47. THE GREAT TORTURE

2.7K 200 0
                                    

Disinilah Seri sekarang, dia rumah penumbalan yang kondisinya masih saja banjir darah. Posisi perempuan itu dipaksa duduk, mengakibatkan setengah dari badannya basah terkena darah.

Pada menit-menit awal, Seri masih baik-baik saja. Ia hanya merasa tidak nyaman dengan darah yang membasahinya. Pada akhirnya, Seri frustasi dengan darah yang ada.

Bau amis, warnanya yang merah kehitaman, ditambah dengan volumenya yang cukup banyak, membuat genangan darah terus bergerak. Rasanya Seri ingin bertepuk tangan didepan ayahnya. Perempuan itu ingin memberikan ayahnya ucapan terima kasih, karena telah menemukan hukuman yang cocok untuk membuat korbannya menurut atau frustasi setengah mati.

Namun, Seri menahan semua rasa yang tidak enak itu. Ia merasa tidak akan kalah dengan ayahnya yang sudah memberikan hukuman ini.

"Bagaimana caranya aku keluar dari ruangan ini ya?" gumam Seri.

Seri sebenarnya bisa berdiri. Perempuan itu juga bisa mendobrak pintu untuk melarikan diri. Sayangnya, Ian dan bawahannya sangat cerdas. Mereka melilitkan banyak tali pada tubuhnya hingga sulit bergerak.

Perempuan itu memilih untuk duduk merenung ditemani kesunyian. Seri pikir batu ruby yang ia dapat bisa membantu mengurangi bebannya dalam hal kabur dari penumbalan Cakrawangsa. Nyatanya, batu itu hanya tenggelam di dalam cairan berwarna merah yang membuat orang-orang bergidik.

Batu ruby yang sampai sekarang masih belum terbukti kegunaannya. Seri tidak akan lagi berharap. Berharap kepada benda ciptaan Cakrawangsa, juga berharap dengan orang-orang yang tinggal di bawah atap Cakrawangsa.

"Rasanya ... semakin tidak nyaman. Genangan ini ... bisa saja membuatku kehilangan akal," keluh Seri.

Rasa tidak nyaman itu berlangsung berjam-jam. Bahkan, Seri hampir bisa membuka ikatan yang melilit tangan dan seluruh tubuhnya.

Perempuan yang bosan dengan kesunyian itu, tanpa sadar sudah berhasil membuka seluruh ikatan yang dibuat oleh ayahnya. Ia bahkan bingung sendiri dengan hal yang dilakukannya tanpa sadar.

"Mendobrak pintu Cakrawangsa ... apakah semudah itu?" tanya Seri.

Pertanyaan itu tidak akan terjawab dan dibuktikan. Maka dari itu, Seri mempersiapkan ancang-ancang untuk mendobrak pintu dari kayu. Perempuan itu akan memuaskan rasa penasarannya sendiri.

Begitu ancang-ancang siap, Seri mengerahkan tenaganya untuk mendorong pintu dengan kekuatan besar. Tapi, diluar perkiraan. Pintu ruang penumbalan tidak dapat dibuka walaupun sudah didobrak.

"Aih. Kalau sudah seperti ini, lebih baik aku menghitung mundur. Hitung mundur hingga kita ... atau hanya aku ... ditumbalkan," ujar Seri. 

Seketika, Seri teringat dengan perkataan-perkataan yang ia katakan tadi atau kemarin malam. Di waktu tengah malam menjelang pagi ini, Seri diajak berpikir keras oleh dirinya sendiri.

"Apa kabar kubu pro dan kontra yang ia buat?"

***

Pagi ini, pukul 09.23 yang cerah. Istri Cakrawangsa masih ragu-ragu. Ingin mengikuti kubu pro terhadap penumbalan besar-besaran atau menjadi pihak kontra yang mempertahankan martabat wanita.

Masalah yang dihadapi para istri adalah ketidaksesuaian mereka dengan hal-hal yang tidak menyetujui penumbalan Cakrawangsa. Hanya saja, perkataan Seri tentang harga diri dan mungkin rasa sayang terhadap anak, cukup untuk menghantui orang-orang yang tidak memiliki pendirian di keluarga Cakrawangsa.

Sama seperti Miran. Perempuan itu masih bingung dengan apa yang harus ia lakukan. Sebenarnya, Miran tidak tega melihat putrinya akan ditumbalkan. Apalagi disaksikan oleh dirinya dan seluruh keluarga Cakrawangsa.

"Mas, apakah kita perlu menumbalkan putri kita? Apa tidak cukup, jika hanya dengan para bayi-bayi yang baru lahir itu?" tanya Miran kepada Ian.

Tanpa berlama-lama, Ian menatap istrinya dengan tatapan yang tajam. Pria itu tidak suka dengan istrinya yang bersikap tidak berpendirian itu.

"Aku tidak tahu dengan sikapmu selama ini, Miran. Selama ini, kau tidak memedulikan Seri. Bahkan saat dia sakit, kau tidak pernah mendekatinya! Lantas? Mengapa kau memintaku untuk tidak menumbalkan dia? Harusnya kau tidak memikirkan hal ini, benar?" ujar Ian.

Perkataan Ian menusuk, mencabik-cabik dan melukai hati Miran. Walaupun Miran tahu jikalau semuanya berasal dari sikapnya. Sikapnya terhadap Seri selama ini membuat orang-orang menyimpulkan bahwa Miran tidak menyayangi putri bungsunya.

"Memperbaiki semua ini, sudah terlambat istriku. Lagipula, yang meminta Seri untuk ditumbalkan sekarang adalah Iblis Cakrawangsa itu sendiri. Bukan aku, atau siapapun. Padahal kau tahu, jika Seri masih memiliki beberapa bulan sebelum usianya 17 tahun. Tapi, sudahlah. Ini semua demi keluarga Cakrawangsa," ungkap Ian.

Percakapan antara suami dan istri itu diakhiri secara sepihak. Ian akan mengurus penumbalan besar-besaran yang akan dilakukan malam nanti. Semuanya harus siap dalam keadaan yang prima.

Penumbalan besar-besaran akan mengundang banyak perhatian dari makhluk gaib. Oleh karena itu, upacara yang tidak biasa ini harus dilakukan dengan hati-hati.

Makhluk-makhluk yang hadir cenderung akan menganggu jalannya penumbalan. Maka dari itu, keluarga Cakrawangsa harus melakukan semuanya dengan rapi dan sesuai dengan aturan yang ada.


Tumbal Keluarga CakrawangsaWhere stories live. Discover now