Bab 14. Berbakti Padanya

20.5K 666 0
                                    

Kami kembali melanjutkan bacaan hingga jam berikutnya yang ternyata ku isi dengannya juga, menjadikan
Kami makin akrab. Dan setelah semua kelasku usai aku pulang lebih dulu.

Pip!

Aku menepi memberikan jalan pada mobil yang membunyikan klakson padaku. Ia berhenti menurunkan kaca jendelanya yang tenyata pak Vand, lalu ia membukakan pintu mobil untukku dari dalam.

Sebenarnya aku tahu itu mobilnya, hanya aku tidak menyangka ia mengajakku pulang bersama.

"Bagaimana hari pertamamu? Tidak ada yang mengganggumu kan?"

Beliau lagi-lagi memastikan keadaan ku.

"Tidak, semua yang saya kenal baik"

"Syukurlah,. Tidak ada yang tahu status kita kan?"

Aku teringat saat tadi aku menjawab pertanyaan Rika, aku tak memberitahukan status kami, tapi aku memberitahukan status lain padanya.

"Pak tadi Rika tanya kita ada hubungan apa"

"Terus kamu jawab apa?"

"Maaf pak saya bilang..." aku ragu meneruskan ucapanku, aku takut beliau marah tak menyetujui perkataan ku. Ia menepikan mobilnya menunggu jawabanku terlihat cemas.

"Kamu bilang apa?"

"Keponakan pak Vand"

"Kamu bilang saya om kamu!?" pekik nya terkejut, ekspresi keheranannya makin bertambah menatap ku.

"Saya bilang saya keponakan pak Vand"

"Sama saja Riana,"

"Maaf, soalnya dia penasaran karena pak Vand yang mengurus kepindahan saya"

"Yah sudah tidak apa-apa, lebih baik kamu mengatakan itu dari pada mengatakan yang sebenarnya.
Lagipula.. Saya memang pantas jadi om kamu" ia kembali melajukan mobilnya.

"Om keren" sergah ku tanpa sadar memuji. Aku menoleh kearahnya yang juga menoleh kearahku tersenyum, aku kembali duduk tegak berusaha bersikap santai.

Setibanya di rumah aku segera ke kamarku menaruh buku dan tas juga mengganti pakaian yang ku kenakan, lalu ke taman belakang memungut jemuran, setelah itu aku menyetrika dan melipatnya.

"Riana.." panggil pak Vand berjalan kearahku.

"Iya pak"

"Kamu tidak capek? Tidak istirahat dulu"

"Nanti saja pak, saya tidak capek kok"

Selesai melipat pakaian aku berinisiatif untuk membawakan pakaian pak Vand yang telah rapih, wangi dan tanpa kusut ke kamarnya.

"Itu pakaian saya kan?" tanya pak Vand menghampiriku sesaat aku berdiri. "Sini biar saya yang bawa" Ia mengambil pakaiannya dari tangan ku, membawanya sendiri ke kamarnya. Di belakangnya aku mengekorinya diam-diam, mengintip dari celah pintu yang tak tertutup rapat ingin memastikan apa beliau menyukai cara kerjaku.

"Humm wangi sekali, rapih juga, memang beda kalau ada istri yang mengurus,"

Aku senang mendengar beliau menyukai apa yang ku lakukan. Ku tinggalkan kamarnya melakukan pekerjaan yang lain.

"Kamu lagi apa?" lagi ia menghampiriku.

"Masak"

"Kamu tidak capek dari pagi kamu mengurus rumah, masak, kuliah, terus mengurus rumah lagi, masak..

"Sudah biasa pak" potong ku santai.

"Kita makan di luar saja yah"

"Yah, saya sudah selesai masak pak"

Wajah ku muram, bibirku sedikit cemberut merasa usahaku sia-sia jika ia menginginkan makan di luar.

"Riana, saya membawa kamu kemari bukan untuk mengurusi saya ataupun mengurus rumah ini"

"Saya tidak merasa saya pengurus rumah pak Vand kok"

"Saya tidak bilang begitu,. Hanya saya tidak mau kamu kecapean, kamu cukup belajar yang rajin"

"Terima kasih pak Vand sudah perduli sama saya, saya hanya melakukan kewajiban saya melayani pak Vand"

Ia tersenyum, dan matanya berbinar menatapku. "Sini biar saya bantu"

"Tapi pak..

"Riana tugas suami istri apa?"

Aku terdiam berpikir, aku tak sempat belajar ataupun kursus sebelum menikah. Tiba-tiba aku mengingat kedua orang tuaku.

"Aa.. Saling membantu, saling mengerti, saling mengasihi dan saling mencintai"

Aku sontak terkejut sendiri dengan ucapanku barusan, mengapa aku menyelipkan kata saling mencintai sedangkan pernikahan kami karena terpaksa. Melihatnya terdiam aku takut beliau marah mendengar ucapanku barusan.

"Ibu saya yang bilang begitu" tepis ku menimpali.

"Haha... Itu memang benar kok"

Aku lega ia tak marah. Mungkin aku yang khawatir berlebihan karena kami masih saling mengenal.

"Duduk pak biar saya hidangkan makan malamnya"

Ia menurut duduk di kursinya yang biasa. Ku layani beliau dengan baik seperti saat ibuku melakukannya untuk ayahku. Ku ambilkan nasi ke piringnya berserta lauk-pauk.

"Silahkan pak,"

"Terima kasih yah,"

Ku lipat kedua tanganku di atas meja menatapnya yang lahap menikmati masakan yang ku buat.

"Kamu tidak makan?"

"Saya belum lapar, saya makan di kantin tadi sama Rika dan Mini"

"Terus kenapa kamu masih di sini?"

"Temani pak Vand"

"Saya tidak takut"

"Saya tahu, saya hanya melakukan kewajiban saya" dahinya sedikit mengkerut mungkin tak mengerti maksud ucapanku. "Ibu saya dulu selalu menemani ayah saya saat lagi makan meskipun beliau tidak makan" kataku menjelaskan tanda tanya di wajahnya.

"Kenapa?"

"Katanya itu bentuk perhatiannya dengan melayani ayahku di meja makan,. Misalnya membantu mengambilkan nasi, lauk-pauk, dan menuangkan air minum"

Pandangan nya tunduk beberapa saat, entah mengapa ia terlihat sedih.

"Memang istri pak Vand dulu tidak seperti itu?"

Beliau mengangkat pandangan menatap ku terdiam.

"Maaf pak, maaf, saya tidak bermaksud membahas masa lalu pak Vand"

Aku sedikit panik bukan karena takut ia akan marah karena aku tahu beliau bukan orang seperti itu,. Tapi aku panik karena aku tak ingin beliau menganggap ku tak sopan membahas masa lalunya.

"Kalau begitu saya tinggal yah pak" aku segera berdiri dari dudukku.

"Jangan, duduk lah temani saya makan, saya masih mau tambah lauknya" titahnya terdengar meminta. Lagi-lagi aku terlalu khawatir berlebihan karena masih dalam tahap saling mengenal.

"Sekalian tambah nasinya"

Ia mengangguk kembali mengukir senyum seperti yang sudah-sudah.

Aku berjanji pada diriku sendiri, selama aku menjadi istrinya akan ku pastikan beliau makan dengan baik, akan ku perhatikan semua kebutuhannya di rumah sebelum beliau meminta. Begitu caraku berbakti padanya.

Istri Tersembunyi Pak DosenDär berättelser lever. Upptäck nu