Bab 33. Bertemu Mantan Istri

16.4K 529 7
                                    

Serasa nafasku tercekat di kerongkongan mendengar suamiku akan bertemu dengan mantan istrinya. Air mataku langsung menggenang entah mengapa aku merasa takut akan hal itu.

"Tidak! Tidak boleh!" tolak ku melarang

"Cuma bersilaturahmi saja, lagi pula sebelumnya kami memutuskan berpisah kemarin karena sama-sama emosi"

"Pak, saya ini istri pak Vand, bagaimana bisa pak Vand ingin bertemu dengan wanita lain"

"Hanya bersilaturahmi"

"Tidak pak, saya tidak mau pak Vand pergi"

Aku tetap keberatan, sebagai seorang istri aku punya hak untuk melarang suami ku apa lagi jika itu berdampak pada pernikahan kami nantinya.

"Tapi acara ini mamah yang mengadakan, masa saya tidak datang, tidak enak"

"Tapi pak...

"Cuma bersilaturahmi saja, tidak lebih, tidak ada hal yang lain,. Yah,?"

Beliau terus saja membujuk, tampak ingin sekali menghadiri pertemuan yang di adakan oleh ibunya. Dengan berat hati aku terpaksa mengangguk ki.

"Tidak boleh pegangan tangan" titahku.

"Tidak pegangan sayang, tapi jabatan tangan" balasnya

"Tidak boleh duduk berdekatan"

"Iya,"

"Tidak ada yah peluk-peluk,!"

"Haha... Iya nyonya besar" di cubit nya hidungku gemas seperti yang sudah-sudah.

"Ya sudah pak Vand boleh pergi"

"Terima kasih yah"

Beliau segera ke kamarnya bersiap-siap, melihat nya pergi dengan langkah cepat membuatku menyesal memberi ijin. Tapi aku juga tak mau nanti beliau menganggapku terlalu cemburuan juga mengekangnya.

Tak tenang memikirkan beliau akan pergi bertemu dengan mantan istrinya, ku susul ke kamarnya. Aku duduk di atas tempat tidurnya menunggu ia yang masih berada di dalam kamar mandi.

"Riana!" pekiknya terkejut melihat ku. "Kenapa sayang?"

"Tidak, cuma ingin lihat pak Vand bersiap-siap"

Aku duduk bersila di atas tempat tidurnya menatap ia yang sibuk memilih pakaian yang akan ia kenakan. Aku tak tahu apa beliau selalu seserius itu jika sedang memilih pakaian, atau karena beliau akan bertemu dengan mantan istrinya.

Selesai dengan pakaiannya, beliau  merapihkan rambutnya seperti biasa terlihat klimis membuat tampilan nya berkarisma, berwibawa dan tampan. Entah mengapa rasanya aku ingin menangis melihat suamiku terlihat sempurna seperti itu, mungkin karena aku takut setelah pergi bertemu dengan mantan istrinya aku akan kehilangan suamiku.

"Riana,." panggilannya membuatku tersadar.

"Pak Vand sudah mau pergi?"

"Iya"

Saat ini beliau berdiri di hadapanku, yang mana aku masih duduk di atas tempat tidurnya menengadah menatap nya. Ku sentuh tangan nya, menggenggamnya dengan kedua tanganku.

"Pak Vand janji yah tidak akan berubah setelah bertemu dengan mantan istri pak Vand" aku bersungguh-sungguh merasa takut saat ini.

"Kamu terlalu negatif thinking Riana,"

"Tidak ada istri yang tetap berpikiran positif saat suaminya akan bertemu dengan seseorang yang pernah ia cintai"

"Saya suami kamu saat saya keluar dari rumah hingga kembali ke rumah"

Aku sedikit lega mendengar ucapannya. Ku temani beliau hingga ke mobilnya. Ku cium punggung tangannya dan beliau membalas mencium dahiku. Ku lambaikan tangan padanya yang melaju pergi lalu aku kembali masuk kedalam rumah.

Lagi pikiran negatif menggelayuti pikiran ku, ku putuskan menunggunya di ruang tengah sembari menonton sebuah film.

Perasaanku gelisah, hatiku tak tenang, pikiran-pikiran buruk mulai menjalar kemana-mana membayangkan suamiku di luar sana bersilaturahmi dengan mantan istrinya.

Ku rebahkan tubuhku di sofa, memejamkan mata berharap sebentar saja perasaan gelisah ini pergi.

Di dalam tidur ku rasakan usapan lembut di kepalaku juga mendengar sebuah suara yang tak asing bagiku. "Riana, Riana, bangun" kata suara itu,. Ku buka mataku yang berat mendapati pak Vand suamiku ada di hadapanku. Aku tersenyum akhirnya ia sudah pulang.

"Kenapa tidur di sini? Kenapa tidak di kamar" kata nya, ucapannya lembut sama seperti suamiku yang biasa.

"Saya menuggu pak Vand"

"Kenapa?"

"Yah ingin saja"

"Ayo bangun pindah ke kamar"

"Saya di sini saja, ngantuk"

"Sini saya gendong"

Aku tersenyum lebar segera mengalungkan kedua tangan ku ke lehernya. Ia pun mengendong ku dengan kedua tangannya.

"Cium dulu biar saya kuat" pintanya, ku turuti mengecup pipinya. "Masa pipi, bibir dong" keluhnya sedikit memanyunkan bibirnya. Lagi ku dekatkan diri mengecup bibirnya. "Let's go to the room" beliau tersenyum sumringah terlihat jauh lebih bersemangat menggendongku.

"Pak, kok ke kamar saya?" aku heran mengapa beliau membawa ku ke kamar ku, bukannya ke kamarnya seperti yang kemarin beliau katakan jika kami akan sekamar.

"Terus kemana?"

"Pak Vand kan bilang mulai kemarin kita mengunakan kamar yang sama"

"Itu... Saya takut, nanti mamah tiba-tiba datang dan mendapati kita berdua di dalam kamar"

Keputusan suamiku berubah setelah kedatangan keluarganya, mungkin ini juga ada kaitannya dengan kemunculan mantan istrinya. Negatif thinking kembali timbul di kepalaku.

Aku turun dari gendongannya masuk sendiri ke dalam kamar lalu menutup pintu kamar ku rapat-rapat.

Tok! Tok! Tok!

"Riana,! Saya masih di luar loh" kembali ku buka pintu kamar hanya setengah. "Bagaimana saya akan tidur kalau kamu tutup pintunya" imbuhnya.

"Pak Vand kan punya kamar"

"Ini juga kamar saya"

Jawabannya yang santai membuatku kesal, beliau tak sadar diri jika saat ini aku sedang kesal padanya.

"Tidak, ini kamar saya,!" kembali ku tutup pintu kamarku, beliau justru menahannya.

"Itu tidak sopan Riana" tegurnya, intonasinya terdengar ketus seakan jengah denganku.

Seketika perasaan melankolis kembali menyergap ku. Entah ada apa denganku ini, semenjak kami berpacaran aku merasa hatiku rapuh dan mudah sekali bersedih jika menyangkut hubungan kami.

"Maaf pak, saya ingin istirahat"

"Kan enak kalau ngomongnya seperti ini, saya tidak suka dengan sikapmu yang seperti tadi, tidak sopan dan kekanak-kanakan"

Bibir ku saat ini bergetar menahan air mata yang sangat ingin sekali terjatuh. Mengapa aku merasa suamiku telah berubah, atau mungkin ia telah jenuh padaku.

"Boleh saya tutup pintunya"

Beliau mengangguk dengan ekspresi ketus tak bersahabat. Ku rapatkan daun pintu pelan-pelan meninggalkan beliau yang masih berdiri di depan pintu.

Di atas tempat tidur tak ku tahan air mata ku yang sangat ingin terjatuh sedari tadi.

Lagi posisiku sebagai istri tersembunyi membuatku tak dapat berbuat apa-apa selain menuruti semua keinginan suami ku. Baik buruknya hubungan kami semua ada di tangan nya. Beliau yang menyetujui kami menikah, beliau juga yang membuat perjanjian.

Istri Tersembunyi Pak DosenWhere stories live. Discover now