26. THE RUBY GEMS (3)

2.9K 218 1
                                    

Seri terdiam. Perempuan itu pikir, melempar batu ruby tepat saat penumbalan berlangsung akan merusak lingkaran penumbalan, terlalu mudah untuk sekelas setan sebesar itu. Seri mengira jika sosok yang selama ini muncul di kamarnya adalah Cakrawangsa. Nyatanya, bukan.

Tidak ada seorangpun yang melihat sosok asli dari Sang Cakrawangsa.  Bahkan, Ian dan kepala keluarga lainnya—selain tiga pendiri keluarga Cakrawangsa—tidak pernah melihat iblis Cakrawangsa.

Setiap penumbalan, yang akan muncul adalah tanda merah. Tanda merah kehitaman yang memenuhi ruang penumbalan. Jika tanda itu muncul, maka orang yang ada di dalam ruangan harus segera keluar. Mereka baru boleh kembali sehari kemudian, untuk membersihkan ruangan.

"Seto ... apa kau yakin? Semudah itu?" tanya Seri yang masih belum yakin.

Seto tersenyum. Laki-laki itu menepuk bahu Seri. Kepalanya mendekat dan berhenti di sebelah kanan kepala Seri. Lantas, sebuah bisikan terdengar di telinga keturunan Cakrawangsa ke-256.

"Tentu. Kau meragukanku? Kau tidak mempercayaiku?" bisik Seto.

Suara lembut, berat dan pelan, cukup untuk membuat bulu kuduk Seri berdiri. Untuk sejenak, perempuan itu terpaku. Matanya mengarah kebawah, tubuhnya sedikit bergetar.

"Yah ... kalau kau tidak mempercayaiku, kau yang rugi," ujar Seto.

"AKU PERCAYA!" teriak Seri dengan spontan.

Seto tersenyum lagi. Seri baru sadar jika terdapat dua dekik yang menghiasi pipi laki-laki itu, tetapi perempuan tidak membalas senyuman milik laki-laki yang usianya jauh diatas Seri.

Seto menarik lengan Seri dan pergi menuju ke ruang kosong di dekat ruang tamu, laki-laki itu mengambil batu ruby dan membuka buku kulit phon yang sedari tadi dianggurkan. Sedari halaman pertama, buku aneh itu sudah menampilkan deretan huruf dan angka yang tidak dapat Seri baca.

Entah tertulis menggunakan aksara yang mana, tapi Seri yakin jika itu adalah bahasa jawa. Bahasa jawa yang ditulis dengan rapi, indah dan terlihat mengerikan di sisi lain. Bagaimana tidak? Tulisan tersebut berwarna merah darah dengan beberapa tetesan yang terlukis dengan spontan.

Mata Seri memandang Seto dengan takut-takut. Ketika mata mereka bertemu, batu ruby yang berada di tangan laki-laki itu menyala terang. Mulut laki-laki itu komat-kamit sembari menatap Seri.

"Nganti tekan wektu kurban, wong wadon iki bakal diganggu. Diganggu dening makhluk ciptaan sing rumangsa terancam. Sing terpilih, kudu milih. Urip banjur mungkasi perjanjian Cakrawangsa utawa mati ing tangan perjanjian Cakrawangsa dhewe. Mung wong wadon iki sing bisa mungkasi perjanjian Cakrawangsa ," kata Seto.

Mata Seri melotot saat mendengar kata-kata dari bahasa Jawa. Ia hendak kabur dari sana, tetapi batu ruby dilemparkan kepadanya dan mendarat dengan sempurna di tangan kanan. Hawa panas menjalar ke seluruh tubuh perempuan itu lagi, Seri memberontak walau pada akhirnya sia-sia.

Aku tidak terima! Dia bilang, 'Sampai saat penumbalan, wanita ini akan diganggu. Diganggu oleh makhluk ciptaan yang merasa terancam. Yang terpilih, harus memilih. Hidup kemudian mengakhiri perjanjian Cakrawangsa atau mati di tangan perjanjian Cakrawangsa itu sendiri. Hanya, perempuan ini yang dapat menghentikan perjanjian Cakrawangsa.' , batin Seri.

Lagi-lagi Seto tersenyum. Tangan kiri laki-laki itu mengangkat buku bersampul kulit pohon, lantas dengan tenaga yang tidak terlalu kuat, buku itu mendarat di kaki Seri.

"Sampai jumpa!" teriak Seto.

Batu ruby bersinar lebih terang, membuat mata Seri menyipit akibat silau. Perempuan itu bahkan tidak menyadari jikalau lingkaran putih muncul di atas tikar rotan yang dia injak.

***

"Kau sudah pastikan dengan benar?  Terjadi pergerakan kecil di lantai ini? Gudang ini?" ujar Edsel.

"Iya, Kak Edsel. Apakah ... kakak meragukanku?" ujar Arvin.

"Ah, bukan itu maksudku. Baiklah, ayo kita masuk saja," perintah Edsel kepada tiga adiknya.

Mereka berempat, yang saat ini sedang kuliah memilih pulang saat sensor ciptaan Arvin bergetar di gudang bagian barat rumah Cakrawangsa. Edwin dan Alvin hanya ikut-ikutan, mereka berdua sebenarnya malas pulang ke rumah. Tugas kuliah sedang berusaha menumpuk dirinya setinggi mungkin. Hanya saja, Arvin heboh dengan getaran tidak biasa yang terekam di sensor buatannya.

Pada akhirnya, Arvin memenangkan perdebatan dan mereka semua pulang ke rumah Cakrawangsa. Mereka belum bertemu dengan satupun orang di rumah ini, sebab mereka langsung menuju ke bagian barat dari rumah Cakrawangsa.

"Tidak ada yang terjadi di sini, Ar," ujar Alvin.

"Iya, semuanya normal. Ruangan ini masih saja berisikan ... harta milik Cakrawangsa," sambung Edwin.

"Sebentar, sensork—"

Cahaya menyilaukan muncul di tengah-tengah gudang. Membuat mata mereka berempat terpaksa menyipit dengan ekstrim.

"Berasa di jumpscare, tapi menyerang mata," celetuk Alvin.

Mata mereka mulai membuka saat cahaya putih meredup. Penglihatan mereka sedang menyesuaikan dengan keadaan gudang. Begitu selesai, mereka terkejut melihat adik bungsu tergeletak di sana. Menggenggam batu ruby dan buku kulit pohon yang indah.

Tumbal Keluarga CakrawangsaWhere stories live. Discover now