9. THE 256th DESCENDANT (3)

3.9K 234 2
                                    

Leher Miran mulai meneteskan darah. Sosok yang menancapkan kukunya dileher Miran adalah manusia dengan kulit yang membusuk dan rambut lebat yang panjang.

Rintihan Miran tidak digubris oleh sosok itu. Sosok mengerikan itu malah semakin mengencangkan cekikikan serta tancapan kuku di leher Miran.

Arghhhh ... ini sakit sekali. Bagiamana bisa sosok ini muncul? Apa alasan dia mencekik diriku? batin Miran sembari terus berusaha melepaskan diri.

Kaki Miran sudah tidak menapak lantai, tubuhnya dibawa semakin tinggi hingga kepalanya terantuk atap. Darah di kepala Miran mulai turun, wajahnya menjadi pucat pasi.

"T-turunkan a-aku," ujar Miran lirih.

Saat Miran hampir kehilangan kesadarannya, suaminya datang dan berteriak keras. Ian, mendekat perlahan dan berlutut dihadapan sosok itu.

"Saya mohon, jangan bawa istri saya. Saya janji, anak dalam kandungan istri saya akan ditumbalkan begitu lahir?" kata Ian sembari terus memohon.

Sosok itu mengendurkan cekikannya. Tubuh Miran dibawa turun perlahan, wanita itu jatuh bersimpuh dihadapan suaminya.

"Khau ... yakhin ... putrimhu akhan dithumbalkhan saat dia lahir?" tanya sosok manusia busuk itu.

"Tentu saja!" balas Ian dengan yakin.

"KHALAU LAHIR DI MHALAM JUMAT KLIWON?" teriak sosok itu.

Ian terdiam, dirinya membenarkan perkataan sosok itu. Jika putrinya lahir di saat malam Jumat Kliwon, maka putrinya baru bisa ditumbalkan saat usianya 17 tahun.

"Jika itu terjadi ... kami keluarga Cakrawangsa akan memberikan 3 tumbal saat kelahirannya," kata Ian dengan yakin.

Sosok itu menghilang, menyisakan bau busuk serta darah hitam yang mengerikan. Ian baru menyadari jika kamar mandi rumahnya berubah warna menjadi merah. Ditambah genangan darah dikakinya membuat pria itu bergidik ngeri.

Suasana kamar mandi semakin tidak terkondisikan, bau darah yang keluar dari mulut Miran menjadi amis. Ian menahan napasnya dan membawa istrinya keluar dari kamar mandi. Pria itu lantas mengambil handuk basah dan mengusapkannya ke tubuh Miran yang kotor sebab darah. Ian mengambil kotak obat dan membersihkan luka di leher Miran, luka menghitam dengan darah yang terus mengalir membuat Ian bergidik.

"Sebaiknya aku membawa Miran ke rumah sakit."

***

Diperjalanan, Ian tak henti-hentinya mengecek keadaan Miran. Pria itu benar-benar khawatir sekarang. Bukan, bukan dengan Miran, melainkan dengan kondisi bayi di dalam kandungan Miran.

Kepala keluarga Cakrawangsa itu menambah kecepatan mobilnya menuju rumah sakit. Ian benar-benar berusaha tiba di rumah sakit dengan cepat. Pria itu tidak ingin kondisi Miran yang mungkin kehabisan darah itu, akan mempengaruhi kesehatan bayi dalam kandungan.

Lampu lalu lintas menghambat perjalanan menuju rumah sakit. Ian memukul stir mobil dan mengacak-acak rambutnya. Pria itu dengan tidak sabaran membunyikan klakson berulangkali. Kegiatan itu terhenti ketika sebuah tangan menepuk bahu Ian.

Ian menoleh dan mendapati Miran yang tersenyum dengan wajah pucatnya. Pria itu mengusap pelan lengan Miran yang terdapat luka gores.

"Kau tidak apa?" tanya Ian.

"Aku baik, hanya ... sakit sekali leherku ini," balas Miran.

Ian mengangguk, pandangan pria itu kembali ke jalanan. Klakson dibunyikan berulangkali lagi saat lampu berubah menjadi hijau.

"Omong-omong, kita hendak pergi kemana?" tanya Miran.

"Rumah sakit, kita akan memeriksa keadaanmu dan bayi kita," jawab Ian.

"Baiklah."

Keheningan menyelimuti keduanya, kini yang terdengar hanyalah suara klakson mobil diluar dan keributan jalanan. Ian fokus menyetir, pria itu beberapa kali marah-marah kepada pengendara yang melajukan mobil dengan lambat. Miran sendiri sibuk dengan lehernya yang terasa sakit dan perih, belum lagi mulutnya yang masih meninggalkan rasa panas serta bau amis yang menganggu wanita itu.

"Mas, ada air minum? Mulutku rasanya panas sekali, tenggorokanku kering sekali, ini sakit." ungkap Miran.

"Air minum ada di kursi belakang."

Miran membalikkan tubuhnya dan meraih botol minum di kursi belakang. Untungnya bayi di kandungannya tidak rewel, sehingga Miran dapat mengambil dan minum air dengan tenang.

"Miran, sebenarnya ... apa yang terjadi?" tanya Ian.

"Setelah kamu pergi, aku masuk ke kamar mandi dan berniat membersihkan diri. Tapi, tiba-tiba saja aku mimisan. Aku bersihkanlah darah yang mengalir dari hidung. Eh, habis itu dadaku rasanya sakit sekali, napas ku menjadi berat," ungkapan Miran terhenti, wanita itu kembali meneguk air dari botol.

Miran hendak melanjutkan ceritanya, tetapi mobil Ian sudah tiba dirumah sakit. Pria itu meminta Miran untuk melanjutkan ceritanya nanti.

"Cepat Miran, kita harus memastikan kau dan bayi keturunan Cakrawangsa ke-256 ini selamat."

"Kurasa kau hanya peduli dengan bayi ini, Mas?"

"Apa hal itu begitu terlihat?"

Miran menghembuskan napas panjang, semakin lama ... suaminya mulai menunjukkan tanda-tanda sayang anak atau lebih tepatnya sayang dirinya sendiri? Menumbalkan bayi tidak bersalah dan membuat istri sedih hanya demi kekayaan, kecerdasan dan sanjungan orang-orang terhadap keluarga Cakrawangsa? Hanya orang bodoh yang mau menikah dengan orang seperti itu, dan orang bodoh itu adalah Miran. Ah, bukan Miran. Tapi, keluarga wanita itu yang menjualnya kepada keluarga terkutuk ini.

"Aku benci kamu, Mas."

"Tapi, aku cinta kamu. Buktinya kamu melahirkan anak kelima dariku," ujar Ian.

"Hemmm, kata-katamu betul-betul memabukkan. Aku tahu betul tujuanmu, menghamiliku terus-terusan," balas Miran.

"Baguslah kalau kau tahu."

Pertengkaran 'kecil' itu membuat keduanya tidak sadar jika sudah tiba didepan ruangan dokter spesialis kandungan. Begitu masuk, mereka disambut dengan wajah heran dari sang dokter.

"Loh? Bapak Ian dan Ibu Miran? Kembali lagi? Ada apa? Bukankah baru tadi pagi kalian dari sini?" tanya dokter Meisya.

"Saya ingin putri saya cek sekali lagi."

Meisya menatap bingung pasangan suami istri itu, tapi dokter itu memilih untuk menuruti permintaan Ian. Meisya berkutat dengan alat-alatnya, dia mendekati Miran dan melakukan prosedur kerja yang sama dengan pagi tadi.

Cukup lama, hingga Meisya berkutat dengan hasil dan buku laporannya. Ian mendekati istrinya dan berbisik-bisik.

"Lantas? Apa yang terjadi setelah napasmu menjadi berat?"

"Setelah itu, ada sesuatu yang hendak keluar dari dalam tubuhku. Yang keluar adalah darah kental kehitaman. Mulutku rasanya panas sekali saat itu, kepalaku juga berdenyut-denyut," bisik Miran.

"Tunggu, yang kau alami ini ... seperti yang pernah terjadi pad—"

"Bu Miran?" panggil Meisya.

Kata-kata Ian terhenti, kepalanya menjauh dari telinga Miran. Pria itu duduk tegak di kursinya saat Meisya datang membawa laporan terbaru mengenai kehamilan Miran.

"Apa terjadi sesuatu setelah kembali dari rumah sakit? Karena posisi bayi ibu berbalik. Tadi pagi ... kepala bayi berada di bawah, sedangkan saat ini ... kepala bayi berada di atas dan kakilah yang ada dibawah," ungkap Miran.

Miran menjadi kikuk, jika dijawab dengan jujur ... maka suaminya bisa dilaporkan pada polisi. Akhirnya Miran beralasan lehernya terasa perih dan sakit, lalu dia terjatuh.

"Lehernya tergores sepertinya ... coba dilihat dok," ujar Miran.

"Loh? Leher ibu baik-baik saja ... tidak ada bekas luka atau apapun yang memicu rasa perih."

Tumbal Keluarga CakrawangsaWhere stories live. Discover now