10. THE INCIDENT

3.9K 227 1
                                    

Leher Miran yang terluka, tidak dapat dilihat oleh Meisya. Hanya Miran dan Ian yang melihatnya saat itu. Mereka berdua langsung menyimpulkan, orang biasa ... atau bukan anggota keluarga Cakrawangsa tidak dapat melihat luka Miran yang menghitam itu.

Miran sendiri lupa dengan apa yang hendak dibicarakan suaminya. Wanita itu malah membicarakan mengenai siapa sosok manusia dengan kulit busuk yang telah mencekiknya.

Ian memanfaatkannya dan tidak jadi menceritakan masalah yang terjadi pada istri pendiri keluarga Cakrawangsa ... ketika hendak melahirkan bayi perempuan. Pengetahuan Ian tentang pendiri keluarga Cakrawangsa hanya sebatas itu.

Pria itu tidak tahu tentang satu pendiri keluarga Cakrawangsa yang menikah dua kali. Entah alasannya apa, keluarga Cakrawangsa sendiri tidak ada yang mengetahui.

***

[Oktober, 2006]

Satu bulan menjelang kelahiran, Miran sudah di wanti-wanti oleh suaminya. Wanita itu di minta untuk tidak melakukan pekerjaan rumah yang berat. Miran juga di minta untuk tetap didalam kamar dan tidak keluar apapun yang terjadi.

Hal ini membuat Miran bisa mati karena bosan. Kegiatan yang dilakukan ibu hamil itu hanyalah makan, tidur, membaca buku dan merebut vitamin D didepan jendela kamar.

Beberapa kali Miran merengek kepada suaminya agar bisa keluar dari kamar. Tetapi, usahanya itu sia-sia. Ian malah memperbanyak penjaga di sekitar kamar yang ditempati Miran.

Sekarang, dokter Meisya datang ke rumah. Ian membayar dokter spesialis kandungan itu untuk mengecek keadaan Miran dan bayinya setiap hari.

"Bosan sekali ... dokter!" ungkap Miran.

Meisya hanya tersenyum. Ini sudah sekian kalinya Miran mengucapkan kata-kata itu. Dokter itu mencoba menenangkan Miran dengan berkata, "sabar ya, Bu. Pak Ian ingin bayi di dalam kandungan istrinya selalu sehat dan aman. Makanya beliau menjaga ibu tetap di dalam kamar."

Miran mengerucutkan bibir ketika mendengar perkataan dokter yang di panggil suaminya itu. Ibu hamil itu memilih untuk mengabaikan Meisya dan fokus dengan buku bacaannya.

"Tapi, Dok! Bukannya tidak baik jika seorang ibu hamil, hanya diam dan tidak berolahraga atau melakukan aktifitas fisik?" celetuk Miran tiba-tiba.

"Itu benar, Bu Miran. Tetapi, bukankah ibu biasanya berjalan dari sudut kamar ke sudut lainnya? Saya tebak, ibu pasti memikirkan cara untuk keluar dari kamar ini bukan?"

Skakmat. Miran dibuat salah tingkah sehingga dia memutuskan untuk berbaring diatas tempat tidur. Wanita itu mencari posisi tidur yang nyaman, beberapa kali dia berbalik dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Tidur dengan bayi berada di perut adalah sebuah tantangan bagi para ibu hamil.

"Bu Miran. Pemeriksaan ibu dan bayinya sudah selesai. Hasilnya, semua baik. Karena sudah selesai, saya pamit undur diri. Terima kasih atas kerjasamanya, Bu Miran."

Meisya membereskan peralatan kedokterannya, ia memasukkan semua peralatan kedalam tas kerja. Lantas, dokter itu keluar dari kamar Miran tanpa berpamitan lagi dengan pemilik. Ia tahu jika kata pamitnya, tidak akan ditanggapi oleh Miran.

Miran melamun, memikirkan nasib putrinya yang akan ditumbalkan begitu lahir. Wanita itu kecewa dengan dirinya sendiri, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ditengah lamunannya itu, sebuah kalender menarik perhatian Miran.

"Hari ini ... Kamis, besok Jumat ... Kliwon. Hmmm ... kata orang Jawa, Jumat Kliwon adalah waktu dimana para makhluk astral keluar dan dapat bersinggungan dengan alam manusia. Duh ... hidup dengan keluarga Cakrawangsa membuat kata-kata orang Jawa ini bisa benar-benar terjadi," ujar Miran.

Miran mengusap pelan perutnya yang sudah sangat besar. November akhir nanti, adalah perkiraan hari kelahiran bayinya. Miran ingin anaknya ini selamat dari penumbalan, tetapi kabur dari rumah dengan keadaan hamil besar bukanlah hal yang baik. Untuk keluar dari kamar saja sudah susah, apalagi kabur dari rumah Cakrawangsa ini.

Ketukan pintu terdengar didalam ruangan. Miran bangkit dari tidurnya dengan susah payah, ia berjalan perlahan menuju pintu kamarnya. Saat dibuka, terlihatlah empat putranya yang baru pulang dari sekolah.

"IBU!" teriak keempatnya.

Mereka semua hendak memeluk sang ibu. Miran sebenarnya tidak masalah, selama tidak menabrak perutnya ... dia akan baik-baik saja.

"Tunggu! Jangan memeluk dengan keras! Nanti adek kita kesakitan," ujar si sulung yang bernama Edsel Cakrawangsa.

Ketiga adik Edsel berhenti mendadak. Mereka berjalan perlahan menuju sang ibu dan memeluknya dengan pelan. Edsel juga mengikuti ketiga adiknya.

Edsel baru berusia 5 tahun. Tetapi, pemikirannya sudah seperti anak berusia 10 tahun. Laki-laki itu juga sangat pintar dan cermat. Faktor kecerdasan keluarga, ya ... semua keluarga Cakrawangsa saat kecil juga seperti dirinya. Pemikiran mereka, tidak seperti anak pada umumnya.

"Ibu! Hari ini Alvin dan Arvin mendapatkan nilai sempurna!" ujar si nomor tiga.

Alvin Cakrawangsa dan Arvin Cakrawangsa, sekilas terdengar seperti kembar. Tetapi tidak, mereka kakak beradik berbeda satu tahun.

Mereka bisa berada di kelas yang sama karena setelah lahir ... Alvin sakit-sakitan hingga Arvin lahir. Sehingga Alvin baru masuk ke sekolah, saat Arvin si bungsu masuk ke sekolah.

"Mereka bertengkar dengan kelompok bermain yang lain," ujar Edwin Cakrawangsa.

"Hah? Apa yang dikatakan Dwi benar?" tanya Miran.

Miran lebih sering memanggil anak keduanya dengan panggilan Dwi. Selain singkat, Dwi juga memiliki arti anak kedua.

Alvin dan Arvin menunduk, keduanya memainkan jari-jarinya. Mereka tidak menjawab, karena yang ditanyakan ibu mereka adalah benar.

"Benar ... tapi mereka yang mengejek kami lebih dulu. Mereka bilang ... kita berdua aneh," jawab Arvin.

"Aneh bagaimana?" tanya Miran.

"Ehmm ..."

Jangan-jangan masalah mereka yang terlalu cerdas dan pemikiran mereka tidak seperti anak seumuran? Batin Miran.

"Mereka diejek karena menganggap bermain itu tidak ada gunanya," jawab Edwin dengan singkat.

Miran menepuk kepalanya, inilah yang ia takutkan ketika memasukkan putranya ke sekolah umum dan bukannya homeschooling. Anak-anaknya terlalu cerdas, sesuai dengan perjanjian Cakrawangsa. Nantinya, anak-anak ini sudah pasti kaya dan disanjung. Sudah pasti.

Tangan Miran membelai kepala Alvin dan Arvin. Ia tersenyum dengan aura keibuan yang kuat, membuat Edwin yang pendiam itu tertegun. Ada dua senyum yang dia lihat. Senyum keibuan yang lembut dan hangat, satu lagi senyum terpaksa yang penuh dengan kekhawatiran.

"Ibu ... apa ibu sedang gelisah dan khawatir?" celetuk Edwin.

Satu lagi anak yang terlalu cerdas. Mimik wajahku bisa dibaca dengan jelas oleh Edwin, batin Miran.

Miran memilih tidak menjawab dan memeluk putra-putranya. Sebisa mungkin Miran menyembunyikan kesedihannya, wanita itu tidak ingin putra-putranya tahu jika adik yang ada dikandungannya akan segera meninggalkan kakak-kakaknya.

Miran melepaskan pelukan dan berdiri. Dia ingin makan siang bersama putra-putranya. Wanita itu hendak memanggil pembantu di rumah, tapi tiba-tiba perutnya sangat sakit. Tubuhnya limbung, Miran memegang perutnya yang bergetar.

"IBU!"

Tumbal Keluarga CakrawangsaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz