27. THE FOUR BROTHERS

3K 219 0
                                    

Keempat bersaudara sudah membawa adik terkecil mereka ke kamar milik Edsel. Kamar si sulung yang tidak pernah di masuki kecuali saat di bersihkan. Selama Edsel kuliah, kamarnya berubah menjadi kamar tamu. Walau Edsel dan ketiga adiknya tahu, jikalau tidak akan ada orang yang nau menginap di rumah Cakrawangsa.

Edsel dan ketiga adiknya membawa Seri tanpa dilihat siapapun. Mereka berempat menyadari adanya keanehan pada si bungsu. Batu ruby dan buku bersampul kulit pohon, berhasil menarik perhatian keempatnya.

"Menurutmu, apa yang terjadi pada Seri?" tanya Edwin.

"Entahlah, Ed. Apa kau mau mencoba mendekati Seri dan mencari tahu apa yang terjadi padanya?" sambung Edsel.

Mereka sadar, tidak ada satupun dari mereka berempat yang dekat dengan Seri. Kuliah menjadi alasan terkuat untuk berpisah dengan adik bungsu. Yang sebenarnya terjadi adalah sebuah fakta yang menyedihkan,

Fakta tentang Seri yang akan ditumbalkan saat usianya 17 tahun, menjadi alasan paling utama. Mereka sengaja tidak membuat momen indah. Alasannya adalah jika Seri ditumbalkan, tidak ada guratan kesedihan yang mendalam di wajah mereka.

Namun, mereka tidak menyadari jika perbuatan itu membuat Seri merasa di abaikan. Walaupun anak terakhir Ian dan Miran itu memilih cuek untuk masalah ini. Perempuan itu sudah terlalu biasa sendiri.

"Kenapa ... batu ruby dan buku tua ini ... tidak bisa terlepas dari tangannya? Bukankah ini hal yang menyeramkan?" tanya Arvin.

"Aih, kalau kau tetap tinggal di sini ... maka kau bisa melihat segala hal yang menyeramkan," ujar Alvin.

"Benar juga ... keluarga Cakrawangsa, bukanlah keluarga yang biasa," sambung Edwin.

Kamar Edsel yang sedikit berdebu itu menjadi hening lagi. Tidak ada lagi yang bersuara, semuanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Sementara keempat laki-laki itu sibuk dengan pemikirannya, jari-jari Seri bergerak perlahan. Batu ruby di tangan kanannya berpendar-pendar. Sedetik kemudian mata Seri terbuka lebar dan di waktu yang bersamaan, dia bangkit dari posisi baringnya.

Mata perempuan itu terlihat memindai ruangan. Perempuan itu merasa asing dengan interior yang ada, ditambah terdapat bau debu yang masih enggan pergi dari ruangan.

Aku ... dimana? batin Seri.

Pemindaian ruangan telah sampai di bagian kanan. Seri terkejut saat melihat keempat kakak laki-lakinya. Tatapan bingung terlihat di wajah Seri dan keempat kakaknya.

"Kalian?"

"Hai?" sapa Arvin.

"Langsung saja ke intinya. Mengapa kau berada di dalam gudang tadi? Mengapa juga kau memegang batu ruby dan buku tua itu?" tanya Edsel.

Seri semakin bingung, ia berada diatas dilema. Dilema antara menceritakan atau tidak. Ada banyak pengaruh jika dia menceritakan kejadian yang menurutnya tidak masuk akal.

Pergi ke masa 2000, bertemu dengan Seto yang sampai saat ini identitasnya tidak jelas. Seri masih belum tahu siapa Seto sebenarnya, bagaimana pula laki-laki itu mengetahui perjanjian Cakrawangsa, seakan-akan ia pernah tinggal satu atap di rumah Cakrawangsa. Seri merasa bodoh, ingin rasanya kembali ke tahun 2000 untuk bertanya kepada Seto.

Kenapa saat itu ... aku tidak bertanya ya? Mengapa aku langsung percaya dengan kata-katanya? Bagaimana jika yang Seto katakan adalah kebohongan? Bodoh Seri! Bodoh! batin Seri.

"Woi!" teriak Edwin.

Seri kembali fokus dengan keempat kakaknya. Perempuan itu menghela napas panjang.

"Seperti yang kalian tahu, sebentar lagi tanggal ulang tahunku datang. Itu artinya, beberapa hari lagi ... aku akan ditumbalkan. Kemarin, aku mencari cara agar tidak ditumbalkan," ungkap Seri.

Mereka berempat terdiam. Kecerdasan yang dimiliki, sama sekali tidak bisa membantu. Mereka sama sekali tidak tahu tentang hal-hal seperti ini. Sumber mereka berempat hanyalah sang ayah, yang mengajari cara menjalankan perjanjian Cakrawangsa. Selebihnya, mereka tidak tahu.

"Aku ... mendapatkan petunjuk yang ... cukup membingungkan. Ada satu cara, hanya saja ... aku tidak yakin. Oh iya, Batu ini, juga buku ini. Aku mengambilnya di tahun 2000," lanjut Seri sembari mengangkat batu ruby dan buku sampul kulit pohon.

"Apa? Tahun 2000?" tanya Alvin.

"Tidak ada ilmu sains yang membuatmu kembali ke masa lalu dan kembali lagi ke masa depan! Kau pasti bercanda," sela Edsel.

Edsel adalah anak sulung sekaligus anak Ian yang paling mengedepankan ilmu pengetahuan. Segala sesuatu harus bisa dihubungkan dengan ilmu pengetahuan, sehingga terlihat logis untuk laki-laki itu. Tetapi, laki-laki itu tidak membuka matanya, Edsel tidak pernah tahu rasanya diganggu oleh mereka.

"Kau tak perlu sains ... jika hidup dengan keluarga Cakrawangsa!" teriak Seri.

Apa yang diteriakkan Seri adalah sebuah kebenaran. Hidup di keluarga Cakrawangsa sementara kakak-kakaknya kuliah di luar kota, bisa membuat siapapun gila.

Perlakuan keluarga yang tidak baik, dibedakan karena gender atau mungkin karena Seri satu-satunya perempuan berusia 17 tahun yang akan ditumbalkan, juga sosok-sosok yang meneror warga Cakrawangsa setiap saatnya. Kemunculan sosok-sosok yang meneror warga Cakrawangsa setiap saatnya, bukanlah hal yang bisa dijelaskan dengan sains.

"Oke! Kita anggap kau bisa ke tahun 2000. Lalu! Apa? Keluarga ini masih saja mengikuti sesepuh terdahulu. Masih saja menumbalkan anak-anak mereka ... untuk hal yang tidak jelas," ujar Edsel.

Seri tertawa mendengar ujaran kakak sulungnya. Air matanya sampai menetes akibat tertawa. Perempuan itu tidak peduli dengan pandangan aneh dari kakak-kakaknya.

"Apa kau lupa Kak Edsel? Kalian semua bisa kuliah di universitas yang bagus ... karena ritual gila ini! Ritual yang menghabisi nyawa para kaum hawa Cakrawangsa! Kalian bisa cerdas seperti itu, karena ritual ini, bodoh!" ungkap Seri.

Perempuan itu sudah menyimpulkan beberapa hal, walau masih belum terlalu yakin. Hal utamanya adalah perjanjian Cakrawangsa. Dari cerita singkat yang disampaikan Putu, Darapuspita, serta Seto, Seri dapat menangkap jika perjanjian Cakrawangsa berisikan permintaan.

Permintaan diberi harta berlimpah, serta kecerdasan yang tiada tandingannya. Hanya itu saja yang terpikir di benak Seri.

"Siapa yang kau maksud bodoh?" tanya Arvin.

"Ya kalian! Keluarga ini terkutuk! Sangking tidak pedulinya kalian .... Apakah, ayah tidak bercerita apapun?" tanya Seri balik.

"Cerita? Oh! Tentang perjanjian-perjanjian itu? Kami pikir ... itu hanya dongeng. Kami tidak menanggapinya dengan serius," jawab Alvin.

Rasanya Seri ingin memukul para kakaknya yang terlalu cerdas, yang harus membuktikan semua hal dengan sains dan hal ilmiah. Sebuah cerita serius dengan sedikit selubung perintah untuk suatu hari nanti, hanya dianggap dongeng belaka.

"Apa kalian tidak ingat jika kalian itu keluarga Cakrawangsa! Hal-hal seperti itu bisa saja nyata! Sialan! Aku yang akan ditumbalkan selanjutnya! Kalian harus tahu itu! Mungkin saja ... kalianlah yang akan melakukan proses penumbalan. Aku tahu kalian tidak menyayangiku, tapi ... setidaknya ... bantu aku untuk bertahan hidup ... aku mohon ...."

Tumbal Keluarga Cakrawangsaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن