8. THE 256th DESCENDANT (2)

4.3K 248 1
                                    

Jika biasanya perdebatan dalam sebuah hubungan selalu dimenangkan oleh pihak wanita, maka berbanding terbalik dengan keluarga Cakrawangsa. Setiap perdebatan yang terjadi dalam keluarga ini, baik mendebatkan masalah besar maupun sepele, pasti selalu dimenangkan oleh pihak pria. Pria di keluarga Cakrawangsa sangat dominan. Semua hal selalu pria yang menang. Tugas wanita di keluarga Cakrawangsa hanyalah menurut, menuruti apa saja yang diminta oleh pihak pria.

Seperti saat ini, perdebatan antara Ardian Rifaai Cakrawangsa dengan istrinya—Miran Nasa Cakrawangsa. Miran masih tidak percaya jika Ian akan menumbalkan putri mereka, sesuai dengan perjanjian Cakrawangsa. Tetapi, karena seorang pria di keluarga Cakrawangsa lebih dominan, maka Miran tidak bisa berbuat apa-apa selain menyesali pernikahannya dengan Ian.

Ini pertama kalinya aku mendapatkan anak perempuan yang rupanya akan mirip denganku, tapi keluarga suamiku yang gila ini malah mau menumbalkan putriku? batin Miran.

Dahulu, saat awal-awal keluarga Cakrawangsa terbentuk, para istri tidak diberi tahu tentang kegiatan terlarang yang dilakukan keluarga Cakrawangsa. Jika anak perempuan yang baru lahir selesai ditumbalkan, para suami akan mengatakan jikalau anak mereka tidak selamat karena sakit atau tidak kuat membawa nama Cakrawangsa. Alasan bodoh yang dipercayai para istri Cakrawangsa dahulu.

Berbeda dengan jaman sekarang. Pola pikir para wanita mulai menyaingi para pria. Para istri Cakrawangsa tidak akan percaya jika seorang putri yang baru saja dilahirkan, meninggal dunia secara tiba-tiba akibat sakit atau keberatan dengan nama Cakrawangsa.

Sehingga mau tak mau, para suami memberitahu istri-istri Cakrawangsa mengenai kegiatan penumbalan demi memenuhi perjanjian Cakrawangsa. Hal ini mulai dilakukan pada tahun 1990. Jadi, istri Cakrawangsa sudah kehilangan harapan ketika melahirkan anak perempuan.

Miran sendiri syok ketika mendengarkan hal gila tersebut. Wanita itu terus-menerus berharap anak yang lahir dari rahimnya adalah laki-laki. Tapi, Miran masih belum tahu, jika ada satu harapan untuk dirinya dan putrinya nanti. Yakni, kelahiran di malam Jumat Kliwon. Jika anak Miran lahir di malam Jumat Kliwon, maka ia baru bisa ditumbalkan pada saat usianya 17 tahun.

Sayangnya, Miran tidak akan mengetahui hal ini, sebab seluruh keluarga Cakrawangsa—yang bukan anggota tambahan seperti istri-istri—sepakat untuk menutup rapat-rapat mengenai spesialnya lahir di malam Jumat Kliwon. Hal ini dilakukan agar para istri hanya tahu jika anak perempuan yang baru lahir akan ditumbalkan.

"Hahh ... apa tidak ada cara untuk menghindari proses penumbalan?" celetuk Miran.

"Tidak ada dan tidak akan pernah," jawab Ian yang sedang menyetir pulang ke rumah.

Aih, keceplosan, batin Miran.

"Tidak ada yang bisa kamu lakukan, Miran. Garis takdir sudah digoreskan, kita hanya mengikuti apa yang tetua Cakrawangsa lakukan. Asal kamu tahu, perjanjian ini benar-benar gila. Aku mendengar ini dari ayah. Katanya keturunan ke berapa entah aku lupa, pernah mencoba untuk tidak memenuhi perjanjian walaupun mempunyai anak perempuan. Kamu tahu apa yang terjadi?"

Kenapa tiba-tiba berbicara panjang lebar? batin Miran.

Miran menghembuskan napas panjang, wanita itu malah menatap jendela mobil. Ian menunggu jawaban dari istrinya dengan sabar, matanya masih fokus ke jalan kota yang ramai.

"OKE OKE! Jawabannya pasti keturunan Cakrawangsa yang kamu maksud itu, mati dengan cara yang tragis dan jasadnya membusuk dimakan belatung!" jawab Miran dengan anda sinis.

"Tepat sekali. Jadi ... jangan bertindak macam-macam atau kau akan bernasib seperti keturunan Cakrawangsa yang aku maksud," ucap Ian memperingatkan.

"Ya, ya, suamiku."

"Bagus ... oh ya, setelah mengantarmu pulang, aku akan pergi ke rumah utama," ujar Ian.

Miran mengangguk mafhum. Sebenarnya, wanita itu penasaran dengan alasan suaminya pergi ke rumah utama. Tapi, dia gengsi. Sebab, Miran masih marah dengan suaminya yang ingin menumbalkan putri di kandungannya. Wanita itu juga marah kepada dirinya yang tidak bisa melawan dan berbuat apa-apa. 

***

Begitu tiba dirumah, Miran ingin langsung berisitirahat. Berbeda dengan Ian yang langsung tancap gas menuju rumah utama. Mirna yang kepalang kesal dengan suaminya, memilih untuk tidak bertanya dan tidak peduli.

Mau ke rumah utama, mau ke hutan, mau ke Rumah Sakit Jiwa, mau ke rumah selingkuhannya. Eh, yang terakhir itu jangan. Pokoknya, mau kemana-manapun, aku tidak akan peduli! batin Miran.

Suasana rumah sangat sepi saat Miran melangkahkan kaki ke dalam rumah. Keempat anaknya sedang pergi ke sekolah. Si sulung menduduki pendidikan TK tingkat dua, yang kedua TK tingkat pertama, yang ketiga dan si bungsu—yang sebentar lagi kehilangan gelarnya—menduduki KB atau kelompok bermain.

Anak kelima Miran akan berjarak 4-6 tahun dengan kakak-kakaknya. Jarak yang sangat dekat, padahal Miran sudah ingin berhenti hamil. Tetapi, suaminya itu malah ... membuatnya kembali hamil lagi di usia 24 tahun. Masih sangat muda, sebab mereka berdua menikah saat usia Miran baru menginjak usia 18 tahun dan Ian yang berusia 20 tahun.

"Lelah sekali rasanya," ujar Miran.

Miran membersihkan diri di kamar mandi, dia mengguyur air ke seluruh tubuhnya dengan pelan. Istri Ian itu tidak mau anak di kandungannya terganggu dengan air dingin yang tiba-tiba mengguyur.

Ditengah keasyikan Miran membersihkan diri sembari mengajak anak di dalam kandungannya bergurau, Miran merasakan ada sesuatu yang dingin mengalir di area hidungnya. Wanita itu mengusap hidungnya dengan tangan kanan, terlihat bercak darah menempel di tangan kanannya.

"Darah? Ini mimisan?" tanya Miran bingung.

Setelah Miran mengatakan itu, dadanya terasa sangat panas. Dia juga merasakan sesak napas. Ada sesuatu di dalam tubuh wanita itu yang ingin keluar.

"Hahh... Hahhhhh ... HAHHH ... A-apa yang terj—"

Belum selesai Miran mengatakan kata-katanya, sesuatu dari dalam tubuhnya menerobos keluar. Itu ... adalah darah. Darah merah kehitaman keluar dari mulut Miran dan berceceran di lantai kamar mandi. Kepala Miran menjadi berdenyut-denyut.

Rasa panas ini tidak biasa. Darah merah kehitaman ini juga tidak biasa, batin Miran.

Seketika, suhu kamar mandi berubah menjadi sangat panas. Darah itu masih keluar dari mulut Miran, wanita itu mulai lelah. Mulutnya terasa panas dan gatal. Darah mulai menggenangi lantai kamar mandi.

Tubuh Miran limbung, tetapi masih tersadar dan belum pingsan. Miran mencoba duduk dan menundukkan kepalanya, wanita itu mengurut tengkuknya pelan. Ditengah kegiatannya itu, bayangan besar terlihat berdiri di belakang Miran.

Miran yang melihat itu merinding, dia belum melihat sosok bayangan itu. Tapi, melihat bayangannya saja sudah menakutkan.

Harusnya aku terbiasa dengan kehadiran mereka. Tapi, kenapa kali ini ada satu sosok yang berdiri di dekatku? Bukankah biasanya mereka malah menghindar? batin Miran.

Tiba-tiba, sosok itu menampakkan diri dan berdiri dihadapan Miran. Miran dapat melihat bagian bawah sosok itu, kakinya membusuk dan dipenuhi belatung. Ditambah, darah merah yang mengalir perlahan dari atas menuju permukaan lantai.

Miran menutup matanya, berharap sosok itu segera menghilang. Tapi, lagi-lagi harapannya hari ini tidak terkabul. Sosok itu malah mencekik leher Miran, kuku-kuku sosok itu menancap di leher mereka Miran.

"T-tolong," ujar Miran lirih.

Tumbal Keluarga CakrawangsaWhere stories live. Discover now