Bab 18. Menepis Tanganku

18.6K 632 3
                                    

Riap-riap cahaya matahari mengintip melalui celah korden yang tak tertutup rapat, membangunkan ku dari tidurku bersama pak Vand suamiku. Kami tertidur di lantai tanpa alas, tanpa bantal, apa lagi selimut.

Ku tatap beliau yang masih tertidur pulas. Tak dapat ku pungkiri aku mengagumi parasnya yang masih terlihat tampan meski telah menginjak kepala 4. Terus ku tatap beliau yang bergeming membuka mata.

"Owh!"

Ia segera bangun tampak terkejut. Aku pun bangun, bingung melihatnya menjaga jarak dari ku.

"Pak Vand kenapa?"

Ku ulurkan tangan ingin menyentuhnya, beliau justru menepis tanganku cukup keras. Seketika air mataku menggenang heran dengan sikapnya itu.

Ku pikir beliau mulai terbiasa dengan kehadiranku, juga tak apa-apa dengan kedekatan kami, tapi nyatanya aku salah. Beliau justru menepis tanganku seolah mengatakan tak menyukaiku berada di dekatnya apa lagi sampai menyentuhnya. Aku pun berdiri meninggalkannya kamarku.

"Riana, saya minta maaf, saya tidak bermaksud kasar sama kamu" paparnya menahan daun pintu yang hendak ku rapat kan.

"Tidak apa-apa pak"

Aku tak menatapnya, kembali ku dorong daun pintu kamar ku. Aku merasa mungkin hanya aku saja yang bahagia dengan pernikahan kami tapi tidak dengannya, apa lagi kami memang terpaksa menikah karena permintaan kakek.

Di bawah air shower yang mengalir aku menangis, bukan karena sakit akan tepisan tangannya, tapi aku sedih merasa kehadiranku tak di sukai olehnya, atau mungkin beliau telah jenuh denganku, juga dengan pernikahan kami.

Setelah cukup tenang aku keluar membuatkan sarapan untuknya.

"Riana.." panggilnya, langkahnya ragu untuk mendekat ke meja makan.

"Pak Vand mau saya buatkan teh?" aku tak akan lupa dengan kewajiban ku, meski aku masih bersedih.

"Iya, tolong yah"

Ku buatkan teh jasmin kesukaannya, lalu ku letakkan di hadapannya tanpa sepatah kata.

"Terima kasih yah" sahut nya ku balas dengan anggukkan. "Kamu tidak sarapan?"

"Saya harus ke kampus"

"Hah! pagi-pagi?" dahinya mengkerut hebat tampak keheranan.

"Saya ada janji sama Rika, kami akan berangkat bersama"

"Saya antar"

"Tidak usah pak, saya duluan yah"

Aku kembali ke kamar mengambil tas ku lalu melenggang keluar tanpa pamit sekali lagi pada pak Vand yang masih berada di meja makan.

Aku berbohong mengatakan aku ada janji dengan Rika, sebenarnya aku hanya beralasan supaya cepat meninggalkan rumah. Rasanya aku menjadi melankolis terus terbayang sikap pak Vand tadi pagi padaku. Bukannya beliau makin lembut atau perhatian padaku setelah apa yang kami lakukan tadi malam, beliau justru bersikap seperti itu seolah tadi malam tak berarti apa-apa baginya.

"Riana..." panggil buk Verni menghentikan langkahku berjalan ke arah kelas.

"Ada apa buk?" bukannya menjawab, beliau justru menarik tangan ku tanpa ijin terlebih dahulu. "Tapi saya ada kelas buk" tolak ku menahan diri tak ingin beranjak pergi jauh.

"Sebentar saja"

"Tapi itu kelas suami saya" buk Verni mengerjap menoleh menatap ku terkejut. "Ma-maksud saya, itu kelas pak Vand" kilahku

"Saya yang akan mengantarmu ke kelas" sahut buk Verni tetap memaksa aku ikut dengannya ke kantin entah untuk apa.

"Saya tidak lapar buk, saya mau ke kelas" tolak ku tak tenang takut melewatkan kelas suamiku lagi.

"Sebentar saya mau tanya dulu"

"Tanya apa buk?"

"Benar kan kamu keponakannya pak Vand?"

Aku mengernyit heran mengapa beliau menanyakan hal yang sudah beliau ketahui seolah memastikan.

"I-iya"

"Good!"

Aku bingung dengan sikap dosenku yang satu ini. Mengapa beliau terlihat senang sekali mengetahui hubungan paman dan keponakan antara aku dan pak Vand.

"Saya ingin memberi pak Vand sesuatu, kamu sampaikan yah"

Kini aku mengerti, tampaknya beliau menyukai suamiku.

"Kenapa tidak ibu sendiri saja" aku bermaksud menolak.

"Saya malu"

Aku benar-benar yakin beliau menyukai pak Vand suamiku. Ucapan serta gesture nya sudah cukup membuat ku paham.

"Saya mohon yah,"

Beliau bahkan memelas dengan mimik sedih kentara sekali di buat-buat.

Ku buang nafas berat tak ada pilihan lain selain mengiyakan, dari pada aku terus di tahan olehnya,. Lagi pula aku sendiri yang akan menyeleksi apa hadiahnya itu. Jika berpotensi merusak pernikahan ku dengan pak Vand maka pemberiannya tak akan pernah sampai ke tangan suamiku.

"Mana yang harus saya kasih ke pak Vand?" aku menadahkan satu tangan di hadapannya.

"Nanti saja setelah kamu pulang"

"Baiklah, ayo buk"

"Kemana?"

"Ibu kan janji mau mengantar saya ke kelas"

"Oh iya, itung-itung bertemu sama pak Vand, ayo"

"Ish! Dasar dosen genit" umpat ku dalam hati.

Ke kelas aku di temani oleh buk Verni sesuai janji beliau. Begitu tiba di depan pintu kelas aku bersembunyi di samping pintu, di mana buk Verni merapihkan pakainya juga rambutnya, jelas sekali untuk menarik perhatian dari suamiku.

"Permisi pak" sapa buk Verni.

"Iya, ada apa buk?"

Ku dengar langkah kaki mendekat kearah pintu, dan itu pasti pak Vand.

"Maaf saya tadi ada perlu dengan Riana makanya dia telat"

"Mana dia?"

Buk Verni menarik ku kearahnya, berdiri di hadapan pak Vand.

"Maaf pak telat" ucapku sedikit membungkukkan badan

"Tidak apa-apa, masuklah"

Ku lewati tubuh kedua dosen itu ke bangku ku bersiap mengikuti mata kuliah yang akan suamiku berikan.

Istri Tersembunyi Pak DosenWhere stories live. Discover now