11. THE BIRTH of THE 256th

3.6K 248 2
                                    

Keempat anak Miran langsung tanggap, Edsel dan Edwin keluar dari kamar mencari bantuan. Sementara Alvin dan Arvin mencoba menenangkan sang ibu yang merintih kesakitan.

"Kak Alvin! Ada darah!" teriak Arvin.

Alvin bergerak cepat, laki-laki dengan tubuh mungil itu membantu ibunya duduk. Ia tahu, itu adalah tanda-tanda bayi lahir atau kemungkinan terburuk yakni keguguran. Alvin tahu itu, dia menatap adiknya dan memberikan kode melalui mata.

Untungnya, Arvin yang usianya satu tahun dibawan Alvin bisa menangkap maksud dari kode mata sang kakak. Arvin lantas bangkit dan berlari keluar.

"Aku akan segera kembali kak!" ujar Arvin.

Alvin mengangguk. Anak itu mengusap pelan punggung ibunya. Laki-laki itu berkata,"ibu ... tarik napas perlahan. Ibu jangan panik, tetap tenang."

Arvin menyusul dua kakak yang mencari bantuan, ia harus memberitahu update kondisi ibunya. Begitu menemukan kedua kakaknya yang berada di depan sang Ayah. Sepertinya keduanya menjadi kikuk saat mencoba menjelaskan kepada Ian.

"AYAH! IBU KELUAR DARAH! IBU KESAKITAN!" teriak Arvin langsung to the point.

"APA? DIMANA IBU?" tanya Ian.

"DIKAMAR!"

Ian menggendong ketiga anaknya, pria itu panik saat mendengar istrinya mengeluarkan darah. Jarak antara kamar dan posisi Ian cukup jauh. Kepala keluarga itu berlari dengan cepat menuju kamar tempat Miran berada, ia sedikit menyesal membuat rumah Cakrawangsa baru yang sangat besar dan memiliki banyak ruangan.

Apakah Miran mengeluarkan darah seperti saat itu? Atau berbeda? Darah apa yang dimaksud Arvin? batin Ian.

Begitu sampai di kamar, Ian menurunkan ketiga putranya dan masuk ke dalam. Wajah Ian betul-betul panik, tentu saja bukan mengkhawatirkan Miran. Pria itu lebih mengkhawatirkan kondisi tumbal pertamanya nanti.

"Dimana ibu?" tanya Ian.

"DISINI AYAH!" teriak Alvin dari sudut ruangan.

Ian menghampiri putra ketiganya, kali ini dia benar-benar panik. Darah itu keluar dari area kewanitaan Miran. Ian mulai memikirkan yang tidak-tidak, kata keguguran muncul dan mengitari kepala pria itu.

Tanpa berlama-lama, Ian mengangkat tubuh Miran perlahan. Rumah sakit akan menjadi tujuan mereka. Diikuti keempat anaknya yang tidak bisa ditumbalkan, Ian melangkah dengan cepat.

"Anak-anak, kalian tetap di rumah ya. Ayah akan membawa ibu ke rumah sakit, kalian jangan khawatir," ujar Ian sebelum masuk kedalam mobil dan melajukan mobilnya.

Keempat putra Ian hendak protes, mereka ingin ikut sang ayah pergi ke rumah sakit. Tetapi, protes itu tidak digubris oleh Ian. Pria itu malah tancap gas begitu dia selesai meletakkan Miran dengan aman.

"Semoga ibu baik-baik saja. Adik kita harus selamat, dia anak yang kuat seperti kita ... bukan?" tanya Arvin.

"Tentu saja, adik kita kuat. Mereka berdua pasti bertahan. Kita tidak boleh menangis," ujar si sulung.

"Kak Edsel benar. Ayo kita berusaha untuk memberi dukungan kepada ibu," ujar Edwin.

Anak kedua itu memutuskan untuk menghibur Arvin. Laki-laki itu membawa Arvin kedalam untuk membaca buku atau mengerjakan PR. Hal itu akan membuat Arvin sibuk dan tidak khawatir lagi.

Saat Edwin dan Arvin masuk, Alvin mencegah kakaknya masuk ke dalam. Ia mendekat dan membisikkan sepatah kata kepada si sulung.

"Ibu ... hendak melahirkan bukan? Keluar darah seperti itu memiliki dua kemungkinan, hendak melahirkan atau kemungkinan buruk yaitu keguguran. Haruskah aku khawatir?"

Edsel menghembuskan napas. Ia sedikit bingung dengan Alvin. Alvin sama pintar dengan dia, tetapi kenapa Alvin malah berada di kelas kelompok bermain? Pertanyaan seperti itu selalu muncul di benak Edsel ketika melihat tingkah Alvin yang tidak seperti teman sepermainannya.

Apa yang sebenarnya menimpa keluarga ini? Kenapa kami begitu pintar dan begitu cerdas? batin Edsel.

***

Ian berteriak di pintu rumah sakit, beberapa perawat keluar membawa brankar. Dibawa-lah Miran kedalam rumah sakir oleh perawat-perawat tersebut dengan gerakan cepat. Begitu masuk, seorang dokter menghampiri brankar yang sedang berjalan. Dokter itu ikut berlari sembari bertanya apa yang terjadi.

"Istri saya sedang hamil dan tadi mengeluarkan darah dari area kewanitaannya," ungkap Ian.

Dokter itu mengangguk. Mereka membawa Miran ke unit gawat darurat. Dengan gerakan cepat, mereka masuk dan menutup pintu unit gawat darurat. Ian diminta menunggu di luar, pria itu menundukkan kepalanya.

Putriku harus selamat, batin Ian.

Entah apa yang dilakukan dokter didalam sana, yang jelas brankar berisi Miran keluar dan bergerak cepat keluar dari unit gawat darurat. Ian menatap mereka dengan bingung, kakinya memutuskan untuk mengikuti para perawat dan dokter itu.

"Dokter! Istri saya akan dibawa kemana?" tanya Ian.

Wajah pria menjadi takut saat melihat wajah istrinya yang pucat. Beberapa rintihan kesakitan keluar dari mulut Miran.

"Ruang Operasi! Ibu Miran hendak melahirkan! Air ketubannya sudah pecah," ujar dokter itu.

Dokter dan perawat yang membawa brankar Miran berpisah. Sang dokter memanggil bantuan untuk melakukan operasi darurat. Sementara Ian sedang linglung karena dibuat terkejut, anaknya akan lahir satu bulan lebih awal dari perkiraan.


Tak apa, proses penumbalan akan lebih cepat dari yang aku rencanakan, batin Ian.

Pria itu melangkah dengan yakin menuju ruang operasi. Biasanya, suami dari istri yang melahirkan diperbolehkan masuk ke ruang operasi untuk saling menguatkan. Benar saja, Ian diminta mendampingi Miran selama operasi.

Sebelum memulai, para dokter berdoa untuk kelancaran operasi kelahiran. Ian merasa sedikit gerah saat para dokter berdoa. Pria itu menepi lebih dahulu sampai doa selesai.

Alat-alat operasi dipersiapkan dengan baik. Terdapat dua dokter dan tiga perawat yang membantu jalannya operasi. Dimulailah operasi Miran, dokter dan perawat mulai berkutat dengan alat-alat medis berbahan stainless itu.

***

Operasi berlangsung selama enam jam, beberapa kendala aneh terjadi selama operasi. Seperti alat-alat medis yang berjatuhan dengan sendirinya. Ditambah suara-suara gaduh terdengar selama proses operasi, yang memecah fokus para dokter. Juga bercak-bercak darah yang muncul di dinding.

Pukul tujuh malam, operasi telah berhasil. Semua keanehan selama operasi menghilang, suara gaduh telah hilang, bercak-bercak darah di dinding lenyap. Seakan-akan, keanehan itu tidak pernah terjadi.

Miran dan bayinya dipindah ke ruang rawat inap. Walau lahir prematur, bayi Miran memiliki kondisi yang normal dan tidak perlu dimasukkan kedalam inkubator.

"Mas Ian," ujar Miran dengan suara lemah.

"Ada apa Miran?"

"Mas tetap akan menumbalkan putri kita?"

Ian yang sedang menggendong sang bayi terdiam. Dengan yakin pria itu menjawab, "tentu saja."

Miran menghela napas berat. Tenaga wanita itu belum cukup banyak untuk mendebat suaminya. Istri Ian itu memilih untuk mengalihkan pandangan dan mengerling ruang rawat inap. Matanya tanpa sengaja menatap kalender yang tertempel di dinding.

"Anak kita ... lahir di malam Jumat Kliwon, apa dia akan baik-baik saja?" ujar Miran.

"Tunggu, Jumat Kliwon?"

Tumbal Keluarga CakrawangsaWhere stories live. Discover now