28. THE BLANK

2.9K 209 1
                                    

Seri bersimpuh di depan keempat kakaknya. Air mata perempuan itu menetes perlahan. Mengingat bahwa waktunya tersisa beberapa bulan lagi. Kalau saja ia tidak mengetahui waktu kematiannya, Seri tidak akan sesedih ini.

Nasi sudah menjadi bubur, Seri tahu kapan kematiannya akan datang. Perempuan itu masih tidak menyangka jika hidupnya hanya akan bertahan hingga usianya 17 tahun.

Suara tangisan Seri memenuhi kamar Edsel. Sementara, keempat laki-laki yang berada di kamar malah bingung. Mereka berpikir keras, cara menanggapi tangisan sang adik. Edsel dan ketiga adiknya ingin menenangkan, hanya saja mereka takut jika salah berkata.

"Kau percaya? Di dunia ini, penumbalan atau apalah itu hanyalah sebuah kebohongan. Kebohongan yang sudah terlalu kuno. Kebohongan yang dipercayai orang-orang sepertimu," tutur Edsel.

Mata Edwin, Alvin dan Arvin langsung tertuju pada Edsel. Mereka terkejut dengan penuturan kakak sulungnya. Sementara si sulung menunjukkan ekspresi tidak peduli.

Edsel tidak memperhatikan isyarat mata ketiga adiknya. Mata mereka seakan-akan mengisyaratkan 'Kau gila?' .

Seri berdiri dengan wajah sembabnya. Perempuan itu memandang kakak sulungnya dengan sengit. Si bungsu tidak percaya jika kakak tertuanya masih saja tidak peduli.

"Apa kau bilang? Kebohongan? Kau belum pernah melihatnya! Aku, beberapa mendengar bahkan melihat proses penumbalan! Sedangkan kau,"–tangan Seri mendarat di pipi Edsel–"kau ... mati saja."

Suara tamparan masih menggema selama beberapa detik, mengiringi tarikan napas Seri yang memburu. Tamparan itu juga membuat Edwin, Alvin dan Arvin terdiam. Mereka ikut ngilu melihat tamparan keras Seri.

Edsel sendiri masih diam. Tangan kanannya menyentuh pipi kiri, mengusap darah yang mengalir dari bibirnya. Tamparan itu juga membuat hidung si sulung mengeluarkan darah. Tamparan Seri sangat dahsyat, selain meninggalkan rasa sakit, tamparan si bungsu membuat bekas biru di pipi.

Edsel tidak protes dengan tamparan itu. Ia tahu. Ia terlalu mengedepankan sains, sulit untuk percaya pada hal-hal ghaib yang katanya hidup berdampingan dengan manusia.

Ungkapan Seri ... tidak masuk akal. Bagaimana mungkin membunuh keturunan Cakrawangsa yang berjenis kelamin perempuan dapat membuat kaya dan cerdas? Orang mana yang bisa mempercayai hal seperti ini? batin Edsel.

Melihat situasi yang tidak nyaman, ketiga saudara yang lain membawa Edsel keluar. Sembari termenung dan memegangi pipinya, Edsel keluar digiring oleh ketiga adiknya.

"Maafkan kami, Seri. Aku iba dengan masalah ini, tetapi ... otak dan hatiku tidak bisa sinkron. Otakku memilih untuk tidak percaya dengan apa yang kau katakan. Otakku, tidak memberikan restu untuk membantumu. Sekali lagi ... maafkan kami," ujar Arvin sebelum keluar dari kamar Edsel.

Seri tertegun mendengar ujaran Arvin. Rupanya, hati nurani kakak-kakaknya sudah tertutupi oleh sains. Entah harus bagaimana Seri sekarang.

"Memang tidak ada yang bisa, aku harapkan dari keluarga Cakrawangsa. Mau tidak mau ...,"–Seri menggenggam batu ruby yang ada di tangan kirinya dengan lebih erat–"aku harus mengikuti cara Seto."

Walau belum terlalu yakin, Seri akan mencoba menunggu sampai hari penumbalannya tiba. Sampai saat itu tiba, perempuan itu akan bungkam. Ia tidak akan membuka mulutnya untuk siapapun.

***

Ian mendengar kabar kedatangan putra-putranya. Dengan gembira, pria itu berjalan menghampiri keempat anaknya. Tetapi, rona bahagia hilang dari wajahnya setelah melihat keadaan putra sulungnya.

"Edsel! Apa yang terjadi?" tanya Ian dengan penuh kekhawatiran.

Edsel dan ketiganya yang memang tidak terlalu dekat dengan Ian merasa canggung. Canggung dengan perhatian ayah mereka yang dirasa terlalu berlebihan.

"Ini ... hanya luka kecil, Ayah," jawab Edsel.

"Aduh! Kenapa bisa seperti itu?" tanya Ian lagi.

Kini pria itu melihat luka lebam Edsel dengan jelas. Bekas biru terlihat seperti pukulan. Sorot mata Ian menjadi tajam, pria itu lagi-lagi melebih-lebihkan luka lebam anaknya.

Entah mendapat jawaban dari mana. Ian berjalan menjauhi keempat putranya. Langkah sangat cepat, naasnya memburu seiring kaki menapak lantai. Hal itu membuat keempat kakak Seri bingung.

"Ayah ... kenapa ya?" tanya Alvin.

"Aku tidak tahu. Kadang ... aku merasa jika perhatian ayah terhadap kita sangat berlebihan sejak kita kecil. Seri bahkan tidak mendapatkan kasih sayang sedikitpun," balas Arvin.

Sementara itu, Ian terus melangkah dengan napas memburu. Wajahnya memerah, emosinya benar-benar akan meledak-ledak.

Saat pria itu hendak menaiki tangga, Herman muncul dengan tergopoh-gopoh. Napasnya tersengal-sengal, ditambah keringat membasahi tubuhnya yang buncit. Wajahnya menampilkan raut panik.

"Ada apa, Herman?" balas Ian dengan malas.

Ian tahu pria itu akan mengatakan hal sepele yang dianggap darurat. Herman yang aslinya cerdas tetapi berpura-pura bego, yang menganggap semua hal di dunia ini adalah sebuah kedaruratan.  Ian beranggapan jika hal ini terus terjadi, ia bisa saja mati di usia muda.

"Sekali lagi, ada apa, Herman? Jika bukan hal yang penting ... Aku pergi," sambung Ian.

"TUNGGU! Ini benar-benar penting!" teriak Herman.

"Ya, ya ... dan apa itu?" tanya Ian dengan raut muka tidak peduli.

"Itu! Harta keluarga Cakrawangsa ... sebagian menghilang! Gudang nyaris kosong!"

Tumbal Keluarga CakrawangsaWhere stories live. Discover now