22. THE FACT WAY (3)

2.9K 211 0
                                    

"Oh tidak," ujar Seri dengan panik.

Dengan langkah cepat, perempuan itu berlari keluar dari area cctv. Ia mencoba tidak terlihat, walau Seri yakin 100% dia tertangkap cctv. Merasa aman, perempuan itu menempel di dinding dan berjalan perlahan menuju pintu gudang.

Seri mencoba membuka pintu gudang lagi, tetapi tidak berhasil. Kunci masuk yang tadi di gunakan, tidak bisa di gunakan lagi. Walaupun Seri sudah memutar kunci dengan sekuat tenaga.

"Sial sial sial!"

Ingin rasanya Seri mengumpat, hanya saja ia masih cukup waras untuk tidak mencari gara-gara dengan gedung barat yang nampak mengerikan. Tenaganya hampir habis hanya untuk memutar kunci, tapi lagi-lagi tidak bergerak sedikitpun.

Seri berjalan kesana-kemari dengan panik. Ini adalah satu hal yang menghambat proses kerja otak keluarga Cakrawangsa. Kepanikan akan membuyarkan semuanya.

Lama berputar-putar, Seri tidak sengaja menginjak sesuatu. Bunyi 'klik' dan suara mesin yang cukup keras mendengung di telinga perempuan itu.

Tanpa aba-aba, lantai tempat Seri berpijak terbuka. Membuat perempuan itu jatuh ke dalam lubang. Lubang yang berhasil meredam teriakan nyaring perempuan itu.

***

Ian berjalan pelan menuju ruang kerjanya di rumah Cakrawangsa. Kepala keluarga Cakrawangsa sekaligus ayah dari Serinaraya Cakrawangsa itu harus menyelesaikan laporan keuangan keluarga Cakrawangsa. Sebuah pekerjaan yang membosankan dan tidak disukainya.

Di belakangnya, terdapat istrinya. Miran berjalan menunduk, sembari menenteng tas kerja berwarna hitam. Pikiran Miran melayang kepada nasib anak perempuan satu-satunya yang akan ditumbalkan dalam waktu dekat.

Kalau boleh jujur ... aku tidak ingin mendukung suamiku untuk menumbalkan putriku sendiri. Tapi, aku hanya memiliki dua pilihan ... tetap maju mendukung suamiku ... atau membuat putriku kabur sejauh mungkin, batin Miran.

Ibu lima anak itu sebenarnya sangat mencintai putri bungsunya. Hanya saja, perempuan itu dipaksa untuk tidak peduli dan tidak menyayangi.

Semua itu dilakukan agar anak 17 tahun yang nantinya ditumbalkan, menjadi pribadi yang pendiam dan tertutup. Maka saat ditumbalkan, seseorang yang bukan Cakrawangsa tidak akan pernah mencari keberadaannya. Hanya orang terdekat yang tahu.

"Miran, sebelum masuk ke ruang kerja. Tolong buatkan kopi, aku ingin kopi buatanmu," ujar Ian.

"Baiklah," jawab Miran.

Wanita paruh baya itu menyerahkan tas kerja yang dibawanya kepada Suaminya. Lantas ia beranjak dari sana dan pergi menuju dapur.

Setelah kepergian Miran menuju dapur, Ian kembali meneruskan perjalanannya menuju ruang kerja. Rumah yang luasnya melebihi stadion kota besar itu, cukup untuk membuat para keluarga Cakrawangsa kewalahan. Begitupula dengan Ian, pria itu terpaksa berjalan jauh untuk menuju ruang kerja.

Saat tiba di depan ruang kerja, pria itu memegang gagang pintu dan memutarnya. Tetapi, kegiatannya itu terjeda saat Herman—sepupunya yang paling tua—datang dengan napas tersengal-sengal.

Ian yang melihatnya, bersandar di pintu masuk ruang kerja. Pria itu menunggu sesuatu yang hendak disampaikan Herman. Herman masih membutuhkan waktu untuk menormalkan napasnya.

"Ian! Ada sesuatu yang terjadi di gudang!"

"Apa maksudnya, Herman?" tanya Ian.

Tumbal Keluarga CakrawangsaWhere stories live. Discover now