terdiam di depan rumah.

Gelap dan lembab, kata itulah yang mendeskripsikan bagian dalam dari rumah kayu ditengah hutan. Tiba-tiba, pintu masuk tertutup dengan sendirinya. Ketiga bersaudara itu panik bukan main, mereka mendorong-dorong pintu masuk dengan sekuat tenaga. Bulir-bulir keringat dingin muncul di seluruh tubuh mereka.

"Apa yang terjadi?" tanya Daru.

"Kau pikir aku tahu? Aku tak tahu apa yang terjadi!" teriak Aji.

"Terkun—"

Ribuan lilin menyala dengan tiba-tiba. Membentuk sebuah pola asing di mata ketiga putra Karta, polanya melingkar, dengan bentuk segitiga ditengah dan simbol-simbol aneh di setiap ujungnya.  Seketika rumah kayu itu menjadi terang.

Seorang kakek-kakek muncul dan mengangetkan para lelaki disana. Rambut kakek itu kusut, dengan jenggot yang menjuntai, disertai kulit yang berkeriput, kakek-kakek ini sedikit seram menurut Daru.

"Apa kau dukun yang baru saja pindah ke desa ini?" tanya Aji.

Bukannya menjawab, dukun itu malah memelototi Aji dan dua adiknya. Ketiga bersaudara itu mundur beberapa langkah, mereka tidak tahu jika melangkah masuk ke dalam lingkaran lilin.

"Apa yang kalian inginkan?" tanya kakek itu sembari tersenyum lebar. Senyum lebar yang menampilkan deretan gigi tajam berwarna kemerahan. Daru sempat dibuat bergidik ketakutan.

"K-kami ingin hidup kami menjadi lebih baik! Kami ingin kekayaan, kecerdasan dan sanjungan dari orang-orang! Kami ingin menunjukkan jikalau tidak bersekolah pun, dapat menjadi sukses," terang Aji.

Kakek tua itu tertawa keras, tawanya menggema di dalam rumah kayu. Puas tertawa, mulut kakek itu komat-kamit. Suaranya tidak terdengar di telinga Aji, Dari dan Teja.

"Bocah-bocah iki teka kanthi pangarep-arep gedhe. Pangarep-arep sing isine mung hawa nafsune manungsa. Iki minangka mangsa sing tepat kanggo Cakrawangsa. Setan Cakrawangsa, ayo kabulna kekarepane para mudha iki. Kanthi cara iki, perjanjian sing wis suwe mandheg bisa diterusake maneh. Tumbal Cakrawangsa, saiki kasembadan maneh!"¹

Mulut sang kakek berhenti komat-kamit. Lilin-lilin yang membentuk pola, telah padam. Digantikan garis berwarna merah menyala yang mengikuti pola lilin. Ketiga bersaudara itu ketakutan, mereka pikir garis melingkar dan pola aneh bewarna merah menyala ini dapat membuat mereka mati di tempat. Rupanya tidak, mereka masih hidup hanya saja kepala mereka berdenyut-denyut.

"Sekarang, hidup kalian akan berubah. Kekayaan kalian akan berlimpah, kalian akan disanjung karena kekayaan dan kecerdasan. Sang iblis telah mewujudkannya."

"Apakah itu benar, Kakek?" tanya Teja.

"Tentu saja. Tapi, setiap hal yang diterima, membutuhkan bayaran. Bayaran yang tidak mudah dan tidak sedikit. Saat ini, kalian sudah membayar lunas. Ditahun-tahun berikutnya kalian harus menumbalkan putri-putri kalian sebagai bayaran," ujar sang kakek memperingatkan.

"Saat ini sudah lunas?" tanya Daru.

"Iya, kalian membayar dengan nyawa adik kalian sendiri!"

Aji, Daru dan Teja melotot terkejut. Ritme detak jantung mereka semakin cepat. Mereka tidak menyangka, bahwa sang kakek dukun ini mengambil Arini sebagai tumbal.  Kepala mereka berdenyut-denyut, sakit luar biasa menyerang tanpa ampun.

"Sekarang, kalian adalah Cakrawangsa. Nama keluarga kalian adalah Cakrawangsa. Ingat, kalian harus menumbalkan putri-putri kalian yang berusia 17 tahun. Semakin banyak yang ditumbalkan, semakin banyak kekayaan, kecerdasan dan sanjungan yang kalian dapatkan."

Tanda merah muncul dan melingkar di leher Aji, Daru dan Teja. Mereka telah terikat dengan perjanjian dan tidak bisa melepaskan diri. Jika mereka melanggar, hukuman akan menanti mereka. Hukuman yang mengancam jiwa dan nyawa mereka.

***

Footnote
¹ : “Anak-anak ini datang dengan harapan besar. Harapan yang hanya mengandung nafsu manusia. Ini adalah waktu yang tepat bagi Cakrawangsa. Setan Cakrawangsa, mari kabulkan keinginan anak-anak muda ini. Dengan demikian, perjanjian yang sudah lama dihentikan dapat dilanjutkan kembali. Tumbal Cakrawangsa, sekarang sudah terpenuhi lagi!"

Tumbal Keluarga CakrawangsaWhere stories live. Discover now