44. THE 7PM PAST 40 MINUTES

2.9K 212 6
                                    

Seri keluar dari Archipelago High School dengan langkah gontai. Jantungnya berdegup tidak beraturan. Perempuan itu gugup dengan apa yang akan ia lakukan setelah tiba di rumah Cakrawangsa.

Batu ruby yang ia bawa terasa semakin berat setiap saatnya. Entah memang memberat atau hanya Seri yang merasa ada beban berat di pundaknya.

"Ah ... kenapa aku terus-terusan mengeluh. Aku sendiri yang menceburkan diri, tidak ada jalan untuk keluar sekarang. Semuanya ... harus diselesaikan," ujar Seri.

Pemikiran Seri itu bertahan sampai ia tiba di rumah Cakrawangsa. Malam yang dingin membuat perempuan itu meremas rompi sekolahnya. Untuk sejenak, Seri berhenti melangkah dan menarik napas panjang.

Dengan mantap, Seri membuka pintu utama rumah Cakrawangsa. Suasana di rumah ini sangatlah sepi, tidak ada seorangpun disini. Seri hanya melihat beberapa sosok menyeramkan yang berlalu lalang tanpa mempedulikan kehadirannya.

Pasti semua orang sedang menjemput bayi-bayi Cakrawangsa yang akan lahir, batin Seri.

Melihat kesunyian di rumah ini, Seri berlari menuju ruang kerja ayahnya. Inilah kesempatannya untuk menghancurkan lingkaran penumbalan. Dengan langkah yang lebar, perempuan itu berlari sekuat tenaga.

Lobby rumah Cakrawangsa sangat jauh dengan ruang kerja Ian Cakrawangsa. Seri harus bermandikan peluh untuk tiba di sana dengan cepat. Kalau bisa, Seri ingin melempar tas sekolahnya agar langkahnya menjadi ringan, tetapi mengingat baru ruby ada didalam tas, Seri mengurungkan niatnya.

Perempuan itu tidak memiliki cukup waktu untuk mengeluarkan batu ruby dan melempar tasnya. Setiap detik, untuk saat ini, sangatlah berharga. Butuh waktu 15 menit untuk sampai di depan pintu ruang kerja Ian.

Dengan napas yang tersengal-sengal, Seri mendorong pintu ruang kerja ayahnya itu. Tanpa berlama-lama, perempuan itu membuka lantai yang pernah ia masuki.

Dibawah sana, keadaannya masih sama seperti saat pertama kali Seri kemari. Perempuan itu mengeluarkan batu ruby dan mengamati ruangan itu.

"Tunggu, mengapa lingkaran penumbalan memudar? Bukankah seharusnya berwarna merah? Juga ... ruangan ini hawanya tidak seperti aku datang pertama kali," ujar Seri.

"Karena memang penumbalannya tidak dilakukan disini," ujar seseorang yang pada saat yang sama menepuk bahu Seri.

Jantung Seri seakan-akan berhenti berdetak. Ketahuan oleh seseorang di rumah Cakrawangsa adalah masalah yang besar. Orang tersebut bisa saja melaporkan kedatangan Seri ke ruangan penumbalan, kepada Ian Cakrawangsa. Balasannya, pasti Seri dijadikan tumbal saat itu juga.

Sudah terlanjur menceburkan diri ... baiklah, jalan satu-satunya adalah mendebat orang ini, batin Seri.

Seri membalikkan tubuhnya, mata perempuan itu menatap seseorang yang menepuk bahunya. Betapa terkejutnya ia saat melihat Reason Cakrawangsa. Wajah pria banyak anak itu sangat dingin dan mengintimidasi.

"Sekarang, aku akan mengajukan pertanyaan untukmu Serinaraya Cakrawangsa. Apa yang kau lakukan di ruangan ini? Di ruangan yang tersembunyi, bahkan sulit untuk ditemukan?" tanya Reason.

Seri terdiam, ia bagaikan berdiri diatas tali tipis yang berada di ketinggian mencapai atmosfer. Jik bicara tali ini akan putus, bungkam tali ini akan putus, salah bicara tali ini akan putus.

"Ah, ku tidak peduli lagi. Lagipula aku akan mati. Aku kemari untuk mengacaukan lingkaran penumbalan, agar penumbalan besar-besaran tidak dilakukan besok, dengan begitu aku bisa membawa kabur bayi-bayi yang akan di tumbalkan," ungkap Seri.

"Itu ... tidak akan ada gunanya kau melakukan semua itu. Ian telah mempersiapkan semuanya, dia akan membuat setiap orang tua terjaga semalaman demi keamanan bayi. Baru saja dikatakan olehnya," balas Reason.

Seri tidak memikirkan hal itu. Ian bisa saja meminta setiap orang tua mengawasi anak-anak mereka. Juga, mengapa Seri tidak pernah terpikirkan jikalau tempat penumbalan akan berbeda.

Aku baru satu kali melihat mereka menumbalkan bayi di sini. Mengapa aku langsung menyimpulkan jika tempat ini adalah ruangan penumbalan? batin Seri.

Reason yang melihat keterdiaman Seri jadi tersenyum tipis. Tetapi, senyum itu menghilang saya melihat batu ruby di tangan kanan anak bungsu Ian. Pria itu teringat dengan sebuah cerita.

Cerita tentang batu ruby yang dapat menghancurkan perjanjian Cakrawangsa. Batu ruby yang memilih orang untuk menggunakannya dengan sendirinya.

"Kalaupun kau tahu dimana tempat penumbalan yang sebenarnya ... kau akan menghancurkan dengan cara apa?" tanya Reason.

Seri masih diam tidak bergerak. Dengan gerak pelan, batu ruby yang ada ditangannya, ia sembunyikan di belakang tubuhnya. Wajahnya menampilkan raut waspada.

"Apa yang anda pedulikan? Anda juga ikut-ikutan menumbalkan anak Cakrawangsa," balas Seri.

"Hah ... kau tahu jikalau Ian ... menjadi aneh akhir-akhir ini?"

"Apa maksud anda?" tanya Seri.

"Ya ... kau tidak perlu tahu. Untuk sekarang, aku akan berada di pihakmu. Ruangan yang digunakan untuk penumbalan adalah ... gudang harta. Semuanya sudah dipersiapkan. Terserah kau mau mendengarkan perkataanku atau tidak. Yang jelas, aku sudah memberikan fakta yang cukup jelas," ujar Reason.

Reason berlalu dari sana. Meninggalkan Seri yang masih enggan bergerak. Perempuan itu memandangi batu ruby di genggamannya. Ia juga melirik Reason yang sedang menaiki tangga.

Haruskah aku mempercayainya? batin Seri.

Perempuan itu menghela napas. Seri sudah terlalu lelah dan pikirannya sudah buntu. Dengan cepatnya, ia mempercayai perkataan Reason Cakrawangsa, tanpa pikir panjang.

Kepercayaannya kepada Reason sangat besar. Entah datang dari mana rasa percaya itu. Seri tidak pernah mempercayai keluarga Cakrawangsa sebesar ini. Perempuan itu hanya berharap, Reason tidak menipunya.

Pada akhirnya, disinilah Seri sekarang. Di depan gudang harta. Gudang yang pernah ia masuki dan berakhir bertemu dengan Seto. Gudang yang letaknya sangat jauh dari ruang kerja Ian.

Sekarang pukul 19.40 malam, 20 menit lagi para pria Cakrawangsa pulang. Ini perkiraan Seri, sehingga perempuan itu bergerak dengan cepat. Cukup ketahuan oleh Reason, jangan sampai ayahnya tahu.

Dengan tenaga yang lemah, Seri mendorong pintu gudang dengan susah payah. Pukul 19.47, pintu gudang baru terbuka setengahnya. Perempuan itu menerobos masuk kedalam.

Terpampang dengan jelas, ruangan merah penuh darah dengan simbol-simbol penumbalan di mana-mana. Sepatu Seri yang tadinya berwarna putih, kini berubah menjadi merah darah.

Tangan kanan Seri menggenggam batu ruby. Perempuan itu masuk ke dalam sembari menahan diri agar tidak memuntahkan makan siangnya. Bau amis dari darah cukup untuk membuat Seri gelagapan dan tidak berdaya.

"Hah! A-aku harus menemukan lingkaran utama, lingkaran penumbalan yang menjadi pusat dari semuanya. Tapi ... yang mana?" ujar Seri.

Sekarang pukul 19.59 malam, perempuan itu nampak panik ketika jam tangannya menunjukkan angka tersebut. Seri berlari kakang kabut, darah yang amis terpercik kemana-mana. Mengenai seragam sekolah, bahkan wajah perempuan itu.

Waktu menunjukkan angka 20.01 malam, Seri masih berada di dalam gudang. Tidak satupun lingkaran penumbalan terlihat. Warna dari lingkaran tersebut, sama dengan darah yang menggenangi ruangan itu.

"Sial!"

Tumbal Keluarga CakrawangsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang