Istri Tersembunyi Pak Dosen

Bab 16. Maafkan Saya Yah

Padahal aku sudah berusaha secepat mungkin untuk mengikuti kelas beliau, tapi sikap suamiku yang tegas membuatku tak dapat melakukan apa-apa selain menurut.

Tapi aku tak putus asa, aku tak langsung pulang, melainkan aku ke perpustakaan mengisi jamku yang terbuang.

"Kamu tidak belajar?" tanya pengurus perpustakaan.

"Saya di hukum buk"

"Di hukum kenapa?"

"Saya telat masuk ke kelas"

"Kelas siapa?"

"Pak Vand"

"Ooh.. Beliau itu memang sangat ketat dan tegas serta disiplin orangnya, telat semenit saja bagi beliau sama dengan telat sejam, kamu yang sabar yah"

"Iya buk"

"Terus kenapa kamu di sini?"

"Saya masih ada kelas buk, dari pada saya mengisi kepala dengan bersedih, lebih baik saya isi dengan belajar"

"Betul itu, ibu suka dengan pikiran positifmu"

Di perpustakaan itu aku kembali mendapat kenalan baru. Aku stay di perpustakaan hingga jam berikutnya.

"Riana..!" panggil Mini dan Rika menghampiriku sesaat aku keluar dari perpustakaan. "Kamu kemana sih kok bisa telat?" tanya Mini.

"Tadi pulang dulu ke rumah pungut jemuran"

"Ooh.."

Setelah mengikuti kelas ke tiga aku pulang seorang diri tak menunggu pak Vand atau pun menghubunginya,. Bukan karena kesal perihal tadi aku di keluarkan dari kelas beliau, tapi aku tak mau mengganggunya yang sedang mengajar.

Aku pulang tak menggunakan kendaraan, tapi aku berjalan kaki sembari menikmati melihat-lihat apa yang ku lalui, dan aku tak risau memikirkan jemuranku karena telah ku angkat. Hingga tak terasa aku berada di luar hingga sore hari.

Meeooww...

Aku mengerjap mendengar suara kucing yang terdengar lirih, ku ikuti dari mana asal suara itu. Dan aku mendapati seekor kucing sedang bermain-main dengan sebuah ranting kayu. Ku dekati kucing itu dan mengajaknya bermain. Melihat keadaannya yang kurus dan tampak kotor tak terawat, aku berinisiatif membawanya pulang.

"Tapi kalau ku bawa pulang pak Vand marah tidak yah? Tapi kasihan juga jika di tinggal sendiri" gumam bergulat dengan perasaan sendiri.

Ku putuskan membawa pulang saja, akan ku katakan nanti pada beliau jika aku bisa merawatnya dengan baik. Lalu tiba-tiba hujan kembali turun dengan derasnya di tengah aku menuju jalan pulang, terpaksa aku berteduh sembari menunggu hujan redah.

Hingga tak terasa hari makin gelap berganti malam, aku mulai risau pak Vand akan mencari ku,. Ku buka tasku mencari ponselku hendak menghubunginya.

Tapi ternyata ponsel ku tak ada di dalam ransel, setelah ku ingat ternyata tertinggal di sofa ruang tamu.

Aku bertambah risau bagaimana mungkin aku bisa pulang di saat hujan masih turun dengan lebatnya, tapi jika aku tak segera pulang pak Vand mungkin akan khawatir.

Ku putuskan pulang saja menerobos hujan setelah ku bungkus ranselku dengan kantong kresek yang ku temukan, di mana di dalam tas kumasukkan seekor kucing yang ku temukan dan menggendong ransel ku di depan.

"Kucing yang tenang yah, kita akan pulang ke rumah" kataku pada kucing itu, kemudian aku berlari meninggalkan tempatku berteduh menuju kediaman pak Vand.

Aku berlari sekitar 15 menit. Tiba di depan kediaman pribadi pak Vand, ku buka pintu gerbang dan masuk lalu kembali menutup pintu.

"Hah!"

Aku terkejut mendapati beliau berdiri di teras menatapku datar dengan bersedekap dada. Ku tundukkan pandangan menghampirinya.

"Kamu dari mana Riana?" tanyanya dengan nada sedikit tinggi membuatku melonjak terkejut.

"Saya..

"Kenapa ponsel mu tidak kamu bawa!? Kenapa kamu tidak ada saat saya pulang!? Kenapa tidak mengatakan kamu kemana Riana!"

Rentetan pertanyaannya disertai intonasi tegas juga ekspresi datar di wajahnya membuatku bertambah takut, hingga aku tak berani bergerak di tempat ku di bawah guyuran hujan lebat.

"Kamu dari mana Riana!?" lagi tanyanya ketus meninggalkan teras turun menghampiriku. Ku bawa beliau kembali ke teras supaya tak kehujanan, cukup hanya aku yang kehujanan.

"Pak Vand nanti sakit" ucapku tak ingin ia kenapa-kenapa, beliau justru menatapku sendu hingga dahinya mengkerut.

"Justru kamu yang akan sakit nanti jika lama di bawah hujan, itu jaket mu kenapa tidak kamu pakai? Kenapa malah hanya tas mu yang kamu tutupi? Ah sudahlah ayo masuk"

Tanpa menunggu balasan ku setelah mencecar ku dengan pertanyaan, beliau menggandeng tanganku kedalam rumah, tapi di depan pintu ku tahan langkahku.

"Kenapa? Masih mau hujan-hujanan supaya kamu sakit?"

Aku menggeleng lalu membuka ranselku, ku keluarkan seekor kucing yang tadi ku bawa.

"Boleh saya rawat kucing ini?" aku menatapnya memelas. "Saya janji akan merawatnya bersungguh-sungguh yah pak" sambung ku memohon.

"Kamu rela hujan-hujanan untuk melindungi kucing itu? aku mengangguk. "Kucing siapa itu?"

"Saya dapat di taman, sepertinya dia di buang, dia sangat kurus, dia juga berantakan dan kotor, boleh yah pak saya rawat"

Bibir ku sedikit mengerucut, juga membuat ekspresi se memelas mungkin.

"Iya boleh, ayo masuk" kembali beliau menarik tanganku ke dalam rumah. "Kenapa kamu tidak membawa ponsel mu?" tanyanya

"Aa.. Ketinggalan di sofa tadi"

"Kok bisa?"

"Saya langsung meletakkannya begitu saja saat tiba karena buru-buru"

"Tiba? Buru-buru kenapa?"

"Saya tadi kembali pulang ke rumah pungut jemuran"

"Kapan?"

"20 menit sebelum kelas pak Vand,. Maaf yah pak saya telat datang ke kelas pak Vand"

Aku benar-benar merasa bersalah juga tak enak padanya,. Bagaimana tidak, aku seorang istri dosen tapi aku justru telat dan tak mengikuti kelas suamiku sendiri.

"Lalu kenapa kamu berbohong tadi?"

"Saya tidak mungkin bilang pak saya dari rumah"

Beliau terdiam menatapku bersalah hingga kedua keinginannya bertaut,

"Maafkan saya yah, saya malah menghukum mu, saya juga membentak mu tadi"

"Iya tidak apa-apa,. Pak Vand menghawatirkan saya yah tadi?" aku berharap sedikit saja ia menghawatirkan ku.

"Iya saya khawatir,. Begitu saya pulang kamu tidak ada di rumah, saya cari ke kamar mu, ke semua ruangan di rumah kamu tidak ada, hingga sore lewat kamu juga belum pulang, mana kamu tidak membawa ponsel mu, saya pikir kamu marah karena soal di kelas tadi, saya baru saja ingin mencari mu untung kamu sudah pulang"

Aku tersenyum sumringah mendengar ceracaunya se khawatir itu beliau padaku,. Dan aku tak menyangka pak Vand dosen ku juga suamiku jauh lebih menghawatirkan ku dari ekspektasi ku, bahkan nada bicaranya terdengar menyesal.

"Maaf kan saya yah" pintanya mengusap puncak kepalaku, aku benar-benar bahagia merasa aku penting. "Maafkan saya yah Riana" pintanya lagi, tangannya turun ke pipiku mengelusnya lembut. Bahkan tatapannya tak lepas membalas tatapanku.

"Iya, saya mau ganti baju dulu"

Segera aku ke kamar menghindari perasaan ku yang tak karuan.