Istri Tersembunyi Pak Dosen

Bab 8. Kepergian Kakek

"Kakek..!! Kakek jangan tinggalkan Riana..!! Riana harus bagaimana tanpa kakek..!!"

Aku menangis histeris tak terima dengan kepergiannya, hingga ku goyang-goyangkan tubuhnya. Pak Vand suamiku menarik tangan ku terlepas dari membangunkan kakek, ia menarikku kearahnya lalu ia dekap erat-erat, tak membiarkan ku melepaskan diri.

"Kakek sudah tenang, dia tidak akan merasakan sakit lagi" bujuknya tak melonggarkan pelukan. Aku yang masih belum bisa menerima hanya bisa menangis berusaha ikhlas.

Setelah suara ijab qobul menggema di dalam ruangan kini berganti tangis.

Saat itu juga jenazah kakek di bawa pulang ke rumah untuk segera di makamkan. Semua orang yang mendengar kabar kematian beliau datang melayat.

Seperti keluarga pada umumnya, pak Vand membantu pemakaman kakek seperti ia melakukannya untuk kakeknya sendiri. Aku bersama tanteku mengurus segala keperluan lainnya.

Di tengah berduka kehilangan, Berno pria tua bangka itu beserta beberapa antek-anteknya datang melayat.

"Saya turut berdukacita buk" ujarnya dengan nada sedih di buat-buat, dan hanya di tanggapi datar oleh nenek.

"Riana" panggilnya membuat darahku seakan mendidih, karena dia kakek ku tidak ada lagi dia sini. Ia menghampiriku menghalangi langkahku, tanteku dan beberapa anggota keluarga lainnya segera menjauhkan aku darinya.

"Pak Berno! Jaga sikap anda! Kami sedang berkabung!" bentak tanteku tak membiarkan orang tua itu mendekati ku.

"Saya hanya khawatir pada Riana"

Terjadi adu argumen di dalam rumah karena kehadirannya, salah satu anggota keluargaku segera keluar memanggil Pak Vand.

"JANGAN SENTUH SAYA!!" pekik ku padanya yang terus ingin menyentuh ku. Ku lihat di ambang pintu pak Vand berdiri menatap pak Berno berang, ia mengambil langkah lebar berdiri di hadapanku menahan tangan pak Berno yang kembali ingin menggapai ku.

"Jaga sikap anda! Kami sedang berkabung!" tegur pak Vand seraya menghempaskan tangan keriput pak Berno.

"Saya hanya khawatir pada Riana! Saya hanya ingin menenangkannya!" paparnya memuakkan.

"Tidak perlu! Itu bukan tanggung jawab anda!" sergah pak Vand lantang.

"Riana itu calon..

"RIANA ISTRI SAYA!!"

Ucapan pak Vand membuat pak Berno juga pelayat yang datang terheran-heran.

"Saya tidak percaya! Kamu pasti sudah membayar mereka semua yang mengangguk kan!!?" tepis pak Berno menolak mengakui.

"Mereka memang benar-benar sudah menikah!" sela keluarga ku yang lain, yang datang sebagai saksi. "Iya, mereka sudah menikah di hadapan kakek Gun sebelum kakek Gun meninggal, dan pernikahan itu sah secara agama, dan akan di daftarkan ke pengadilan segera!" imbuh yang lain menimpali.

"Saya tidak percaya!"

Lagi Pak Berno menolak mengakui, ia bahkan bersikap kurang ajar dengan menarik kerah baju pak Vand.

"LEPASKAN TANGAN ANDA DARI SUAMI SAYA!!" titahku lantang menarik tangannya yang mencengkram kerah baju pak Vand suamiku. "SAYA SUDAH MENIKAH!! SAYA BAHAGIA MENIKAH DENGAN PAK VAND!! TOLONG JANGAN GANGGU SAYA LAGI!!" tambah ku kian lantang, mungkin suaraku terdengar hingga keluar.

"Saya bisa memberikan apapun yang kamu inginkan Riana" bujuk nya.

"SEPULUH ORANG SEPERTI ANDA TIDAK AKAN BISA MENGGANTIKAN SUAMI SAYA!!"

Tanteku mengontak-atik ponselnya, memperlihatkan foto-foto dan video yang sempat ia ambil saat aku dan pak Vand melangsungkan pernikahan di hadapan kakek, dan pak Berno akhirnya percaya.

"Lihat, saya dan Riana resmi menjadi suami istri, jika anda masih mendekati istri saya, saya tidak akan segan-segan melaporkan anda ke polisi!" ancam Pak Vand dengan penekanan yang tak di buat-buat, bisa ku lihat ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya, begitupun dengan kemarahan di wajahnya bukan sekadar akting supaya lebih meyakinkan.

Pak Berno dan antek-anteknya pun pergi tanpa pamit.

"Kalian benar sudah menikah?" tanya beberapa pelayat seakan masih sulit mempercayai pernikahan kami.

"Iya buk, saya telah menikah dengan pak Vand"

"Mohon bantuannya agar segera mempersiapkan untuk pemakaman kakek Gun" ujar pak Vand kembali melakukan kewajibannya sebagai seorang menantu di keluargaku.

Sesekali ku lihat beliau yang menyiapkan pemakaman untuk kakek, aku kagum dengannya yang menganggap kakek ku seperti kakeknya sendiri, bahkan ia yang mengurus segala keperluan untuk pemakaman kakek, bergerak seperti anak laki-laki di keluarga ku.

"Rin, kita balik yah" pamit Bela dan Ema.

"Iya, makasih yah"

"Iya, jaga kesehatan jangan terlalu capek, kamu harus ingat kamu ini kan pengantin baru" celoteh Bela membuatku tersenyum. "Ia kasian pak Vand baru sebentar kamu udah lemas" sambung Ema membuatku bertambah tersenyum.

Setelah mereka pergi hanya tinggal beberapa keluarga terdekat saja. Aku naik keatas kamar ku membersihkan diri setelah seharian berpeluh-peluh mengurus peristirahatan terakhir kakek, lalu kembali turun ke lantai bawah.

"Tante, lihat pak Vand?"

Aku ingin ia juga membersihkan dirinya supaya merasa lebih segar.

"Di ruang tengah baru selesai mandi, siapkan tempat tidur untuk suamimu dia pasti capek sekali"

"Iya tante"

Ku hampiri pak Vand suamiku tengah duduk seorang diri di ruang tengah dengan menyandarkan tubuhnya dengan mata terpejam. Aku mengerti ini pasti sulit untuknya, begitupun denganku.