12. THE WISH

3.5K 225 0
                                    

"Malam Jumat Kliwon, mas. Orang Jawa bilang malam Jumat Kliwon itu ... waktu dimana para makhluk astral keluar dan dapat bersinggungan dengan alam manusia. Anak kita akan baik-baik saja kan?"-Miran memainkan jari-jarinya-"aku mengatakan ini ... karena keluargamu adalah Cakrawangsa."

Miran yang tadinya memandang jari-jarinya, kini beralih pada Ian. Penyebab ia mengalihkan pandangannya adalah tidak ada jawaban dari sang suami. Miran sedikit terkejut melihat sorot mata suaminya yang syok dan kosong.

"Mas, kamu kenapa?"

Tidak ada jawaban. Miran hendak meraih suami, tetapi ia teringat baru beberapa menit yang lalu keluar dari ruang operasi. Miran memilih untuk tetap diam, sembari memandang sang suami dengan was-was. Jantung seakan berhenti saat melihat mata suaminya yang merah itu menjadi terang benderang.

Ian mendekati istrinya dan memukul brankar dengan keras. Membuat Miran terlonjak mendengarnya. Wanita itu menatap suaminya dengan bingung dan takut.

"Kenapa?" tanya Ian.

"K-kenapa apanya?" tanya Miran balik.

Satu pukulan kembali mendarat di brankar Miran. Napas Ian memburu, emosinya tidak seperti biasanya. Bukan ini Ian yang kurang kenal.

"M-mas?"

"Anak kita lahir di malam Jumat Kliwon! Apa kau tahu artinya?" teriak Ian.

Miran terdiam. Perempuan itu membatin, apakah ... dugaanku terhadap malam Jumat Kliwon adalah benar? Anakku akan diganggu hal-hal mistis?

Ian mengacak-acak rambutnya dengan kasar. Hembusan napas berat, panjang dan penuh amarah keluar dari alat penciuman pria itu. Mata Ian kembali memaksa untuk menemui mata Miran.

"Karena pada akhirnya kau akan tahu ... akan aku ceritakan. Hal yang sudah terjadi pada seorang anak Cakrawangsa ... yang lahir di malam Jumat Kliwon," ujar Ian.

Punggung Miran menegang. Wanita itu, akan tahu hal yang tidak pernah diceritakan oleh suaminya. Miran menebak jika hal yang tidak diceritakan, adalah hal yang sangat penting dan membahayakan keluarga Cakrawangsa.

"Anak Cakrawangsa yang lahir di malam Jumat Kliwon ... tidak akan bisa ditumbalkan ... sampai usianya 17 tahun. Di ulang tahunnya yang ke-17 ... Anak perempuan itu baru akan ditumbalkan," ungkap Ian.

Miran tidak menyangka. Tangannya sampai menutupi mulutnya selama beberapa detik. Itu artinya ia masih punya waktu 17 tahun untuk merawat putrinya, mungkin menyelamatkannya juga.

Mata hitam Miran menatap suaminya. Mata hitam dan merah bertemu, untuk sejenak mata Miran menjadi pegal menatap mata Ian.

"Mas? Ini betulan?"

"Itu betulan dan aku benci itu. Aku masih tidak bisa menumbalkan seorang putri, sebagai kepala keluarga Cakrawangsa ... tumbal dariku itu penting, Miran."

Miran menunduk, air matanya mengalir. Walau wanita itu sudah tahu akhir dari hidup putrinya, Miran masih belum terima dengan sikap Ian yang terang-terangan mengatakan akan menumbalkan putri mereka.

Tidak puas dengan reaksi Miran, pria yang menjadi ayah lima anak itu mengangkat dagu istrinya. Ia dapat melihat tangis dan ketakutan dari Miran. Ian tidak peduli dengan itu. Pria itu malah mengucapkan hal yang membuat Miran ingin menangis dengan keras.

"Kita akan menghasilkan anak lagi. Kali ini, perempuan dan tidak lahir di Jumat Kliwon," tekan Ian.

"Orang gila! Aku baru saja melahirkan ... dan kau ingin menghamiliku lagi hanya untuk menumbalkan seorang putri?" kata Miran.

Tangis wanita itu semakin deras. Miran tidak pernah membayangkan hidup bersama Ian akan se-menderita ini. Padahal dari awal pernikahan, wanita itu tidak pernah mengharapkan apapun dari pernikahan mereka.

Namun, ia juga seorang wanita. Wanita mana yang tidak akan sakit hati melihat suaminya menjadi sosok yang mengerikan di dalam hidup.

"Aku tidak peduli!" teriak Ian.

Frekuensinya tinggi. Suara pria itu menggema di ruang rawat inap VVIP yang kedap suara itu. Setelah berteriak seperti itu, Ian keluar dari ruangan. Meninggalkan istrinya yang sedih, takut dan sakit hati.

Ditengah isak tangisnya itu, suara dari malaikat kecil nan cantik menghibur hati Miran. Wanita itu dengan susah payah bangkit dan mendekati putrinya. Tangannya mengusap pipi merona bayinya.

"Maafkan ibu dan ayahmu ya, nak. Keributan tadi pasti menganggumu. Maafkan, maafkan ibu ...."

Tubuh Miran bergetar. Air matanya mengalir hingga menetes dan berhenti di jari telunjuknya. Tanpa diduga, bayi di dalam keranjang bayi menjilat dan menyedot jari Miran.

Miran tertawa, ia mengusap air matanya. Kini, ia tersenyum tipis.

"Terima kasih, sudah menghibur ibu ... Ibu akan berusaha dengan keras, untuk melindungimu dari penumbalan bodoh gila ini."

Miran kembali tersenyum. Putrinya tertidur dengan pulas. Wanita itu terkejut saat melihat mata putrinya terbuka, mata putrinya merah. Semerah mata suaminya.

"Kamu ... punya warna mata yang sama dengan ayahmu ... apa yang terjadi?"

Miran hendak mengambil sang bayi. Tetapi, tiba-tiba lampu di ruang rawat inapnya mati. Dengan gerakan reflek, Miran menimang sang bayi. Ada yang tidak beres di ruangan itu.

Miran melangkah perlahan, menjauh dari keranjang bayi. Untungnya, putrinya tetap diam di pelukannya. Wanita itu menjadi merinding. Bukan sekali dua kali ia merasakan perasaan ini.

Tubuh Miran menggigil. Suhu di ruangan itu turun drastis. Bau anyir datang entah darimana. Miran mencoba menutup hidungnya sebisa mungkin. Putrinya masih anteng, tidak sekalipun menangis dan terlihat ketakutan.

Mata bayi itu malah menjadi merah menyala. Miran tidak menyadari hal itu, wanita itu sibuk mencari jalan keluar dari ruang rawat inapnya.

"ARGHHHHHHH."

"Siapa itu?" ujar Miran dengan takut-takut.

Entah datang darimana, sosok hitam yang pernah mencekik Miran kembali datang. Tangan sosok itu menarik kaki Miran hingga jatuh tersungkur. Untungnya, bayi yang ada di pelukan wanita itu baik-baik saja.

Miran mencoba bangkit. Wanita itu berharap bisa melindungi sang putri dari sosok itu. Wanita memang tidak pernah ikut dalam proses penumbalan. Tetapi, Miran memiliki firasat jika sosok yang mendatanginya adalah makhluk yang mengambil tumbal-tumbal Cakrawangsa.

Sosok itu, tidak memberikan Miran kesempatan. Kesempatan untuk melindungi putrinya dari sosok dengan wujud manusia busuk dan darah dimana-mana. Hal itu dibuktikan dengan terjatuhnya sang bayi dari pelukan Miran. Begitu terjatuh, bukannya menangis, bayi itu malah tertidur.

De Javu. Leher Miran dicekik lagi. Anehnya, sosok itu tidak memperdulikan bayi bermata merah di dekatnya. Padahal Miran pikir, sosok itu akan mengambil anaknya. Tetapi, ia salah.

Jika sosok ini menginginkan diriku, maka aku tidak apa-apa. Yang penting ... putriku baik-baik saja. Aku harap ... Ian merawatnya dengan baik hingga usia 17 tahun, batin Miran.

Jahitan operasi terlepas. Kebocoran yang tidak terduga terjadi. Darah merah kehitaman keluar dari rongga perut Miran. Tubuh wanita itu semakin melemah, wajahnya benar-benar pucat. Cengkraman sosok itu di lehernya belum juga berakhir. Tanpa sengaja, darah Miran mengenai sang bayi.

Muncul tulisan di bawah sang bayi. Tulisan itu adalah Serinaraya Cakrawangsa.

Tumbal Keluarga CakrawangsaWhere stories live. Discover now