39. THE SCRATCH THAT KILLS?

2.8K 203 0
                                    

Seri membaringkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, menikmati suasana damai yang ada. Langit-langit kamar menjadi objek yang ia amati saat ini. Lampu gantung berwarna kuning membuat suasana di kamar itu begitu damai.

Kedamaian itu dapat dilihat dengan jelas di luar. Padahal, pikiran Seri sedang melalang buana. Perempuan itu masih saja memikirkan lantai berderit di ruang kerja ayahnya.

Lantai itu berderit, seakan ada ruang kosong di bawahnya. Ada apa disana? Apakah ada hubungannya dengan darah yang amis itu? Atau malah ... memiliki hubungan dengan perjanjian Cakrawangsa? batin Seri.

Seharian ini, Seri hanya melamunkan hal ini. Sama sekali tidak menaikkan persentase menghancurkan perjanjian Cakrawangsa. Bahkan, sampai waktu senja, Seri masih saja memikirkan hal itu.

Perempuan itu baru tersadar saat suara paduan suara alam mulai bernyanyi. Suara kodok, jangkrik dan yang lainnya memasuki Indra pendengar Seri.

Biasanya suara-suara itu tidak terdengar, sebab Seri sedang mengerjakan sesuatu. Berbeda dengan sekarang, perempuan itu sedang melamun.

"Sudah malam?" gumam Seri.

Perempuan itu mengambil handuknya dan masuk ke kamar mandi yang ada di kamarnya. Ketika tangannya memutar kran air, tidak ada satupun tetes air yang keluar. Hal ini membuat Seri menghela napas.

Seri meletakkan handuknya pada gantungan baju, lantas keluar dari kamar. Ia akan menanyakan hal ini kepada sang ayah. Jika ada kerusakan, ia terpaksa mandi di rumah Cakrawangsa bagian barat.

Ada satu kamar mandi yang jarang digunakan. Kamar mandi yang hanya ditutup dengan kain berwarna putih dan masih menggunakan air sumur. Kamar mandi yang hanya digunakan di waktu-waktu seperti ini.

"Malas sekali, aku harus ke bagian barat lagi," gumam Seri.

Perempuan itu bergerak cepat menuju ruang kerja ayahnya. Seharusnya, pria itu ada disana. Ian terlalu sering menghabiskan waktu di ruang kerja. Entah apa yang dilakukannya, yang jelas, pria itu baru ada di kamarnya ketika masuk waktu tidur.

Tidak butuh waktu yang lama untuk sampai di ruang kerja, sebab berada di dekat tangga. Seri menghela naas sebelum benar-benar sampai di lantai bawah.

Pintu ruang kerja sudah terlihat. Mulus tanpa goresan dan percikan darah, cakaran harimau Sumatera—menurut Seri—sudah lenyap dari atas pintu.

Sudah hilang? Yang benar saja! Ayah mengganti pintu ini dengan segera, sepertinya ayah tidak mengijinkan seorangpun melihat goresan itu. Mengapa harus diganti hari ini juga ya? batin Seri.

Seri awalnya hendak mengetuk pintu, tetapi suara dua orang berbincang di dalam terdengar sampai ke telinganya. Seri penasaran, ia menempelkan telinganya pada dinding.

"Siapa orang yang berbincang dengan ayah?" gumam Seri.

Samar-samar Seri mendengar percakapan dua orang yang ada di dalam. Satu orang diantaranya sudah pasti Ian Cakrawangsa. Perempuan itu mencoba mendengarkan dengan saksama.

"Ada berapa orang lagi yang akan melahirkan dalam waktu dekat?"

"Semuanya akan melahirkan dalam waktu dekat. Mereka telah mengecek kandungannya kepada dokter dan hasilnya cukup mencengangkan. Sepertinya, iblis Cakrawangsa memberikan kita keberuntungan, sebab semua anak yang sedang dikandung adalah anak perempuan."

"Benarkah? Baguslah jikalau begitu. Penumbalan besar-besaran akan dilakukan dengan segera. Oh, iya, bagaimana bisa darah dan cakaran itu sampai di ruang kerjaku?"

"Aku tidak tahu. Setelah percepatan waktu kemarin, banyak sosok-sosok yang menampakkan diri. Beberapa dari mereka merusak barang yang ada dan ... membunuh keluarga Cakrawangsa yang tidak segera menangani kerusakan yang mereka hasilkan."

"Lalu? Mengapa ada darah di ruang kerjaku? Siapa yang mati disini?"

"Itu ... anakku. Dia ... mengusik cakaran yang ada di pintu. Dipta mati disini. Entah bagaimana caranya, anakku itu masuk ke ruang kerjamu. Baiklah aku akan pergi."

Seri berlari dengan sekuat tenaga, ia menaiki tangga dengan cepat. Lalu menghilangkan keringat yang muncul tiba-tiba, perempuan itu tidak ingin dicurigai. Sepuluh detik Seri habiskan untuk mengelap keringatnya.

Detik berikutnya, Seri menuruni tangga. Sampai di bawah ia berpapasan dengan Sura Cakrawangsa. Perempuan yang pada dasarnya tidak dekat dengan saudara-saudaranya itu, hanya menundukkan kepala.

Seri menarik senyumnya dan melangkah maju. Begitu sampai di depan pintu ruang kerja, lagi, perempuan itu mengetuk pintu dengan pelan. Seraya memanggil ayahnya tanpa berteriak dengan keras. Seri mengetuk pintu ruang kerja itu sebanyak tiga kali.

Hingga akhirnya terdengar suara Ian Cakrawangsa. Pria itu memperbolehkan orang yang mengetuk pintunya untuk masuk.

Seri to the point, perempuan itu ingin bergegas pergi. Ia tidak ingin memiliki urusan dengan ayahnya lebih lama lagi. Entah mengapa, Seri selalu merasa ayahnya itu mengintimidasi dirinya.

"Jadi, ada apa?" tanya Ian.

"Baik. Apakah air kran mati? Aku hendak mandi, ayahanda. Tetapi, kran air tidak mengeluarkan air," ujar Seri dengan yakin.

Anak bungsu Ian itu, berpura-pura tidak mendengar pembicaraan Ian dan Sura. Walau otaknya ingin sekali menyimpulkan pembicaraan dua belah pihak tadi.

"Ya, air mati. Sura telah membicarakan hal ini kepadaku. Untuk sementara ... mandilah di kamar mandi yang memiliki sumur," balas Ian.

"Baiklah ayah, terima kasih."

***

"Apa ya tadi? Percepatan waktu?" gumam Seri.

Sari telah menyelesaikan mandinya di kamar mandi yang sangat tidak ramah. Perempuan itu harus mengambil air dari sumur alias menimba air, lalu mandi dengan air dingin. Kamar mandi itu semakin tidak ramah saat ada angin dingin yang berhembus, membuat Seri menggigil saat itu juga.

Seri tidak mau mandi disana lagi. Semoga besok air di kran sudah bisa digunakan dengan normal.

"Percepatan waktu? Apa maksudnya?" gumam Seri.

Mandi Seri tidak tenang tadi. Pikirannya melayang pada pernyataan Sura Cakrawangsa. 'Percepatan waktu' terus terputar di pikiran perempuan itu.

Menyatukan semua fakta yang didapatkan dari awal tidaklah mudah. Masalah yang di hadapi Seri adalah sulitnya mencari tahu maksud dari perkataan seseorang. Seseorang di keluarga Cakrawangsa yang tidak akan bisa ia tanyai.

Oke, di awal aku sudah tahu jikalau keluarga Cakrawangsa membutuhkan tumbal. Cakrawangsa suka dengan anak perempuan yang berusia 17 tahun. Lalu ..., sulit untuk mendapatkan harta saat menunggu tumbal berusia 17 tahun? Makanya mereka menumbalkan anak perempuan yang baru lahir, batin Seri.

Sekarang, fakta yang harus ia masukkan ke dalam perkiraannya adalah percepatan waktu dan sosok yang membunuh orang-orang.

"Percepatan waktu ... apakah ... mempercepat waktu di rumah Cakrawangsa? Jika itu benar, maka penyebab tingginya rumput di depan rumah adalah hal ini!" ujar Seri.

Beberapa hal masih belum jelas bagi Seri, yakni alasan keluarga Cakrawangsa mempercepat waktu. Serta alasan mengapa keluarganya ingin sekali cepat-cepat mengadakan penumbalan besar-besaran.

Kedatangan sosok-sosok yang dimaksud Sura Cakrawangsa juga belum bisa Seri mengerti. Sebab perempuan itu belum bertemu dengan salah satu dari sosok-sosok itu. Seri rasa, kepalanya akan meledak.

Tumbal Keluarga CakrawangsaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora