38. THE FLOOR CREAK

2.7K 202 0
                                    

Suasana di rumah Cakrawangsa berubah, dan Seri menyadari hal itu. Perempuan itu merasa ada yang aneh, warna tembok di rumah Cakrawangsa menjadi pudar. Rumput-rumputan yang ada dihalaman rumah sudah sangat tinggi, seperti tidak pernah dipotong selama beberapa bulan.

Perempuan itu menjadi semakin bingung saat melihat banyak istri Cakrawangsa hamil besar. Tidak hanya itu, suara-suara tangisan bayi terdengar di telinga Seri. Membuat Seri berpikir bahwa sesuatu terjadi di rumah Cakrawangsa, selama dia pergi.

Namun, Seri tidak akan tergiur untuk mencari tahu. Sebentar lagi, ia akan ditumbalkan. Perempuan itu ingin menenangkan diri, agar tidak panik saat proses penumbalan terjadi padanya.

Perempuan yang tidak menghabiskan satu lembar uang dari ayahnya itu, memilih untuk tidak peduli dengan keadaan rumah Cakrawangsa dan memilih untuk masuk ke kamar sesegera mungkin. Kali ini Seri sendirian, perempuan itu tidak akan diganggu lagi oleh sosok busuk yang mengerikan. Aji—si sosok busuk—ingin menemani istrinya hingga akhir hayat.

Aji melakukan hal tersebut karena merasa memiliki tanggung jawab dan ingin menebus dosa-dosanya yang terdahulu. Ia tahu, Yang Maha Kuasa belum tentu memberikan pengampunan, tapi setidaknya pria itu sudah mencoba untuk menebus dosanya.

Seri tidak masalah dengan keputusan Aji, ia malah bersyukur tidak akan diganggu dan diikuti lagi. Seri berjalan dengan pelan di lorong rumah Cakrawangsa, seharusnya perempuan itu bisa tiba dengan lebih cepat. Tetapi, suara bayi yang terus-terusan menangis dan banyaknya simbol-simbol aneh di dinding, membuat Seri ingin mencari tahu.

Sepertinya memang benar terjadi sesuatu di sini. Simbol ini, seharusnya tidak pernah ada di dinding ... juga ... bukankah ... hanya ada satu orang yang hamil pada saat aku keluar dari rumah? Setahuku, ada juga yang melahirkan sehari sebelum aku keluar, tapi ... mengapa suara bayinya terdengar sangat banyak?  batin Seri.

Hanya ada satu yang hamil kemarin, yakni istri dari Bagas Cakrawangsa. Sehari sebelum Seri keluar dari rumah, ada satu orang yang melahirkan seorang anak. Yakni istri dari Sura Cakrawangsa. Keramaian suara bayi yang ada membuat perempuan berpikir.

Pertama, bayi-bayi itu adalah anak adopsi. Tetapi, Seri ingat jikalau anak yang ditumbalkan haruslah keturunan Cakrawangsa. Perempuan dan keturunan Cakrawangsa langsung, harus dari bibit pria Cakrawangsa.

Kedua, bayi-bayi itu adalah anak dari Sura dan Bagas. Anak kembar bisa saja membuat tangisan terdengar lebih keras. Pernyataan ini lebih logis dibandingkan yang pertama.

Seri akan mencari tahu ini, sembari mengamati yang terjadi. Ia bisa menarik kesimpulan setelah melihat semuanya. Mungkin saja, hal ini berhubungan dengan perjanjian Cakrawangsa yang hendak Seri hilangkan.

Pelan-pelan, tapi pasti. Seri akan berpegang teguh dengan hal itu. Ia akan berpura-pura seakan tidak tahu apapun dan bergerak perlahan serta cekatan. Walau begitu, Seri dikejar oleh hari. Hari penumbalan semakin dekat dan menunggunya.

Berjalan sembari melamun keluarga Cakrawangsa, membuat Seri secara tidak sengaja masuk ke ruang kerja ayahnya yang berada di dekat tangga. Seri tersadar saat kakinya, menabrak meja yang ada di sana. Rasa sakit yang menjalar di kakinya membuat Seri tersadar dan menepuk kepalanya.

"Kenapa aku bisa masuk ke ruangan ini?" tanya Seri.

Seri yang takut ketahuan, niatnya ingin segera pergi dari sana. Tetapi, kondisi pintu yang terbuka dengan goresan berupa cakaran besar, membuat perempuan itu mengurungkan niatnya.

Perempuan itu mendekat dan mengamati lebih dekat. Goresan besar dengan sedikit percikan darah yang menempel pada pintu, membuat Seri tertegun untuk sejenak.

Makhluk mana yang melakukan hal ini? Tidak mungkin ada harimau Sumatera di rumah Cakrawangsa, batin Seri.

Seri mengamati hal-hal yang ada di ruang kerja ayahnya. Perempuan itu merasa heran saat melihat bersihnya meja sang ayah. Tidak ada satupun barang disana.

Untuk melihat lebih jelas, Seri mendekati meja. Matanya melotot ketika melihat meja kerja sang ayah. Ia terjatuh, karena terkejut saat melihat percikan darah yang sangat banyak di bawah meja.

Darah amis dan kehitaman itu membuat siapapun yang melihatnya bergidik ngeri. Seri ingin berhenti sampai disitu. Ia sudah cukup dibuat berpikir hari ini, perempuan itu ingin istirahat sebab besok sekolah.

Namun, otak dan tindakannya tidak sinkron. Otaknya ingin Seri berhenti dan pergi dari ruang kerja berdarah itu. Berbeda dengan tubuhnya yang malah berjongkok dan mendekati kolong meja.

Kaki Seri menginjak salah satu lantai di ruang itu, bunyinya berderit. Seri tertegun, sebab lantai yang digunakan ruang kerja Ian adalah keramik bermotif kayu. Bunyi derit biasanya dihasilkan oleh kayu.

Mengapa ini bisa berderit? Apakah ... ini kayu? batin Seri.

Sebelum Seri menyentuh lantai itu, suara ayahnya menginterupsi perhatiannya. Membuat kepala Seri terbentur meja kerja yang berdarah.

"Siapa di sana?" tanya Ian.

Seri langsung membenarkan lantai yang tadinya berantakan, darah yang ada ia ratakan di lantai yang ia pijak. Takut ayahnya mencurigai yang tidak-tidak, perempuan itu keluar dari kolong meja.

"Ini aku ayahanda," jawab Seri.

"Apa yang kau lakukan diruang kerjaku?" tanya Ian lagi.

Seri mendadak panik yang ia lakukan adalah mencari tahu. Padahal otaknya tidak menginginkan keingintahuan perempuan itu. Segera, Seri menjawab sebisanya.

"A-aku mencari ayahanda. Aku hendak,"– perempuan itu meraba ransel yang dibawa–"menyerahkan uang! Iya, uang yang ayahanda berikan kemarin."

Seri menutup mata saat menyadari jawabannya terdengar bodoh. Bodoh karena orang mana yang mengembalikan uang sebanyak itu, setelah diberikan secara cuma-cuma.

Cukup lama keheningan mengisi ruang kerja Ian. Pria itu terlihat mencari kebohongan Seri. Tetapi, Ian menghentikan kegiatannya itu.

"Uang itu untukmu saja. Untuk uang sakumu bulan ini," ujar Ian.

Seri mengangguk, ia pamit meninggalkan ruang kerja berdarah. Begitu perempuan itu melewati Ian, tubuhnya ditahan. Tangan dari orang yang dipanggil 'ayahanda' berada diatas bahunya. Lantas, sebuah mengisi telinga Seri.

"Kau, anggap tidak melihat apapun di ruang ini. Entah itu goresan di pintu atau darah amis yang ada. Hapus itu dari ingatanmu. Kau mengerti?" pinta Ian.

Jantung Seri berdetak lebih cepat. Ia mengangguk tanda mengerti. Walaupun perempuan itu belum tentu melupakan lantai yang berderit.

"Jawab aku. Kau mengerti?" tanya Ian sembari tangannya meremas bahu putrinya.

Seri merintih kesakitan. Ayahnya membuat bahu perempuan itu pegal dan perih. Tak ingin remasan itu terlalu lama, Seri akhirnya menjawab.

"Baiklah, aku akan melupakan hal-hal yang ayahanda pinta—"

"Baguslah," sela Ian.

Ian meninggalkan ruangan dan menghilang dengan cepat. Meninggalkan Seri yang sedang mengurut bahunya.

"Aku akan melupakan apa yang ayah minta. Sayangnya, kau tidak memintaku untuk melupakan lantai yang berderit ayah," gumam Seri.

Tumbal Keluarga CakrawangsaWhere stories live. Discover now