23. THE FACT WAY (4)

2.9K 223 0
                                    

Ian melangkah menuju gudang dengan langkahnya yang lebar-lebar. Pria itu harus memberikan pelajaran yang berharga untuk putrinya yang sudah berani menginjakkan kaki di rumah bagian barat. Pelajaran yang akan diberikan mungkin akan lebih berharga lagi, sebab Seri memasuki ruang harta yang hanya diketahui para pria di keluarga Cakrawangsa.

Herman hanya mengantar Ian sampai di depan pintu ruang kerja. Ia tidak tertarik dengan anak Ian yang masuk gudang harta tanpa ijin. Pria itu hanya sekedar tidak suka dengan Seri, selebihnya ia akan terima jadi. Herman hanya ingin menerima hasil yang nantinya akan ia percayai.

Tanpa sadar, Ian sudah berjalan hingga ujung lorong. Napasnya memburu, wajahnya memerah akibat emosi. Emosinya bisa meledak kapan saja, untuk itu Ian melangkah lebih cepat. Ditengah langkahnya, pria itu mendapatkan hambatan. Seseorang yang tidak tahu apapun saat ini, menjadi penghambat dengan bertanya.

"Loh mas? kopinya gimana?" tanya Miran.

Istri Ian itu baru saja selesai membuat kopi, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengantar kopi kepada Ian. Sekali lagi, ini rumah Cakrawangsa yang besarnya tidak normal.

Ian berhenti. Pria itu menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menahan emosinya. Apalagi dengan sang istri yang hanya bisa melahirkan satu anak perempuan.

Kalau dibicarakan, Ian merupakan pria yang mencintai satu wanita. Hanya saja ada beberapa faktor yang membuat kepala keluarga Cakrawangsa menjadi cuek. Salah satu alasannya adalah Miran yang hanya melahirkan satu orang putri.

Semenjak kelahiran Seri, Ian menjadi pribadi yang lebih cuek dan tidak peduli dengan anak-anaknya. Kecuali saat usia anaknya hampir sweet seventeen. Ia mulai membekali putra-putranya yang cerdas dengan isi, cara dan apa itu perjanjian Cakrawangsa.

"Pergi ke gedung barat. Letakkan saja kopinya di ruang kerjaku atau ... kau mau melihat apa yang telah dilakukan putri kita?" kata Ian.

Mendengar kata putri, membuat fokus Miran yang sempat melayang 50%nya, kembali lagi. Wanita itu berkata akan mengikuti suaminya ke gedung barat, setelah ia meletakkan kopi di meja kerja suaminya. Bulir-bulir keringat membasahinya, berlari dari ujung lorong ke ujung lainnya dan bolak-balik membuat Miran kewalahan. Tapi, demi putrinya ia rela-rela saja.

Miran memang tidak pernah menunjukkan rasa sayangnya kepada Seri, tetapi tidak menutup kemungkinan jikalau wanita itu hanya menahan diri. Miran lebih sering diam dan ikut cuek saat putrinya muncul di hadapannya.

"Aku ikut," ujar Miran dengan mantap.

"Baiklah."

Setelah Ian mengatakan itu, mereka berdua berlari menuju bagian barat dari rumah Cakrawangsa. Rumah yang besar membuat perjalanan mereka berdua cukup lama. Miran berulangkali mengeluh mengenai betapa besarnya rumah Cakrawangsa.

"Aih! Ke ... Kenapa rumah ini sangatlah besar!" keluh Miran lagi.

"Berhenti mengeluh. Kau sudah mengeluh sebanyak 20 kali," ungkap Ian.

"Iyakah?" tanya Miran.

Ian tidak menjawab, pria itu memilih untuk tetap lanjut. Fisiknya masih prima. Bolak-balik dari ruang kerja dan rumah bagian barat, masih biasa untuk Ian. Berbeda dengan Miran yang sudah ngos-ngosan, level mereka benar-benar berbeda.

Tanpa berlama-lama lagi, mereka tiba di rumah bagian barat. Miran meraup oksigen dalam jumlah banyak karena lelah berjalan. Ian tidak memiliki sifat peka, padahal wanita itu berharap agar suaminya menggendong dan membawanya ke rumah bagian barat.

Namun hasilnya, zonk. Miran sama sekali tidak bisa mengharapkan apapun dari suaminya.

"Sebenarnya apa yang Seri lakukan di bagian barat? Ada apa dengan bagian barat sampai-sampai kamu yang turun tangan, Mas?"

"Dia memasuki ruangan yang aku buat ... hanya bisa dimasuki oleh petinggi keluarga Cakrawangsa dan deretan pria keluarga Cakrawangsa yang sudah pernah menumbalkan putri-putrinya," balas Ian.

"Ruangan itu adalah ruang?" tanya Miran lagi.

Ian menghela napas. Ia tahu cepat atau lambat, istrinya dan para orang yang tinggal di rumah Cakrawangsa akan segera menyadari keanehan gedung barat.

"Ruang penyimpanan harta," balas Ian.

"Penyimpanan h-harta?"

Ian juga memutuskan untuk menjelaskan seluruh seluk-beluk rumah Cakrawangsa bagian barat. Dimulai menyebarkan rumor buruk tentang bagian barat Cakrawangsa. Pintu masuk dan lorong yang tidak diberi lampu dan di biarkan kotor, dengan alasan agar tidak ada yang pernah berani datang ke rumah bagian barat.

"Lalu penyimpanan harta atau ... gudang. Seperti namanya, kita gunakan untuk menyimpan harta. Sekaligus tempat dimana kita melakukan upacara penumbalan," ungkap Ian.

"Lantas? Dimana Seri? Mengapa sepanjang kita berputar-putar, bahkan masuk ke dalam gudang harta yang memiliki pintu besar serta isi yang membuat air liur menetes ... kita masih belum bertemu dengan Seri," ujar Miran.

Ian terdiam, dia sendiri bingung. Pusat dari tempat ini, tepat di tengahnya tidak ada tanda-tanda Seri. Pusat yang biasanya akan muncul simbol-simbol jika akan ada proses penumbalan.

Tidak mendapat jawaban dari Ian. Miran mencari sendiri, berulangkali wanita itu meneriakkan nama putrinya. Tetapi, tidak ada jawaban. Hanya ada suasana hening di dalam ruangan serba putih itu.

"Sepertinya ... ada yang membawa Seri," celetuk Ian.

"Heh! Siapa yang bawa memangnya? Dinding yang menjadi pagar Cakrawangsa itu tinggi! Bagaimana mungkin ada orang yang membawa Seri?" tanya Miran.

"Kau ... tidak ingat jika keluarga Cakrawangsa ... bukan keluarga yang biasa?"

Miran tersadar. Perempuan itu terduduk, tangannya bergetar. Air matanya mengalir dan jatuh diatas lantai.

***

"Tempat apa ini sebenarnya?" ujar Seri.

Seri berjalan mendekati simbol-simbol yang menyala dengan indah. Tulisan-tulisan aksara Jawa, juga beberapa tulisan yang tidak Seri kenali, melingkar dan berputar dengan pelan.

Tangan Seri meraba-raba dinding yang memiliki ukiran simbol tersebut. Tetapi, saat tangannya bersentuhan dengan simbol yang menyala merah, ada sesuatu yang menyetrum. Tangannya mendadak menjadi panas.

Reflek, Seri mengusap pelan telapak tangannya. Tanpa sadar, batu ruby yang tadinya duduk nyaman di telapak tangan kanannya terjatuh. Untuk sejenak, tidak terjadi apa-apa. Perempuan itu bahkan berusaha untuk kembali menggenggam batu ruby itu.

Namun, saat batu ruby tergenggam. Nyala merahnya semakin terang, bahkan putaran simbol-simbol yang ada menjadi semakin cepat. Seri yang panik ingin batu ruby kembali terjatuh.

"Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa batu ruby ini tidak bisa terlepas dari genggamanku? Juga ... kenapa rasanya detak jantungku semakin cepat? Tubuhku ... juga gemetar!"

Rasa panas menjalar dari batu ruby, merembet pada tubuh Seri yang sedari tadi bergetar hebat. Perempuan itu kembali panik, ia rasa ada sosok yang sengaja menjebaknya untuk masuk ke ruangan dalam pilar dan menemukan batu ruby.

Mungkin juga, sosok itulah yang membawa Seri ke tempat yang kini menyala merah. Perempuan itu hanya bisa pasrah tanpa mengetahui hal apa yang bisa dilakukannya. Kini, tubuhnya ambruk dalam kondisi sadar. Batu ruby masih nyaman di genggamannya.

"Selamatkan aku."

Tumbal Keluarga CakrawangsaWhere stories live. Discover now