Bab 19. Ciuman Kedua Yang Gagal

20.9K 631 6
                                    

Saat ini aku hanya ingin fokus pada mata kuliah yang suamiku berikan. Mengenyampingkan perasaan melankolis yang melanda sedari tadi pagi karena sikapnya.

"Rin.." panggil Rika berbisik

"Apa?"

"Kamu marahan yah sama pak Vand?"

Aku mengedarkan pandangan pada Rika mendengar pertanyaannya,. Marahan apa yang ia maksud?.

"Ti-tidak"

"Terus kenapa kamu tidak pernah mengangkat pandangan? Tuh pak Vand sering melihat kearah mu"

Aku reflek menoleh pada pak Vand mendengar ucapan Rika. Benar beliau tengah menatapku dari mejanya. Entah mengapa setelah kejadian tadi pagi, kini aku kesal padanya. Belum lagi sikap genit buk Verni membuat ku dongkol bertambah kesal. Kembali aku melanjutkan belajar tak menghiraukan pak Vand.

"My Husband!!"

Pekik Talia menoleh ke belakang ke arah mejaku, ia menatap layar ponselku yang menerima pesan masuk. Sontak aku terkejut begitupun yang lainnya.

"Kamu sudah menikah Rin?" tanya yang lain.

"Ti-tidak"

"Tapi itu namanya suamiku" sahut Talia

"Ini.. Ini tuh.." aku menatap pak Vand yang juga menatap ku dari mejanya. Beliau lalu berdiri menghampiri kami.

"Ada apa ini?" tanyanya

"Itu di ponsel Riana..

"Memang apa salahnya memberi nama kontak seseorang dengan nama suami" potong pak Vand membuat semuanya terdiam. Memang jika pak Vand berbicara semua pasti diam mendengarkan, bahkan untuk bergerak saja pun rasanya takut.

"Kamu punya pacar Talia?" lagi tanyanya seraya menatap Talia, entah mengapa aku kesal mendengar ia bertanya hal pribadi pada siswinya yang lain.

"Punya pak" jawab Talia. Dari kata Rika dan Mini ia tertarik pada pak Vand suamiku.

"Nama apa yang kamu berikan pada kontaknya?" pak Vand duduk di tepi meja Talia. Ish! Aku benar-benar tidak suka melihat nya.

"Mm.. My prince" jawaban Talia membuat semua orang bergemuruh seolah meledek. "Kenapa sih! Cowok-cowokku!" kesal Talia.

"Sama seperti Riana,. Dia memberikan nama panggilan itu berarti pemilik nomor itu sesuatu baginya, iya tidak Riana?" pertanyaan tiba-tiba pak Vand ku balas anggukkan beruntun. "My husband itu..." Pak Vand menatapku dari meja Talia lalu melanjutkan. "Arti dari kata suamiku, seperti pepatah yang mengatakan ucapan adalah doa, begitupun juga dengan memberi nama seperti itu pada kontak seseorang sama halnya berharap agar seseorang itu benar kita miliki seperti apa yang kita inginkan" sambungnya membuatku merasa malu tiba-tiba.

"Kalau begitu saya mau juga pake sebutan itu di kontak pacarku" imbuh siswi yang lain.

"No! Saya tidak mau kamu jadi istri saya!" canda seorang siswa menanggapi ucapan tersebut.

"Yang mau menikah sama kamu siapa!?" balasnya ketus, kami semua tertawa mendengar beberapa di antara kami saling melempar canda sebelum kembali melanjutkan pembelajaran.

Begitu kelas pak Vand usai, aku ke perpustakaan sesuai permintaan pak Vand yang ingin bertemu di perpustakaan. Untung Talia hanya fokus pada nama si pengirim bukan pada pesannya.

"Lamanyaaaa" gerutuku kesal dengan suara cukup keras karena hanya ada aku seorang diri di perpustakaan.

"Saya di sini" sahut pak Vand entah muncul dari mana padahal aku selalu mengawasi pintu. "Kamu lagi baca apa?" tanyanya seraya duduk di hadapanku.

"Sejarah" jawabku singkat tanpa menatap beliau. Ku alihkan pandangan pada buku yang ku pegang.

"Kamu suka sejarah?"

"Kadang"

Ia terdiam begitupun aku, kami hening di dalam perpustakaan yang memang seharusnya tak ada suara. Keheningan itu membuat ku deg-degan entah mengapa.

"Soal tadi di kelas, nomor saya..

"Maaf, saya asal memberi nama waktu kita bertukar nomor telepon, saya tidak tahu ingin memberi nama apa makanya saya asal saja karena saya pikir cuma saya saja yang akan melihatnya, eh tapi malah ter ekspor di dalam kelas saya..

"Sssttt..."

Ku tutup mulut ku dengan kedua tangan ku.

"Saya cuma tanya daftar isi kamu kasih saya satu buku"

"Maaf, saya cuma menjelaskan, takutnya pak Vand marah lagi sama saya"

"Marah lagi? saya tidak marah sama kamu, dan kapan saya marah sama kamu?"

"Tadi pagi saat bangun tidur" ku tatap beliau, kembali air mataku menggenang, sikap cengeng kembali menggelayuti ku.

"Saya tidak marah" tepisnya

"Tapi pak Vand segera menjauh dari saya"

"Itu bukan marah tapi saya kaget" tepisnya lagi menimpali.

"Tapi pak Vand menepis tangan saya"

"Saya tidak bermaksud bersikap seperti itu, saya kaget tiba-tiba kamu ada di dekat saya saat saya bangun, saya segera menjauh karena saya takut kamu nanti salah paham dan menganggap saya kurang ajar sama kamu. Saya tidak bermaksud menepis tangan mu tapi saya terkejut, dan saat melihat tanganmu akan menyetuh saya, saya merasa nafas saya sesak"

Aku mengedip-ngedipkan mata mendengar penuturannya yang lebih panjang dari penuturan ku. Tak ku sangka beliau se terkejut itu mendapati kami berdua sangat dekat saat ia bangun.

Ia menaikkan tangannya keatas meja menyentuh tanganku, membuatku sedikit terkejut tapi tak ku tarik tanganku.

"Maaf," katanya mengelus lembut tanganku dengan jempolnya. Aku lega aku hanya salah paham.

"Iya,"

"Kamu masih ada kelas?" beliau masih tak melepaskan tanganku. Berganti kini malah menggenggam tangan ku.

"Satu kelas lagi"

"Kamu pulang duluan saja yah, saya ada janji dengan teman-teman dosen"

"Iya"

"Tidak usah masak untuk makan malam, sepertinya saya akan makan di luar dengan teman-teman"

"Iya"

"Sudah tidak marah lagi kan sama saya?"

Aku mengangguk tersenyum memainkan jari-jemarinya yang menggenggam tanganku. Mungkin karena terbawa perasaan di dukung lokasi yang sunyi sepi tanpa seorang pun, beliau berdiri dari duduknya, menurunkan tubuhnya condong ke arahku, mendekatkan wajahnya ke wajahku dengan perlahan,. Aku menengadah menunggu bibirnya yang mengarah pada bibirku.

Tiba-tiba terdengar bunyi kasak-kusuk langkah kaki memasuki perpustakaan, segera kami menarik wajah dan melepaskan genggaman. Beliaupun pamit meninggalkanku, meninggalkan perasaan yang tak karuan.

Istri Tersembunyi Pak DosenWhere stories live. Discover now